Mendidik anak bukanlah perkara simpel, terlebih di zaman yang penuh godaan ini. Di mana-mana terdapat lubang jebakan yang menganga, siap menjerumuskan anak-anak ke dalam kesia-siaan, bahkan kebinasaan. Orangtua dan guru yang sangat peduli dan telaten pun bisa kecolongan, apalagi yang sembrono dan asal-asalan. Ada saja sikap, perkataan, dan tindakan yang disangka benar, tapi belakangan terbukti menuai masalah yang sangat rumit. Kalau saja bukan karena rahmat dan kasih sayang Allah, rasanya mustahil ada yang selamat.
Diantara kekeliruan yang lazim ditemui di kalangan orangtua dan guru adalah pembiaran anak-anak melakukan pelanggaran tanpa sedikit pun ditegur, semata-mata dengan alasan mereka masih kecil.
Kita mungkin mendapati orangtua membiarkan anaknya bersikap tidak sopan di hadapan para tamu tanpa ditegur. “Biar saja, dia masih kecil,” dalihnya.
Mungkin juga ada orangtua yang membiarkan anaknya tidur sampai matahari terbit sehingga terlewat menunaikan shalat subuh, lalu beralasan: “Biar saja, dia masih kecil!” Masih banyak contoh lain yang bisa disebutkan.
Sebenarnya, bersikap toleran kepada anak kecil adalah kebaikan, karena mereka masih dalam tahap belajar. Orangtua dan guru memang harus menyiapkan dada selebar-lebarnya untuk menampung kesalahan-kesalahan mereka.
Namun, bersikap toleran tidak sama dengan membiarkan kesalahan tanpa koreksi. Orangtua yang toleran akan memaklumi kesalahan yang timbul dan segera melupakannya; namun di saat bersamaan bergegas membetulkannya agar tidak berlarut-larut atau terulang kembali di lain waktu.
Memang benar bahwa pada usia dini anak-anak belum dicatat amalnya oleh malaikat, tapi bukan berarti mereka tidak perlu dilarang jika melanggar syariat, supaya tidak terbiasa dengannya sehingga sulit meninggalkannya ketika semakin besar.
Dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Ibnu Qayyim berkata, “Anak kecil itu, meskipun belum mukallaf (mendapat beban syariat), akan tetapi walinya sudah mukallaf. Wali tidak boleh membiarkan anaknya dari sesuatu yang diharamkan, sebab ia akan menjadi terbiasa dengannya dan (kelak) akan sulit untuk dipisahkan darinya ….. Sebab, anak kecil itu, meskipun belum mukallaf namun mereka sedang disiapkan untuk menerima taklif (tugas-tugas syariat). Oleh karenanya, ia tidak boleh dibiarkan mengerjakan shalat tanpa berwudhu, shalat dalam keadaan telanjang dan najis, tidak boleh pula minum khamer, berjudi, dan melakukan homoseks.”
Para ulama’ terdahulu menekankan bahwa misi pendidikan anak pada usia dini, terutama pada usia tamyiz sampai baligh (6-15 tahun), adalah mempersiapkan mereka menyongsong masa balig. Masa balig sendiri membentang sejak seorang anak mengalami mimpi basah atau haid pertama dan terus berlanjut sampai kematian menjemputnya.
Sementara, tamyiz adalah keadaan di mana anak mulai bisa memahami dan memilah hal-hal di sekitarnya. Biasanya, anak usia 6 tahun secara fisik ditandai dengan gigi susu yang mulai tanggal, secara mental mulai mampu mencerna perintah dan larangan, dan secara akhlak sudah mulai punya rasa malu.
Oleh karena itu, tepat kiranya jika pada usia ini mereka mulai disuruh mengerjakan shalat, menutup aurat, dan dipisahkan tempat tidurnya diantara anak lelaki dan perempuan; berdasar hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad hasan-shahih.
Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani berkata dalam muqaddimah kitabnya, Ar-Risalah, “Hal yang paling perlu diperhatikan oleh para penasihat dan diharapkan pahalanya oleh para pencari adalah: memastikan sampainya kebaikan ke dalam hati anak-anak kaum muslimin, agar tertanam kokoh di dalamnya; menyadarkan mereka terhadap rambu-rambu agama dan batasan-batasan syariat, agar mereka bisa dilatih dan dibiasakan di atasnya; juga apa yang wajib diyakini oleh hati mereka dalam masalah agamanya, serta diamalkan oleh anggota badannya ……
Demikianlah, seyogyanya mereka telah mengetahui apa-apa yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya – baik berupa perkataan maupun perbuatan – sebelum mereka mencapai usia balig; yakni agar (ketika) usia balig tiba maka perkara-perkara itu telah mantap di dalam hatinya, jiwa mereka tenang menerimanya, dan anggota badan mereka pun telah terbiasa mengamalkannya.”
Dengan demikian, sangat tidak tepat jika anak yang telah memasuki usia tamyiz dibiarkan tidak menutup auratnya (terutama wanita), atau dibiarkan bangun kesiangan dan melewatkan shalat subuhnya, hanya dengan alasan “mereka masih kecil”.
Mestinya, pelan-pelan mereka harus dilatih dan dibiasakan, bukan dilepas begitu saja dengan bersandar pada harapan: “nanti kalau sudah besar pasti sadar sendiri.”
Bagaimana pun, setiap anak akan tumbuh bersama kebiasaan yang ditanamkan oleh orangtua dan gurunya. Bila kita membesarkan mereka dalam suasana melalaikan kewajiban-kewajiban, maka tumbuhnya kesadaran di hati sangat sulit diharapkan pada masa selanjutnya.
Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, sampai lidahnya fasih berbicara, lalu kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi atau Nasrani.” (Riwayat Abu Ya’la, dan para perawinya bisa dipercaya).
Maksudnya, setiap anak akan mengikuti akidah, akhlak, dan adat kedua orangtuanya berdasarkan pembiasaan yang telah diberikan kepada mereka. Maka, seharusnya anak-anak itu mendengar bahwa shalat, menutup aurat, berlaku sopan, dsb adalah wajib, agar tertanam kokoh di jiwanya; bukan sebaliknya.
Apa jadinya jika yang sering mereka dengar pada setiap pelanggaran syariat justru perkataan “tidak apa-apa”? Kelak, jangan kaget apabila mereka pun terbiasa meremehkan shalat, aurat, dan adabnya; toh tidak apa-apa!? Na’udzu billah. Wallahu a’lam.
KH Alimin Mukhtar