Ketika seseorang terbiasa bertanggungjawab, terlatih menghadapi situasi sulit, dan jujur dalam segala keadaan, maka tiba masa situasi berat ia akan mampu menghadapinya dengan tenang, percaya diri, dan pasti.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada seluruh manusia bahwa dunia ini adalah tempat berlatih. Di dalamnya ada kesenangan sekaligus kesedihan. Ada kemudahan sekaligus kesulitan. Menghadapi itu semua bukan semata uang yang diperlukan atau bahkan kecerdasan dan jaringan. Tetapi, iman dan Islam agar mampu berbuat yang terbaik (ahsanu amala).
Orang yang mampu mengisi kehidupan dunia ini dengan amal terbaik sudah barang tentu Islamnya kaffah. Dalam bahasa Gus Hamid dalam buku Minhaj, Islamnya lengkap dari ritual hingga intelektual. Dalam bahasa umum bisa disebut dari tradisi hingga ideologi atau lebih sederhana dari pikiran dan lisan, hingga perbuatan.
Ibn Katsir dalam ayat ke dua Surah Al-Mulk terkati lafadz “Ahsanu Amala” menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah “yang paling baik amalnya.”
“Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ajlan,”lanjut Ibn Katsir. “Allah tidak mengatakan “Yang paling banyak amalnya.”
Hal itu menekankan bahwa kualitas sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan ini. Seseorang mungkin memiliki otoritas banyak, menjadi koordinator beberapa bidang urusan, tetapi kalau tidak mengerti bagaimana membuat keputusan terbaik (bukan banyak keputusan) pasti akan mendatangkan banyak masalah bahkan mudharat.
Persis seperti yang sekarang terjadi di negeri ini berupa mewabahnya virus Corona (Covid-19). Ini bukan karena tidak ada yang ahli sama sekali di negeri ini, tetapi bisa dikatakan keputusan terbaik yang belum ditemukan atau boleh jadi ada, namun tidak atau sangat terlambat disadari dan dieksekusi.
Ketiadaan keputusan terbaik ini telah mengundang masalah runyam dan massif serta sangat serius. Dalam bahasa Dahlan Iskan pada artikelnya “Rahasia Bukan” pada disway.id disebutkan, “Keterlambatan penanganan Covid-19 bisa meruntuhkan negara. Kita bukan negara kaya yang punya banyak tabungan.”
Pertanyaannya mengapa keputusan terbaik itu tidak muncul, boleh jadi karena fokus utamanya tentang apa itu amanah, jabatan, kekuasaan, dan harta bahkan kehidupan ini belum benar-benar didasari pencerahan wahyu, sehingga amal terbaik itu memang belum dilatih, belum jadi tabungan, sehingga dalam situasi sulit yang datang tiba-tiba, gagap dan gugup tidak bisa dihindari.
Dalam kata yang lain, solusi menangani Covid-19 sekarang ini bukan semata pendekatan medis, tetapi juga ruhiyah. Kejujuran, kesungguhan, dan permintaan maaf atas keterlambatan harus dikedepankan, agar ada ketersambungan hati, pikiran, dan semangat, sehingga ada imun kolektif yang kembali terbarukan. Dimana hal ini sangat dibutuhkan untuk seluruh elemen bangsa memiliki energi yang sama untuk melawan Covid-19.
Jangan sampai keterlambatan ini membawa diri kita pada keterlambatan hakiki, seperti seruan orang-orang kafir dalam Al-Qur’an.
“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk [67]: 10). Allahu a’lam.*
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah