JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dosen senior Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah (STIEHID) Depok yang juga Guru Besar Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Dr. H. Suryanto, SE, MM, meninggal dunia.
Salah seorang perintis STIE Hidayatullah ini menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 11:30 WIB pada hari Jum’at, 18 Muharam 1443/ 27 Agustus 2021 di Jakarta.
Wafatnya pendidik yang dikenal amat disiplin waktu ini meninggalkan duka mendalam bukan saja bagi keluarga yang ditinggalkan, melainkan juga kepada segenap keluarga besar dan civitas akademika STIE Hidayatullah Depok.
“Saya bersaksi bahwa beliau adalah orang baik,” kata Dr Dudung Amadung Abdullah, dosen yang juga pernah memimpin STIE Hidayatullah.
Dudung memiliki kenangan tersendiri terhadap Direktur Akademi Keuangan & Perbankan Universitas Borobudur ini. Ditengah kesibukannya sebagai PNS, almarhum tetap meluangkan waktunya mengajar di STIE Hidayatullah.
Termasuk, dalam hal ini, beliau dikenal sebagai dosen yang tidak pernah terlambat dan tak pernah absen, kecuali ada halangan amat mendesak yang sukar ditinggalkan.
Dr Dudung yang sejak tahun 2004 telah bersama almarhum menjadi pengajar di kampus STIE Hidayatullah, mengaku banyak menyerap energi dari almarhum bersama dengan sahabatnya, Dr Abdul Mannan, yang juga telah meninggal dunia mendahului kita.
“Alhamdulillah saya diberi kesempatan mendampingi dan menyerap energi perjuangan dari beliau berdua sejak tahun 2004 saat bersama-sama merintis STIE Hidayatullah di Depok,” kata Dudung.
Bukan saja terhadap rekan sesama dosen, mahasiswa yang pernah diajar almarhum juga merasakan kehilangan dengan sosok disiplin yang perhatian dengan mahasiswanya ini. Saking disiplinnya, almarhum bahkan seringkali lebih awal tiba di ruang kuliah ketimbang mahasiswa.
“Masih di masjid ya, atau tidur,” demikian celetuknya seraya bertanya yang sering almarhum ucapkan sambil tersenyum jika mendapati ruangan kuliah masih sepi.
Almarhum tampaknya mengerti dengan kondisi mahasiswa STIE Hidayatullah berasrama yang harus mengikuti jadwal kegiatan di masjid setelah subuh. Sementara, jadwal mengajar beliau memang tepat pukul 06:00 WIB dimana aktifitas di masjid biasanya belum sepenuhnya usai.
“Beliau sangat disiplin waktu dan sabar menghadapi kami mahasiswa yang kadang terlambat dan tidur di kelas,” demikian aku Zulkifli, salah satu mahasiswa STIE Hidayatullah asal Bontang yang duduk di semester akhir ini.
Mengenai kebiasaan berdisiplin dalam segala hal, almarhum dalam banyak kesempatan perkuliahan selalu menekankan keutamaan membangun peradaban Islam dimulai dari diri sendiri.
“Bukan hanya ngambil uang yang bukan haknya, terlambat atau tidak tepat waktu itu juga korupsi. Tidak tepat waktu bukan peradaban Islam,” katanya yang masih lekat dalam ingatan penulis.
Demikian pula dirasakan Mohammad Irwan. Baginya, almarhum bukan semata pendidik, tapi juga sosok ayah yang telaten dan penuh kesabaran memberikan pengajaran berkenaan dengan materi kuliah yang disampaikan.
Dikala awal almarhum mengajar di kampus STIE Hidayatullah Depok, ia selalu menggunakan alat jadul Over Head Projector (OHP) atau proyektor film yang dijalankan secara manual.
Alat ini selalu dibawanya setiap mengajar yang beratnya cukup lumayan. Dengan OHP ini, almarhum menghadirkan suasana pembelajaran yang interaktif. Termasuk dengan perangkat ini beliau dapat mengulangi kembali materinya terutama kepada mahasiswa yang telat masuk.
“Beliau bukan hanya dosen buat saya, beliau juga sebagi orangtua saya karena beliau mengajari kami penuh dengan rasa kasih sayang,” ungkap Irwan, angkatan tahun 2013 ini.
Berpesan untuk mahasiswa
Dalam salah satu kesempatan pidato pada Sidang Senat Terbuka STIE Hidayatullah dalam rangka prosesi wisuda sarjana mahasiwa angkatan ke-VI di kampus tersebut di Gedung Aula STIE Hidayatullah di Komplek Pondok Pesantren Hidayatullah, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (15/09/2012), almarhum tidak mampu menyembunyikan keharuannya di hadapan dai sarjana berjumlah 39 wisudawan yang akan ditugaskan itu.
Di awal penyampaiannya profesor Suryanto sempat menitikkan air mata menyaksikan wajah wisudawan yang telah dididiknya. Sontak ruangan pun henyak, sejumlah hadirin, termasuk undangan yang hadir, ikut terharu.
“Saya sangat terharu, para wisudawan ini adalah anak didik yang telah saya didik dengan sungguh-sungguh. Saya juga bangga karena Anda (wisudawan, red) mampu menyelesaikan tugas dengan baik dan sekarang Anda bisa duduk di sini,” katanya.
Dalam orasi ilmiahnya itu, almarhum menyampaikan pesan kepada wisudawan untuk senantiasa menjaga tradisi keilmuan yang selama ini telah terbangun dengan baik.
Di hadadapan ratusan hadirin, beliau mengatakan sarjana lulusan STIE Hidayatullah memang berbeda dengan sarjana pada umumnya. Karena, lanjut dia, kehadiran STIE Hidayatullah untuk mencetak sarjana dai kader dakwah dalam rangka mengemban tugas kenabian yakni menyebarkan rahmat dan manfaat untuk seluruh alam.
“Dai adalah pelaku pasar. Maka sudah seharusnya seorang dai sarjana adalah orang yang pertama terjun ke pasar untuk membangun kemandirian dan mencerahkan umat,” katanya.
“Dan, saya tidak rela kalian melakukan hal-hal tercela di pasar. Saya tidak mau ilmu yang saya berikan digunakan untuk hal-hal yang tercela,” lanjutnya berpesan.
Kendatipun beliau menyandang gelar sebagai Guru Besar Universitas Borobudur, pembawaan almarhum tetap sederhana termasuk selalu bersedia menerima mahasiswanya dimana saja untuk sekadar berkonsultasi. Bahkan, tak jarang, di lain kesempatan ia meminta mahasiswa datang ke rumahnya dan menjamu layaknya kedatangan tamu agung.
“Dengan kebesaran jiwanya tampil sangat sederhana di depan mahasiswanya. Tetapi semangat dan dedikasinya untuk menebar kebaikan dan manfaat dari keluasan ilmu yang beliau miliki selalu menjadi kemegahan dalam setiap langkahnya menuju ruangan kuliah,” kata Mazlis B. Mustafa, alumni STIE Hidayatullah lainnya.
Masih segar betul dalam ingatan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah ini tentang sosok tinggi besar ini. Kata Mazlis, jadwal kuliah yang dimulai jam 6 pagi tidak satupun ia lewatkan dengan datang terlambat, padahal beliau jauh- jauh datang dari Jakarta ke Depok dan setelah itu akan kembali ke Jakarta untuk kembali melanjutkan tugas mulia beliau di kampus lainnya.
“Cukuplah konsistensi beliau dalam menghadiri kelas menjadi pelajaran besar bagi anak didiknya. Kedisiplinan yang tidak pernah beliau jelaskan dengan kata-kata, tetapi terlukis indah di pelupuk mata muridnya,” imbuh Mazlis.
Menurut Mazlis, ikhlas dalam kacamata almarhum adalah memberi manfaat secara profesional tanpa melihat besar kecilnya materi yang menjadi imbalannya. “Sulit membahasakan kebaikan beliau yang panjangnya tak terperi,” imbuh Mazlis memungkasi.
Semoga Allah menyayangi beliau, mengampuni seluruh dosa beliau, dan mengumpulkan beliau bersama para Nabi, Rasul, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin di Jannah Firdaus Tertinggi, Aamiin. (ybh/hio)