SEBAGAI umat Islam, sudah sepatutnya kita prihatin terhadap musibah yang tengah menimpa saudara-saudara kita di China berupa virus mematikan yang dikenal dengan virus corona.
Diketahui virus ini telah merambah sejak minggu yang lalu dan telah memakan korban hampir 302 orang dan 12 ribu terinveksi (data 2 Februari 2020). Virus ini secara cepat merebak ke luar Wuhan, China, tempat pertama kali virus ini ditemukan.
Bukan hanya itu, bahkan virus ini tidak hanya merambah di beberapa propinsi di China, bahkan disebutkan telah menjalar ke luar negeri seperti Singapura, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan dan negara Indonesia.
Virus Corona sendiri adalah golongan virus dari familia coronaviridae yang dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia, termasuk juga manusia. Virus ini dapat menimbulkan gejala penyakit yang bervariasi, mulai hampir tidak timbul gejala apapun hingga gejala yang fatal. Infeksi Virus Corona dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti bronkitis, ensefalitis, gastroenteritis, dan hepatitis.
Proses penyebarannya bisa melalui udara yang terinhalasi atau terhirup lewat hidung dan mulut sehingga masuk dalam saluran pernafasan.
Sikap Ulama
Namun, tahukah kita bagaimana para ulama Islam menyikapi sebuah virus yang melanda sebuah daerah? Mari kita simak ulasan berikut.
Dalam Kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karangan Ibnu Katsir, disebutkan bahwasanya Kota Syam pernah dilanda sebuah wabah yang dinamakan Tha’un.
Ibnnu Jarir menyatakan, wabah ini terjadi pada tahun 17 Hijriah ketika kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatab. Tha’un ini dinisbatkan kepada sebuah daerah yang bernama Amawas, dari sinilah pertama kali wabah Tha’un muncul dan kemudian menyebar ke seluruh Negeri Syam.
Al-Waqidi berkata, “Tha’un Amawas telah melanda Negeri Syam. Wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa.” Ada yang mengatakan korbannya sebanyak 30.000 jiwa.
Adapun diantara para sahabat yang terkena wabah ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail.
Tatkala wabah ini memuncak dan telah sampai beritanya kepada Khalifah Umar bin Khatab r.a, Umar segera mengirim surat kepada Abu Ubaidah yang isinya meminta agar ia segera keluar dari daerah yang terkenah wabah tersebut.
Namun, Abu Ubaidah justru menjawab suratnya dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, aku mengerti apa yang engkau inginkan terhadapku. Sesungguhnya aku berada di antara tengah-tengah tentara kaum Muslimin dan aku tidak ingin berpisah dari mereka. Aku tidak akan meninggalkan mereka hingga Allah menetapkan apa yang telah ditetapkan-Nya kepadaku dan seluruh pasukanku. Maafkanlah, aku tidak dapat mengabulkan keinginanmu.”
Mengetahui respon Abu Ubaidah, Umar menangis dan mengirimkan surat kepada Abu Ubaidah dan memintanya agar memindahkan pasukan ketempat yang tinggi dan mencari udara yang sejuk.
Lain halnya sikap Abu Musa ketika dia ditanya perihal wabah yang sedang menimpa penduduk Syam, “Janganlah orang yang keluar dari tempat ini beranggapan bahwa jika dia bermukim di sini dia akan mati. Dan jangan pula orang yang sudah terjangkit berkata bahwa seandainya dia keluar dari tempat ini dia akan terkena wabah. Jika seorang muslim memiliki prasangka seperti ini maka tak mengapa jika dia keluar dan menjauhi wabah seperti ini.”
Setelah peristiwa tersebut, wabah itu pun hilang.
Begitulah sikap para ulama terhadap wabah yang sedang melanda suatu negeri. Semoga kita selalu dijauhkan dari setiap musibah yang buruk. Wallahu ‘alam.*/Jundi R, mahasiswa Hidayatullah di Universitas Al Azhar Kairo Mesir