BILA ditanyakan, “Apakah sifat-sifat besi yang paling menonjol?” Biasanya, yang terbayang adalah kekokohan dan kekerasan materialnya. Bila ditanyakan lagi, “Bentuk seperti apa saja yang dapat dihasilkan dari bahan sekeras besi?” Mayoritas akan dijawab, “Segala bentuk, sampai tak terbatas.”
Dua pasang pertanyaan dan jawaban ini sebenarnya membuat kita terheran-heran: ada sebuah benda yang sangat keras, tetapi begitu luas penyesuaian bentuk yang bisa diterapkan kepadanya. Bagaimana bisa? Adakah pelajaran (ibrah) bagi kita darinya?
Besi memiliki sifat istimewa. Sekeras apapun ia, pada dasarnya ia patuh pada keadaan tertentu yang mengharuskannya lebur dan mencair. Ketika itulah ia akan tunduk kepada siapa pun yang membentuknya.
Namun, ia juga memiliki sifat lemah, yakni mudah berkarat, sehingga rapuh dan kehilangan kekuatannya. Inilah Sunnatullah yang telah Allah tanamkan kepada besi, agar menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surah Ali ‘Imran: 190,
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Kali ini, kita akan menarik ibrahnya ke dalam dunia pendidikan, baik dalam konteks sekolah maupun dakwah umum.
Pelajaran pertama yang bisa kita petik adalah: syarat awal seseorang bisa dididik dan diluruskan adalah jika dia telah bersedia patuh dan tunduk kepada pembentuknya. Manakala dia telah tunduk, maka segala pemberian gurunya akan diserap seperti spons.
Sebagaimana besi yang mudah dibentuk manakala telah mencair, maka hati manusia akan mudah diarahkan jika telah melunak. Selama masih keras, selalu timbul perlawanan dan penolakan. Jika dipaksa, hasilnya mungkin patah, mau tunduk namun tidak terlihat indah, atau kedua belah pihak sama-sama penyok.
Mendidik manusia pada dasarnya adalah perjuangan memenangkan hati, yakni melunakkannya agar bersedia lebur ke dalam kebaikan yang ditunjukkan. Oleh karenanya, dalam adab belajar yang diajarkan Islam, seorang murid harus hormat, percaya, dan tunduk kepada gurunya.
Para ulama sangat menyadari bahwa tidak ada pendidikan yang berfungsi selama murid tidak bersedia mematuhi gurunya, sebagaimana sulitnya pasien untuk sembuh jika ia tidak mau menuruti nasehat dokternya.
Dalam skup lebih luas, manusia tidak akan mendapatkan manfaat dari pendidikan Allah (yakni, Al-Qur’an dan Sunnah) selama mereka tidak bersedia tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka, syarat pertama berproses menjadi muslim adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, yakni bersaksi dan menerima sepenuh hati Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Inilah awal kepasrahan diri, yakni menyerahkan seluruh otoritas kepada Allah dan Rasul-Nya, alias menyatakan kesiapan diri untuk patut tanpa syarat.
Dalam konteks inilah Allah berfirman, “Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup. (Qs. al-‘Alaq: 3-7).
Menurut Al-Qur’an, ketika manusia merasa serba cukup dengan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan Tuhannya, maka mereka tidak akan bisa dididik!
Pelajaran kedua dari sifat besi adalah: dalam pendidikan, manusia harus dikondisikan dan diantarkan agar hatinya luluh, sampai melunak dan siap dibimbing.
Dalam kitab al-Ghunyah, ketika membahas bagaimana seyogyanya seorang guru mendidik murid, atau juru dakwah membimbing umat, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menulis: “Pergaulilah murid dengan nasihat yang paling bijak. Perhatikan mereka dengan tatapan mata penuh kasih-sayang. Bersikaplah lunak dan lemah-lembut ketika mereka belum mampu menyelesaikan tugas dan latihan yang diberikan. Didik mereka seperti seorang ibu yang mengasuh anaknya; seperti seorang ayah yang penyayang, bijak dan cerdik ketika menghadapi anak-anak dan para pembantunya. Awalnya, berikan kepada mereka beban tugas yang paling mudah, dan jangan memikulkan kepada mereka sesuatu yang tidak mereka mampui; setelah itu baru berikan kepada mereka beban tugas yang lebih berat. Pertama-tama, suruh mereka untuk meninggalkan kecenderungan menuruti kebiasaan dan tabiatnya dalam segala hal. Mulailah dengan kewajiban-kewajiban syar’i yang ringan-ringan, sehingga mereka bisa keluar dari belenggu dan dominasi kebiasaan serta tabiatnya itu, dan akhirnya bisa beralih menjadi di bawah ikatan syari’at dan pengabdian di dalamnya. Kemudian, pindahkan mereka dari yang bersifat ringan-ringan itu kepada yang bersifat lebih berat sedikit demi sedikit. Hapuskan sesuatu bagian yang bersifat ringan tadi, dan tempatkan sebagai gantinya sesuatu bagian lain yang bersifat berat.”
Pelajaran ketiga dari besi adalah: jiwa manusia harus selalu dirawat dan dijaga, agar tidak berkarat dan kehilangan kekuatannya. Sebagian ulama’ berkata, “Sebagaimana besi, bila tidak dipergunakan ia akan diselubungi karat sampai akhirnya hancur, demikian pula ketika hati kosong dari hikmah, ia akan didominasi oleh kejahilan sampai akhirnya mati.” (Diriwayatkan al-Khara’ithy dalam I’tilalu al-Qulub, no. 49).
Apakah “hikmah” itu? Dalam kitab At-Tafsir Al-Hadits, Syaikh Izzat Darwazah menjelaskan, “Ia (yakni, istilah hikmah) dipakai untuk menunjuk setiap perkataan, perbuatan dan sesuatu yang mengandung kebenaran, ketepatan, haqq, petunjuk, kebajikan, ma’ruf, kestabilan, dan kemantapan; yang jauh dari sifat-sifat sembrono, tolol, keras, kasar, melampaui batas, membahayakan, dan batil.”
Dengan kata lain, ketika manusia memenuhi hidupnya dengan kebalikan dari hikmah – dalam pengertiannya yang luas ini – maka sebentar lagi hatinya akan diselimuti karat, sebelum akhirnya hancur samasekali. Na’udzu billah! Wallahu a’lam.
Ust. M. Alimin Mukhtar