AdvertisementAdvertisement

Melampaui Krisis di Tengah Pandemi yang Akan Meluas

Content Partner

Oleh Asih Subagyo

PANDEMI SARS-CoV-2 (COVID-19), masih terus terjadi. Secara pasti belum bisa diketahui kapan berakhirnya. Jumlah korban yang terinfesksi dan meninggal dunia, baik sekala lokal, nasional maupun global terus meningkat.

Secara eksponensial. Hanya beberapa Negara yang sudah menunjukkan pertumbuhan yang landai. Meskipun beberapa pihak secara akademis, telah mengeluarkan prediksi berdasarkan permodelan matematika.

Paling tidak, dari beberapa modeling yang dikeluarkan itu, ada tiga skenario besar yang dihasilkan. Pertama, optimis, yaitu jika dilakukan lockdown/ karantina wilayah, dan negara ketat menerapkan aturan, maka wabah akan mengalami puncak di pertengahan bulan April ini, dan seacara berangsur 1-2 dua bulan berikutnya akan berakhir. Strategi ini nampaknya sudah terlambat dilakukan di Indonesia.

Kedua, adalah moderat. Skenario ini berjalan jika ada aturan karantina wilayah atau sekarang Pembatasan Sosial Bersekala Besar(PSBB), namun penerapan tidak ketat dan masyarakat tidak disiplin, maka diprediksi, Covid-19 mencapai puncaknya pada akhir bulan Mei, selanjutnya 1-2 bulan berikutnya akan berakhir.

Sedangkan skenario ketiga, adalah sekenario terburuk, dimana negara tidak melakukan apa-apa, demikian juga rakyat juga tidak peduli dengan situasi yang terjadi, maka kemungkinan puncaknya pada bulan Juni-Juli, dan 2 bulan berikutnya atau lebih akan berakhir.

Dari tiga skenario itu, para ahli memprediksi bahwa yang paling mungkin terjadi di Indonesia adalah skenario ke-2, yaitu moderat. Sehingga prediksi puncak Covid-19 terjadi pada akhir bulan Mei dengan yang jumlah yang terinfeksi puluhan ribu hingga ratusan ribu orang dan yang meninggal ribuan orang. Sedangkan wabah, diperkirakan akan berakhir pada bulan Juni atau Juli.

Masalah Data dan Rapid Test

Permodelan yang dilakukan selama ini, adalah berdasarkan atas data yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pusat, yang dibacakan setiap sore. Meskipun keberadaan data yang disampaikan itu, masih belum teruji kevalidannya. Artinya banyak pihak yang meragukan. Hal ini dapat dilihat paling tidak itu pernyataan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyampaikan bahwa data yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas itu, belum mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.

Demikian juga laporan Gubernur DKI Jakarta kepada Wapres yang menyatakan ada lebih dari 400 pasien meninggal yang diberlakukan dengan protocol positif COVID-19 (padahal saat itu secara nasional baru 171 orang yag meninggal). Begitupun laporan Gubernur Jabar yang menyatakan bahwa korban bisa kali berlipat-lipat dari yang dilaporkan oleh Satgas. Sehingga, bisa jadi prediksi yang dilakukan dengan permodelan matematika di atas akan mentah sendiri karena data yang disajikan tidak valid.

Terkait dengan itu, Prof. Sulfikar Amir dan Dr. Fredy Tantri melakukan permodelan, berdasarkan perbandingan jumlah penduduk, strategi/ skenario yang dilakukan oleh kota-kota besar dunia, dengan tingkat keterjangkitan Covid-19 ini, dengan beberapa indikator lainnya. Hasilnya didapatkan bahwa pada tanggal 2 April 2020, jumlah pendududuk DKI yang terkena wabah sekitar 76.605 jiwa. Tentu ini hasil yang mengejutkan buat semua pihak.

Namun jika kita cermati, perbedaan data tersebut ada yang menyajikan dengan jumlah sedikit dan kemudian adanya simulasi lain yang mendapatkan jumlah yang besar, bisa diterangkan dengan mudah. Sebab selama ini sangat sedikit masyarakat yang diperiksa dan melakukan rapid test. Selain karena keterbatasan alat (rapid test dan PCR=Polymerase Chain Reaction), juga masyarakat enggan, bahkan takut untuk melakukan test, dengan berbagai alasan. Sehingga wajar jika jumlah yang terjangkit juga masih sedikit dan berbeda data.

Dari Covid-19 ke Krisis

Derita rakyat yang harus di rumah saja, sementara tidak ada pasokan makanan dari negara, akan menyebabkan beban rakyat semakin meningkat. Sebagaimana kita kitahui bahwa 70%-80% dari mata pencaharian rakyat adalah kerja di sektor informal. Artinya, kerja hari ini untuk makan hari ini.

Dengan kondisi seperti itu, daya survival rakyat menjadi lemah. Mereka lebih baik keluar untuk mencari nafkah daripada di rumah. Bagi mereka di rumah mati, keluar juga bisa mati kena corona. Mendingan keluar masih ada harapan untuk menghidupi keluarganya.

Sekalilagi gambaran ini yang menyebabkan rakyat banyak memilih keluar rumah, dengan berbagai resiko. Karena ini juga urusan untuk mempertahankan hidup.

Gambaran mikro, yang terjadi di sebagian besar rakyat Indonesia itu, ternyata juga didukung dengan gambaran secara makro ekonomi, yang ditandai dengan melemahnya rupiah atas sebagian besar mata uang asing terutama US dollar, anjloknya IHSG, negatifnya neraca perdagangan, melebarnya defisit APBN, menurunnya penerimaan negara dan lain sebagainya.

Sehingga The Economist Intelligence Unit memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula diprediksi sebesar 5,1% akan turun menjadi 1% pada tahun 2020. Demikian halnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, di beberapa kesempatan menyampaikan bahwa skenario terburuk pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 adalah 0,4%.

Sebagaimana dipahami bahwa, setiap pertumbuhan 1% di suatu negara, maka akan diikuti dengan terserapnya tenaga kerja sekitar 300 ribu-500 ribu orang. Sehingga, pada tahun ini akan banyak angkatan kerja yang tidak terserap. Padahal lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang tahun ini terus meningkat. Mereka tidak terserap, ditambah lagi dengan adanya PHK dari perusahaan-perusahaan yang mulai gulung tikar pada tahun ini.

Krisis ekonomi adalah istilah yang digunakan pada bidang ekonomi yang mengacu pada perubahan drastis yang terjadi pada perekonomian dan beberapa indikatornya. Perubahan ekonomi yang terjadi secara cepat tersebut, biasanya akan mengarah pada turunnya nilai tukar mata uang, IHSG, neraca perdagangan negatif, dan akan diikuti dengan langka dan tingginya harga kebutuhan pokok, perusahan yang bangkrut dan gulung tikar dan lain sebaginya.

Melihat data dan fakta seperti di atas, dan juga kemungkinan berakhirnya pandemi Covid-19 yang masih panjang, maka bisa dikatakan krisis ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan sedang dan akan terjadi.

Memenangkan Krisis

Sekali lagi, kita tidak pernah tahu persis, berapa lama krisis ekonomi ini akan terjadi dan berakhir. Memang, beberapa prediksi meramalkan sekitar 6 bulan hingga 1,5 tahun, bahkan ada yang lebih dari itu.

Berapapun lamanya, yang namanya krisis ekonomi, akan banyak mempengaruhi, dan menggoncang sendi kehidupan masyarakat. Dan itu artinya akan sedikit banyak berpengaruh terhada kita. Tidak ada cara lain untuk memenangkan krisis adalah dengan kita memahami krisis ini. Maka, berikut ini beberapa strategi untuk memenangkan krisis.

Pertama, yakinlah bahwa krisis pasti akan berakhir. Sikap mental kita perlu disiapkan. Berdasarkan pengalaman empirik, membuktikan bahwa semua krisis pasti ada ujungnya. Berapapun lamanya, pasti berakhir. Jangan panik. Tetap berfikir jernih. Dengan sikap mental seperti ini menyebabkan kita tangguh dalam menghadapinya. Tidak takut, tetap waspada sehingga tidak sembrono dan gegabah.

Jangan sampai mengalami goncangan secara psikologis. Jika psikologis sakit, akan berpengarus ke kesehatan fisik dan lainnya. Olehnya, dengan ketenangan pikiran dan jiwa, kita akan lebih mudah mengantsipasi dan menyusun strategi serta langkah-langkah apa yang harus dilakukan.

Kedua, kendalikan diri. Terkait dengan ini, maka belanjakanlah hanya untuk kebutuhan primer. Tahan dan tunda untuk pengeluaran sekunder. Lupakan dulu kebutuhan tersier. Revisi anggaran. Pastikan pos-pos penerimaan agar bisa masuk semaksimal mungkin. Pangkas pengeluaran. Keluarkan hanya terkait dengan kebutuhan yang penting dan mendesak saja.

Jaga cash flow. Jika berat, lakukan reschedulle/ restructure hutang, terutama yang ada kaitannya dengan lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Manfaatkan kebijakan pemerintah. Jangan menambah hutang lagi. Tahan untuk ekspansi bisnis. Jangan menukarkan rupiah dengan mata uang asing ataupun dalam bentuk emas, jika untuk kepentingan spekulasi atau mencari keuntungan. Kecuali untuk kepentingan transaksi/ cadangan. Hal ini berlaku, baik untuk sekala rumah tangga maupun usaha (apapaun bentuknya)

Ketiga. kreatif, inovatif dan produktif. Dalam situasi seperti ini, siapapun dituntut untuk lebih kreatif, inofatif dan produktif. Kreatif untuk bisa survival dengan melakukan banyak hal. Demikian juga inovatif untuk menghasilkan produk/ jasa yang bisa dipasarkan atau dijual, atau minimal untuk survival tadi.

Memanfaatkan pekarangan, menafaatkan tanah kosong untuk ditanami sayuran dan tanaman pangan merupakan hal yang bisa dilakukan. Demikian halnya ketika harus banyak di rumah, seharusnya lebih produktif dalam artian mampu menciptakan produk/ jasa baru yang sesuai dengan kebutuhan saat ini, dan juga dapat dikembangkan ketika krisis berlalu.

Demikian juga produktifitas bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi. Pertemuan/ rapat bisa dilakukan dengan fasilitas conference call yang saat ini tools-nya sangat banyak dan mudah untuk dioperasikan.

Keempat, kolaborasi dengan berjama’ah. Salah satu hal positif dari krisis adalah mengasah jiwa kepekaan sosial. Ada kesadaran bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Saling membutuhkan. Sehingga kolaborasi menjadi kata kunci yang harus dilakukan. Ta’awun, kerjasama, saling membantu. Baik dalam konteks pribadi atau dalam rangka bisnis. Ini akan memperkuat solidaritas antara yang satu dengan yang lainnya.

Dengan demikian maka, akan terbentuk komunitas masyarakat yang kuat, saling membantu, tolong-menolong, bekerjasama dalam kebaikan, dan seterusnya. Jangan sampai 40 orang tetangga di sekitar kita yang kelaparan. Tentu mesti diimbangi dengan bersedekah, berinfaq, berzakat yang lebih ditingkatkan lagi. Jika bisa demikian maka, akan menjadi model dalam hidup berjama’ah.

Kelima, perbanyak Ibadah. Terakhir dan sesungguhnya juga bisa diletakkan di awal, adalah dengan memperbanyak kualitas dan kuantitas ibadah. Ibadah mahdhoh dan ghairu mahdhoh perlu ditingkatkan. Meski ada pembatasan untuk tidak melakukan shalat di masjid, maka lakukanlah shalat berjama’ah di rumah bersama keluarga.

Bangun kekuatan interaksi di keluarga. Bikin kajian di rumah. Ikuti dengan ibadah nawafil dan sunah-sunah lainnya. Dan ajak seluaruh anggota keluarga untuk bersama-sama bermunajat kepada Allah agar kita segera terlepas dari pandemic Covid-19 dan krisis ekonomi yang mengikutinya. Sebab setelah semua ikhtiar kita lakukan, selanjutnya kita bertawakal kepada Allah.

Semoga kita bisa melampaui semua ujian dan cobaan ini dengan baik dan semakin meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita disisi Allah SWT. Yakinlah dengan firman Allah: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,” (QS. Al-Insyirah 94: Ayat 5)

*) ASIH SUBAGYO, Ketua Bidang Ekonomi DPP Hidayatullah

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Pernikahan Mubarakah sebagai Jalan Suci Menuju Cinta Karena Allah

Ayah: "Mas, siapa nama calon istrimu?"Santri: "Belum tahu, Pak. Masih dalam musyawarah"Ayah: "Ini kurang tiga hari lagi menikah, kok...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img