AdvertisementAdvertisement

Dosa Pemantik Permusuhan, Kebencian, dan Perpecahan

Content Partner

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu: Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Seorang muslim adalah saudara dari sesama muslim, dia tidak boleh menzhalimi dan menelantarkannya.” Beliau melanjutkan, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah dua orang yang berkasih-sayang itu kemudian berpisah kecuali karena suatu dosa yang diperbuat oleh salah seorang dari mereka.”

(Riwayat Ahmad, menurut al-Mundziri: sanad-nya hasan, di bawah ini teks Arabnya)

عن ابن عمر رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول: الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَيَقُوْلُ: وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا تَوَادَّ اثْنَانِ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا

~~***~~

BERAPA kali Anda terheran-heran oleh berita-berita ‘heboh’ yang beredar luas di tengah-tengah masyarakat? Tentang kerusuhan satu kelompok dengan kelompok lainnya? Kerusuhan sebelum atau sesudah Pilkada? Tentang keretakan rumah-tangga public-figure yang sebelumnya dipuja-puji sebagai pasangan serasi? Tentang partai yang tiba-tiba pecah setelah menang atau kalah Pemilu?

Atau, tentang kekisruhan di tubuh berbagai lembaga yang sebelumnya solid, justru ketika mereka sedang makmur dan kaya-raya? Tentang serumpun manusia bersaudara yang tiba-tiba bertengkar hebat? Tentang beragam permusuhan, kebencian, perpecahan dan ketidakharmonisan yang muncul tiba-tiba, dari sebuah “taman yang indah permai”?

Atau, Anda pun bingung memahami diri sendiri yang sedang terlibat kericuhan di hari-hari ini? Mengapa? Dari mana semua itu bermula?

Hadits di atas memperlihatkan latar-belakang batiniah dari segenap perpecahan dan pertikaian. Jika dua orang yang saling berkasih-sayang secara tiba-tiba berpisah dan kini justru berhadap-hadapan sebagai musuh, pasti ada dosa yang telah muncul di tengah-tengah mereka. Hal semacam ini dapat terjadi pada keluarga, lembaga, perusahaan, partai, negara, pendeknya segala jenis ‘kumpulan’ manusia.

Perbuatan dosa mencakup segala tindakan yang dibenci oleh Allah, baik dalam kaitannya dengan peribadatan, pemikiran, moralitas, maupun perilaku-perilaku praktis keseharian. Sementara itu, permusuhan dan perpecahan sendiri bukanlah satu-satunya akibat dari dosa. Akibat semacam itu hanya salah satu, karena lain-lainnya sudah antri menunggu.

Sebagai contoh, sebuah hubungan dekat yang diwarnai sikap tidak hormat dan suka mengolok, misalnya dalam hal nama dan ciri-ciri fisik, cepat atau lambat akan terbakar oleh kebencian. Sebab, olok-olok adalah dosa dan pelanggaran terhadap aturan Allah dalam surah al-Hujurat : 11.

“Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Kemitraan dalam bisnis yang lancar dan menguntungkan segera akan berakhir manakala ada pengkhianatan oleh salah satu pihak.

Rasulullah memberitakan sebuah Hadits Qudsi, dimana di dalamnya Allah berfirman:

أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا

“Aku (Allah) adalah pihak yang ketiga diantara dua orang yang bermitra (dalam usaha), selama salah satu dari mereka tidak mengkhianati partnernya. Jika salah salah satu mengkhianati lainnya, maka Aku keluar dari (kemitraan) mereka itu.” (Riwayat Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Jelasnya, berkah Allah akan dicabut dari setiap hal yang di dalamnya terkandung dosa dan kemaksiatan. Setelah itu, perjalanan selanjutnya pun akan bergerak tanpa sandaran rahmat dan ma’unah-Nya, sehingga hal-hal yang besar akan menjadi beban pemberat, sedangkan masalah-masalah kecil bakal menjadi sandungan yang menyendat langkah.

Demikianlah. Tidak ada perbuatan manusia yang lolos tanpa konsekuensi, baik segera maupun tertunda, di dunia sekarang atau di akhirat kelak.

Ayat-ayat Kitab Suci dan juga hadits-hadits Nabi merumuskan sebuah kaidah, bahwa dosa adalah tiupan syetan. Jika dipatuhi, maka di titik ini syetan menjebak para pengikutnya dalam lingkaran tak berujung, kecuali bagi mereka yang – atas rahmat Allah – mau bertaubat.

Segala dosa akan memicu kebencian dan permusuhan abadi, baik diantara sesama pelaku maupun orang lain yang tidak terlibat. Ayat 90-92 surah al-Maidah berikut ini berbicara tentang induk-induk dosa, yakni meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maidah [5] : 90-92)

Dengan gamblang al-Qur’an mengintrodusir bahwa dosa akan membawa manusia ke jurang permusuhan dan kebencian. Disini, besar kecilnya akibat dipengaruhi oleh kadar dosanya. Semakin besar dosanya, maka semakin hebat pula dampak permusuhan dan kebencian yang akan disemai.

Jangan Melanggar Hak Orang Lain

Hadits yang kita kutip di awal artikel ini memiliki teks pelengkap, juga teks tambahan dari jalur lain, yang semakin memperjelas makna maupun konteks praktis hadits ini. Selengkapnya hadits diatas dilanjutkan dengan:

لِلْمَرْءِ الْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيْهِ مِنَ الْمَعْرُوْفِ سِتٌّ يُشَمِّتُهُ إِذَا عَطَسَ وَيَعُوْدُهُ إِذَا مَرِضَ وَيَنْصَحُهُ إِذَا غَابَ وَيَشْهَدُهُ وَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِذَا لَقِيَهُ وَيُجِيْبُهُ إِذَا دَعَاهُ وَيَتْبَعُهُ إِذاَ مَاتَ وَنَهَى عَنْ هَجْرَةِ الْمُسْلِمِ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ

“Seorang muslim memiliki 6 hak kebaikan (al-ma’ruf) dari saudaranya: didoakan jika bersin, dijenguk jika sakit, dinasehati jika tidak hadir dan (juga jika ia) hadir, diberi ucapan salam jika bertemu, dihadiri jika ia mengundang, dan diiringi jenazahnya jika meninggal.”

Beliau juga melarang seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari 3 hari. Rangkaian kebajikan yang disebutkan Rasulullah ini memilik satu bingkai yang jelas, yakni rumus-rumus praktis memelihara keutuhan sebuah ikatan. Jika logikanya dibalik, maka melanggar hak-hak ini sama dengan mengurai ikatan secara sengaja.

Sebagai misal, kita semua menyadari betapa hebatnya aktifitas sederhana berupa menghadiri undangan atau mengucapkan salam saat berpapasan. Pernahkan di hati terbetik suatu prasangka buruk manakala seseorang yang kita undang tidak hadir tanpa alasan yang jelas? Dan, bukankah di hati segera timbul perasaan tidak enak jika berpapasan dengan seseorang yang kita kenal sementara ia tidak mengucapkan salam, bahkan menoleh pun tidak?

Dalam kasus lain, tatanan dunia sekarang ini dikacaubalaukan oleh kampanye-kampanye yang mengatasnamakan pembelaan hak asasi, namun sesungguhnya merupakan pelanggaran pertama terhadap hak asasi itu sendiri. Dengan menggunakan kaidah umum dari hadits di atas, kita dapat memahami bahwa akar keruwetan tersebut berawal dari pelanggaran hak sesama.

Ketika seseorang, sekelompok ras atau etnik, sebentuk pemikiran, sebuah lembaga, suatu rezim, melakukan kezhaliman dan penelantaran terhadap hak pihak lain, maka akibatnya tidak usah ditunggu terlalu lama. Permusuhan pun bangkit, kehancuran pasti ditanggung kedua belak pihak, sementara syetanlah yang akan tampil sebagai pemenangnya.

Jangan Menjadi Pihak yang Pertamakali Berdosa

Dari jalur lain diriwayatkan teks hadits yang sedikit berbeda, namun memberi kita tambahan makna yang sangat berharga:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ التَّقْوَى هَهُنَا, قال حماد: وقال بيده إلى صدره. وَمَا تَوَادَّ رَجُلاَنِ فِي اللهِ عز وجل فَتَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِحَدَثٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا وَالْمُحْدِثُ شَرٌّ وَالْمُحْدِثُ شَرٌّ وَالْمُحْدِثُ شَرٌّ

“Seorang muslim adalah saudara dari muslim lainnya, dia tidak boleh menzhalimi serta menelantarkannya. Taqwa itu disini.” Rasulullah menunjuk ke dada beliau, (kemudian melanjutkan), “Tidaklah dua orang yang saling berkasih-sayang di jalan Allah ‘Azza wa Jalla kemudian saling berpecah-belah kecuali karena suatu perbuatan (dosa) yang diperbuat oleh salah satu dari mereka. Dan, pihak yang melakukan dosa itulah yang paling buruk (diantara keduanya). Dan, pihak yang melakukan dosa itulah yang paling buruk. Dan, pihak yang melakukan dosa itulah yang paling buruk.”

Uniknya, Rasulullah mengaitkan persaudaran sesama muslim dengan ketakwaan di dalam hati. Seolah-olah beliau hendak memperingatkan bahwa persaudaraan itu hanya akan langgeng seiring langgengnya ketakwaan. Jika ketakwaan menipis atau bahkan lenyap, maka tali persaudaraan itupun terancam putus.

Sebagaimana kita mengerti, definisi paling masyhur dari taqwa itu sendiri adalah “melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya”. Sekali lagi kita berjumpa dengan satu kaidah penting, bahwa keharmonisan hanya akan lestari melalui amal-amal shalih yang diridhai Allah, dan akan punah diterjang kemaksiatan.

Penghujung riwayat dari jalur ini juga memperingatkan, bahwa pihak yang melakukan dosa adalah pihak yang paling buruk. Sebab, dialah yang menjadi penyebab kehancuran dan kebencian. Kaidah semacam ini pernah pula beliau ungkap berkenaan dengan para perintis serta pelopor suatu amal. Para pelopor amal baik akan memperoleh pahala dari amalnya sekaligus bonus jika ada yang menirunya setelah itu.

Hal yang sama berlaku terhadap para perintis keburukan. Orang yang mengajarkan serta melatih sebuah kebajikan akan mendapatkan pula kesempatan meraih pahala yang beranak-pinak seperti ini. Para perintis amal shalih tetaplah yang terbaik, walaupun generasi yang datang setelah itu mampu mempersembahkan yang lebih baik.

Sebaliknya pula, para pelopor kemaksiaatan adalah yang terburuk diantara semuanya, walau orang-orang yang mengikuti jejaknya setelah itu melakukan dosa yang lebih dahsyat lagi.

Jauhilah Dosa Sekuat Tenaga

Rangkaian ayat serta hadits di atas menggiring kita kepada satu kesimpulan, bahwa resep paling manjur untuk merawat keutuhan rumah tangga, kesolidan jamaah, kerukunan masyarakat, integrasi bangsa, kedamaian dunia dan segala jenis perkumpulan manusia hanyalah dengan menjauhi dosa.

Dengan demikian, itu bermakna betapa perlunya kita untuk mematuhi Allah, Rabb yang satu. Sebab, dengan sepenuhnya tunduk di bawah hukum-Nya maka segenap celah perpecahan ditutup. Ketidaktaatan kepada hukum Allah pada dasarnya membuka pintu masuk syetan, yang segera mengobrak-abrik kesatuan dan membubarkan shaff jamaah.

Dalam QS 05:13-14 dan 05:64, Allah menyatakan dengan gamblang bahwa penyebab permusuhan (al-‘adawah) dan kebencian (al-baghdla’) di kalangan dua umat terdahulu, Yahudi dan Nasrani, adalah karena mereka melupakan perintah serta perjanjian dengan Allah.

Dalam QS 60:04, kaidah ini ditegaskan kembali lewat lisan Nabi Ibrahim, yang menyatakan bahwa sebab kebencian dan permusuhan antara beliau dengan kaumnya adalah karena mereka melakukan kesyirikan, yakni dosa yang paling besar.

Satu hal yang menarik bahwa al-Qur’an surah al-Maidah ayat 90-92 di atas mengaitkan permusuhan dan kebencian dengan syetan, makhluk penggoda yang diciptakan dari api. Sebagaimana kita tahu, api senantiasa melambangkan kehancuran, kebinasaan, penderitaan; sehingga al-Qur’an memakai kata an-naar (api) untuk menyatakan kumpulan adzab Allah di akhirat, yakni neraka.

Akan tetapi, daya bakar yang dibawa syetan ini bukanlah kekuatan mutlak di alam semesta. Ia tetap berada dalam batasannya, dan tidak ada artinya di hadapan Allah. Maka, daya ini pun hanya akan takluk oleh sikap pasrah kepada perlindungan-Nya. Maka, kita pun diminta untuk senantiasa ber-isti’adzah, memohon pemeliharaan dan perlindungan Allah.

Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud, beliau memberi tips untuk meredam marah dengan berwudhu’, karena panasnya kemarahan yang dikobarkan syetan akan padam oleh dinginnya air wudhu’. Kata kuncinya bukan pada air yang mendinginkan gejolak kemarahan, tetapi lebih pada aktifitas wudhu’, yakni bentuk ketaatan kepada Allah. Sekali lagi kita menemukan bahwa ketaatan kepada Allah akan menghindarkan kita dari kebencian dan permusuhan yang dikobarkan syetan.

Sebagaimana kita tahu pula, daya bakar dari permusuhan dan kebencian sanggup menghanguskan segala jasa baik dan kisah-kisah indah sebuah kebersamaan. Kita pun sudah mafhum, bahwa tindakan saling membongkar aib dan menafikan jasa seperti ini acapkali terdengar dari tragedi perceraian dan perebutan kursi kekuasaan, padahal sebelumnya terlihat serasi dan kompak.

Dalam istilah lain, lebih jauh Rasulullah menyebut kebencian dan iri-hati sebagai “pencukur”. Bukan pisau cukur dari logam yang memotong habis rambut di kepala, namun pisau cukur tak terlihat yang akan mengikis tandas agama (dien) dalam diri seseorang, jamaah, masyarakat. Demikian menurut riwayat al-Bazzar, yang dinilai jayyid (baik) sanad-nya oleh al-Mundziri.

Itu berarti setiap pribadi, rumah tangga, lembaga, partai, rezim, negara, yang telah terjangkiti sikap iri-hati (al-hasad) dan kebencian (al-baghdla’) pasti bakal menemukan dirinya telah kehilangan sensitifitas keagamaan. Sikap-sikap religius dan kepekaan terhadap cahaya Allah akan memudar, atau bahkan padam samasekali. Pada tahap berikutnya, boleh jadi akan lahir tindakan-tindakan yang tak terkendali dan berada di luar pemikiran akal sehat. Na’udzu billah.

Di seluruh dunia kita juga sedang menyaksikan adegan-adegan terbuka dari drama pertikaian berkepanjangan antar kelompok ras dan etnis, penguasa dengan rakyat, sesama partai yang saling beroposisi, bahkan grup negara-negara tertentu harus berhadapan dengan grup negara-negara lainnya. Yang terbaru dan sedang panas adalah kasus perang Rusia dan Ukraina. Kita mencatat suatu kesamaan latar belakang di sana: kezhaliman, ketidakadilan, kebohongan, keserakahan, penindasan, iri-hati, kesombongan, kesewenang-wenangan, kelicikan, kebencian, dan masih panjang deretan jenis dosa-dosa lainnya.

Maka, benarlah Rasulullah yang memperingatkan kita untuk menghindari dosa, dan membiasakan diri dengan kebajikan. Beliau bersabda:

“Hendaklah kalian jujur (ash-shidq), sebab kejujuran itu akan membimbing kepada kebajikan (al-birr), sedangkan kebajikan akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan membiasakan diri dengan kejujuran, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang selalu jujur (shiddiq). Jauhilah kebohongan (al-kadzib), karena kebohongan itu akan membimbing kepada pelanggaran hukum (al-fujuur), sementara pelanggaran itu akan membawa ke neraka. Seseorang yang selalu berbohong dan membiasakan diri dengan kebohongan, maka ia akan tercatat sebagai pembohong (kadzdzab) di sisi Allah.” (Riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Wallahu a’lam.

Ust. M. Alimin Mukhtar

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Daiyah Sarjana STIS Hidayatullah Siap Bangun Generasi Cerdas untuk Indonesia Emas 2045

BALIKPAPAN (Hidayatullah.or.id) -- Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan menggelar acara penugasan daiyah sarjana tahun 2024 di Kampus...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img