JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Jika menilik sejarah, tokoh tokoh penggerak di masa silam sejatinya lahir dan tumbuh secara alami. Mereka ditempa oleh kondisi di sekitarnya, di waktu yang sama mereka tekun ‘membaca’ keadaan dan tanda tanda. Lalu dari hasil pembacaannya mereka menjawab realitas zaman yang ada dengan mengagumkan.
Telaah budaya literasi itulah yang coba ditelisik lebih dalam oleh Ketua Bidang Garapan Data, Dokumentasi, dan Perpustakaan Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Hadi Nur Ramadhan. Bagi Hadi, budaya literasi para pendahulu amat mempesona, walaupun mereka tak duduk di bangku sekolah seperti sekarang.
Menurutnya, figur seperti Ustadz Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, adalah orang yang kemampuan literasinya melampaui zaman. Ia mampu hadir sebagai pembaca, inspirator, penggerak, dan sekaligus teladan. Kalau dalam isitilah Pak Amien Rais, gabungan dari Man Of Idea dan Man Of Action.
Budaya literasi semacam ini menurut Hadi harus terus ditumbuhkan di kalangan generasi muda hari ini, karena kita tak bisa sepenuhnya berharap tradisi ini bertumbuh ditengah gelombang ‘sekolahisme’ yang formil dan industrialistik.
“Budaya literasi kita terjebak dalam kungkungan sekolahisme,” kata Hadi Nur saat menjadi narasumber dalam acara webinar bedah Majalah Digital (Madig) Silatnas Hidayatullah “Warna-warni jelang Silatnas”, Sabtu malam, 28 Rabi’ul Awal 1445 (14/10/2023).
Sekolahisme, menukil pandangan Adian Husaini, adalah penyakit pemikiran yang menyamakan pendidikan dengan sekolah. Sementara budaya literasi, tambah Hadi, memiliki dimensi yang melintasi formalisme dan melampaui sekadar penyelenggaraan transaksional.
Hadi lantas mengajak meneropong bagaimana budaya ini bertumbuh di masa lalu, ditengah situasi ketika itu yang sebenarnya amat berat dan menantang serta ketersediaan peralatan yang sama sekali tak memadai.
Tetapi anak muda di zaman pergerakan nasional itu tak menjadikan keadaan sulit sebagai alasan untuk tidak melakukan apa apa. Mereka justru mampu tampil sebagai kombinasi manusia berpikir, pembaca yang tekun, dan penggerak.
Karena itu, menurut Hadi Nur, kalau mengacu pada semangat para pahlawan bangsa dan pejuang agama tersebut, maka hendaknya generasi muda masa kini perlu mengaktualisasi nilai tersebut.
“Contohlah semangat para pendahulu seperti Hamka, Natsir, dan Abdullah Said. Budaya literasi mereka luar biasa,” katanya.
Menurut Hadi, setidaknya ada 5 M untuk punya kekuatan juang itu yaitu Mujahadah, Mulazamah, Membaca, Mudzakarah, dan Menulis.
Gempuran Digital dan Minat Baca
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Madig Silatnas, Imam Nawawi, pada webinar itu menerangkan bahwa media adalah ruh, nafas, dari gerakan umat dan peradaban.
Ada beberapa fakta yang melatari hal itu. Pertama, terang Imam, umat Islam sangat erat dengan gagasan. Bahkan secara ajaran, Islam dengan ilmu adalah identik. Iman, syahadat, dalam Islam, mensyaratkan ilmu.
Kedua, Islam adalah ajaran yang mendorong umatnya aktif melakukan dakwah, sehingga media dengan sejarah modern umat Islam adalah hal yang tak terpisahkan.
Para tokoh negeri, mulai dari Soekarno, Bung Hatta, hingga Natsir dan Buya Hamka, seluruhnya adalah orang-orang yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan melalui media.
Imam menyebutkan, umat Islam mulai aktif dalam geliat penerbitan media massa pada pertengahan abad ke-19 M. Seperti surat kabar pekanan Bromartani terbit pada 1855 di Surakarta dan Djawi Kanda terbit pada 1891.
Selanjutnya bermunculan berbagai macam media massa, seperti Guntur Bergerak, Benih Merdeka, Suara Rakyat Indonesia, Sinar Merdeka dan Sinar Indonesia.
Hingga tiba masa Buya Hamka menjadi pemimpin redaksi Majalah Pedoman Masyarakat. Sebuah majalah yang mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Majalah itu beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935.
Media Perjuangan
Lebih jauh menurut Imam, sebagaimana para tokoh bangsa yang memiliki visi jauh, memandang penting hadirnya media massa, demikian pula halnya dengan Ustadz Abdullah Said.
Ustadz Abdullah Said, kata Imam, punya gagasan tentang media massa. Maka beliau dan para sahabatnya berjuang mendirikan Majalah Suara Hidayatullah, yang belakangan akrab disebut dengan Majalah Sahid.
“Majalah ini bukan sekadar media massa biasa (seperti umumnya). Hal ini karena konten majalah bukan semata berita, tetapi banyak hal lain yang penting jadi bacaan keluarga Muslim,” katanya.
Lebih menarik lagi kalau melihat bagaimana proses menulis dilakukan. Bukan sebatas mengandalkan hasil bacaan (riset) semata, tetapi tetap menghubungkannya dengan relasi vertikal, kepada Rabbul ‘Alamin.
Majalah Digital
Menyambut Silaturrahim Nasional (Silatnas) yang akan berlangsung pada 23-26 November 2023, Media Center Silatnas menerbitkan Majalah Digital Silatnas yang edisi perdananyan terbit awal Oktober lalu.
Dengan adanya Majalah Digital ini, tidak saja dapat mengabarkan apa saja perihal agenda dan gagasan menjelang Silatnas.
Lebih substansial, menurut Imam, generasi Hidayatullah masa kini sedang berada dalam jalur penting, mewarisi semangat juang dan pemikiran Ustadz Abdullah Said tentang dakwah melalui media.
“Meski begitu ini tidak mudah, karena kita berada di era, dimana media begitu mudah dan murah, namun minat baca orang begitu rendah,” katanya.
Namun, dia optimis, bahwa semakin kuat menjaga tradisi perjuangan melalui media, semakin akan mudah muncul kader-kader umat yang cakap dan visioner dalam perjuangan media massa, seperti para pendahulu umat, bangsa dan negara.
Dalam rangkaian acara Pra Silaturrahim Nasional Hidayatullah tahun 2023, Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah menyelenggarakan Webinar dengan tajuk Bedah Majalah Digital: “Warna-warni jelang Silatnas”, dengan tujuan menggugah semangat literasi di kalangan pemuda Indonesia.
Acara juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal PP Pemhida, Bustanol Arifin, yang turut memeriahkan forum literasi ini. Lebih dari itu, peserta berasal dari unsur PD dan PW Pemuda Hidayatullah dari seluruh penjuru Indonesia. Terdapat juga perwakilan dari Muslimat Hidayatullah dan Media Center Silatnas Hidayatullah 2023 yang ikut meramaikan diskusi.
Webinar yang dimoderatori oleh Refra Elthanimbary, Kadep Ristek PP Pemuda Hidayatullah ini tidak hanya ingin menginspirasi, tetapi juga memberi kesempatan peserta untuk bertanya dan berdiskusi tentang budaya literasi.
Menurut Refra, budaya literasi ini menjadi pondasi kuat yang ditanamkan KH. Abdullah Said kepada para kadernya. Bahkan, budaya literasi telah mengilhami pendirian majalah Suara Hidayatullah sebagai aplikasi nyata dari budaya literasi di Hidayatullah.
“Acara ini bukan sekadar bincang-bincang, melainkan refleksi mendalam bagi kader pemuda Hidayatullah untuk terus menggeliatkan budaya literasi, membaca, dan menulis,” kata Refra.
Pria Maluku ini berharap semoga semangat literasi ini akan terus membara dan memengaruhi generasi muda Indonesia untuk menjadi pembaca dan penulis yang handal di masa depan.*/ (ybh/hidayatullah.or.id)