PERASAAN yang dipendam di dalam hati atau hasrat yang disimpan di dalam pikiran seringkali tampil keluar dengan rupa yang bermacam-macam.
Misalnya, penggemar durian bisa langsung ‘ngiler’ begitu mendengar nama buah kesukaannya disebut-sebut, tetapi pembenci durian justru bisa langsung muntah hanya dengan mencium aromanya.
Gemar dan benci adalah perasaan yang tidak berwujud, tetapi manifestasinya sangat mudah dibedakan.
Demikian pula iman dan keyakinan, atau kekafiran dan pengingkaran. Semua ini adalah hakikat-hakikat abstrak di dalam jiwa manusia, tidak berwujud benda yang bisa dipegang dan diindra.
Akan tetapi, jika iman benar-benar eksis di dalam jiwa seseorang, maka tanda dan alamatnya bisa diketahui. Sama halnya dengan kekafiran.
Oleh karenanya, ada sangat banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang merinci tanda-tanda keimanan maupun kekafiran, agar kita – sebagai mukmin – mengerti dan orang lain pun bisa mengetahuinya. Mari kita kaji sebagian darinya.
Diantara firman Allah yang menceritakan ciri-ciri keimanan adalah ayat-ayat yang dimulai dengan kata-kata “innamal mu’minun”, artinya: “sesungguhnya orang-orang beriman hanyalah….”
Ayat seperti ini hanya ada empat dalam Al-Qur’an, dan satu diantaranya – yang akan kita bahas sekarang – terdapat dalam surah al-Anfal: 2. Tiga tempat yang lain adalah surah an-Nur: 62, lalu al-Hujurat: 10 dan 15.
Allah berfirman dalam surah al-Anfal: 2, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini sifat seorang mukmin sejati, yaitu seseorang yang hatinya bergetar bila nama Allah disebut (maksudnya: merasa takut), sehingga ia pun melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.”
Oleh karenanya pula, dalam Tafsir al-Baghawi dinukil pernyataan Umair bin Habib (seorang Sahabat), yang terkait ayat ini. Beliau berkata, “Iman itu bisa bertambah dan berkurang.”
Ditanyakan kepada beliau, “Apa yang bisa menambahnya?” Beliau menjawab, “Bila kita mengingat Allah dan memuji-Nya, maka itulah pertambahannya; dan bila kita lupa dan lalai terhadap Allah maka itulah pengurangannya.”
Memang benar, jika kita senantiasa mengingat Allah, maka kita akan terdorong untuk melaksanakan syariat-Nya dan menjauhi kemaksiatan. Akan tetapi, bila kita lalai dan teledor terhadap Allah, pasti banyak maksiat yang terlanggar dan amal shalih yang terlantar.
Sebaliknya adalah kondisi orang-orang kafir ketika mendengar nama Allah. Mereka langsung jengkel dan mendongkol.
Allah berfirman dalam surah az-Zumar: 45, “Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.”
Karena kebencian telah membanjiri bahkan menenggelamkan hati mereka, maka sekedar mendengar nama Allah pun sudah muak dan jijik. Seperti orang yang membenci buah durian, pasti tidak nyaman bila diajak membicarakannya, apalagi mendekat dan mencicipi.
Hatinya berpaling, pikirannya mengkerut, bibirnya maju lima senti, dan mungkin sebentar lagi akan muntah atau kabur menyelamatkan diri.
Bila kedua ayat di atas ditarik ke realitas kontemporer, kita akan menyaksikan hal-hal yang mengejutkan. Betapa banyak orang yang berteriak histeris begitu melihat artis pujaannya dalam sebuah konser.
Sebagian mereka bahkan menangis terharu, melonjak-lonjak kegirangan, atau bereaksi melebihi kewajaran dan norma kesopanan. Saat itu, hatinya telah terbenam dalam “kebahagiaan” dan kepuasaan, hanya dengan melihat sang idola hadir di depannya.
Akan tetapi, apakah nama Allah Ta’ala dan kehadiran tanda-tanda kekuasaan-Nya di segala penjuru jagad raya juga mereka sikapi sehebat itu? Mungkin, bukan kita yang harus menjawabnya.
Tanda lain seorang mukmin adalah semakin bertambah keimanannya bila mendengar bacaan ayat-ayat Allah. Telinganya sejuk, jiwanya terasa lapang, dan seluruh tubuhnya khusyu’ penuh takzim kepada firman Tuhannya. Setiap ayatnya akan menginspirasi, dan seluruh nasihatnya menjadi panduan kehidupan.
Sebaliknya, orang-orang kafir akan merasa terhina bila ayat-ayat Allah diperdengarkan. Telinganya panas, dadanya sesak, dan tidak lama kemudian marah besar bahkan melakukan tindakan-tindakan gila.
Al-Qur’an menggambarkannya dalam surah Yunus: 15: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia…!”
Akan tetapi, di zaman ini banyak orang yang sikapnya sangat ganjil. Mereka tidak marah bila mendengar bacaan ayat-ayat Allah, tetapi anehnya juga tidak bereaksi sedikit pun. Kalam Allah tidak menimbulkan efek apa-apa di hatinya, hanya berdesir di telinga lalu lenyap terbawa angin.
Sepertinya, tepatlah apa yang disindir oleh Allah dalam firman-Nya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad: 24).
Sebaliknya, bila nyanyian dan musik didendangkan maka seketika itu pula matanya berbinar, jantungnya berdegup penuh semangat, dan hatinya terhanyut dalam iramanya.
Tidak ketinggalan kakinya bergoyang dan kepalanya pun mengangguk-angguk penuh kenikmatan. Tampaknya, Al-Qur’an telah mendapat saingan, bahkan pengganti. Astaghfirullah!
Pertanyaannya sekarang: bagaimana reaksi hati kita ketika nama Allah disebut dan ayat-ayat-Nya dibacakan? Termasuk kelompok manakah kita? Apakah hati kita menjadi tergetar dan semakin bersemangat beramal shalih?
Atau, jangan jangan justru menjadi jengkel dan semakin terbenam dalam kemaksiatan? Atau, diam membatu dan tidak bereaksi apa-apa? Kita harus memeriksanya sendiri-sendiri. Wallahu a’lam.
*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis pengasuh YPI Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Malang, Jawa Timur