ANKARA (Hidayatullah.or.id) — Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Republik Turki, Dr. Lalu Muhamad Iqbal, mendorong pemuda dan santri Hidayatullah berkiprah untuk kebaikan umat, bangsa, dan negara di kancah internasional dengan menjadi diplomat.
“Saya juga mendorong teman teman untuk mengambil pilihan yang lain, seperti menjadi teknokrat, insinyur, ahli hubungan internasional yang suatu saat nanti menjadi diplomat,” katanya dalam acara Majelis Online Pemuda (MOP) Pemuda Hidayatullah yang digelar secara virtual, Jum’at, 15 Rabiul Awal 1443 (22/10/2021).
Webinar bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) ini terselenggera atas dukungan luar biasa Departemen Hubungan Antarbangsa Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah dan dihadiri santri dan pemuda dari berbagai daerah dalam dan luar negeri.
Dalam kesempatan tersebut, Iqbal mengapresiasi santri Hidayatullah yang menempuh studi Islam atau dikirim belajar ke berbagai negara seperti Kairo atau Madinah sebab mengingat kebutuhan terhadap sumber daya insani yang mumpuni dan memiliki keilmuan agama yang kuat. Namun, ia juga mendorong untuk mengambil pilihan yang lain, seperti ada yang diarahkan menjadi teknokrat, insinyur, dan terutama ahli hubungan internasional.
“Yang menjadi diplomat sekarang banyak santri. ini sebuah perkembangan yang baik. Sebelum saya, itu hampir punah santrinya di Kemlu. Terakhir itu Wamenlu kita, Pak Muhammad Fachir, beliau alumni Gontor. Jadi jarak angkatan saya dengan beliau itu 15 tahun, jadi 15 tahun itu kosong, nggak ada santri yang mau masuk ke Kemlu,” imbuhnya memotivasi.
Dia berpesan agar santri selalu percaya diri dengan gelar “santri” yang disandangnya tersebut. Kata dia, siapapun yang menjadi santri hanya masalah waktu saja, akan menjadi tokoh.
“Santri itu, ketika dia belajar, namanya santri. Ketika ia menjadi (orang) besar, namanya tokoh Islam. Jadi sebagai tokoh Islam kita harus menunjukkan adab yang baik. Dalam berpolitik adabnya baik, dalam berucap adabnya baik. Dalam memimpin adabnya baik,” kata diplomat yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam di Pabelan, Surakarta ini.
Disampaikan dia, di pundak santri ada amanah berat yang harus dipikul. Inilah bedanya, kata dia, kita yang santri dengan yang bukan santri. Dia menjelaskan, ketika kita (santri) berperilaku buruk, orang di luar sana bilang yang buruk Islam.
“Jadi beban di pundak ini berat sekali, karena kalau kita berbuat buruk, orang akan bilang yang buruk itu Islam. Padahal, harus dibedakan, antara Islam dan umatnya. Tapi, ya sudah, ini sudah menjadi takdir buat kita bahwa ketika kita sudah menjadi santri, (maka) simbol Islam tidak bisa lagi dilepas dari kita,” jelasnya.
Ditengah beratnya amanah sebagai santri, Iqbal menegaskan bahwa santri adalah kunci masa depan yang gemilang. Dia mengatakan, masa depan umat ini ada di pundak para santri sehingga perlu menyiapkan diri dengan sangat baik.
“Pemuda amat dibutuhkan perannya bukan saja untuk masa depan Indonesia tetapi juga untuk masa depan umat ini. Kalau kita melakukan sesuatu yang baik untuk umat, Insya Allah, itu juga baik untuk Indonesia,” pesannya.
Hampir 90 persen warga negara Indonesia adalah umat Islam, jadi, terangnya, kalau kita berbuat kebaikan untuk umat maka itu 90 persen masalahnya sudah selesai. Dan, dia mengingatkan, para pemuda hari inilah yang akan menentukan masa depan bangsa.
Iqbal menyampaikan itu seraya menukil pepatah Arab: “Inna fi yadi syubban amrol ummah, wa fi aqdamihim hayataha” (sesungguhnya di tangan dan langkah pemudalah urusan dan hidupnya suatu umat/masyarakat).
“Jadi urusan dari umat ini ada di tangan temen temen sekalian, terutama pemuda. Kalau saya, Ustadz Dzikrullah, kalau kita ini sudah generasi transisi. Saya sudah menyiapkan mental saya pada usia saya sekarang ini, ‘kamu tidak usah mengejar sesuatu yang besar besar lagi untuk dirimu, tapi persiapkan landasan yang terbaik untuk generasi setelahmu,'”, katanya.
Santri dan spirit ummatan
Lebih jauh, putra Lombok, Nusa Tenggara Barat, ini mengajak santri menapaktilas perjuangan para santri pemuda di masa lampau. Menurutnya, para pendiri bangsa adalah santri yang perannya luar biasa untuk Indonesia. Dia menyebut Soekarno yang santrinya Haji Oemar Said Tjokroaminoto, ada Pak Hatta yang sudah nyantri sejak kecil di kampung halamannya di Minang, ada Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Natsir, dan lain sebagainya
“Siapa pendiri Indonesia yang bukan santri. Justru saya kesulitan menemukan pendiri Indonesia yang bukan santri,” imbuhnya.
Dia memaparkan, sebelum Indonesia mengenal pendidikan modern, pendidikan yang diterima pertama kali adalah pendidikan Islam. Dan, saat itu pendidikan di luar pendidikan yang disediakan oleh Belanda, pendidikan yang sudah maju dan go international saat itu hanya pendidikan Islam.
Oleh karena telah tercelup dengan pendidikan Islam, kata Iqbal menerangkan, maka santri santri pada saat itu menjadi pelopor persatuan karena cara berfikirnya telah terbentuk bahwa istilah ummatan itu lintas kultur.
Sehingga, lanjutnya, para santri pejuang kemerdekaan dari berbagai daerah di Indonesia ketika bertemu di Makkah yang sama sama belajar agama Islam, sudah tidak berfikir lagi bahwa mereka adalah orang Lombok, orang Padang, Banjar atau orang Sulawesi, dan lain sebagainya.
“Bagi mereka, karena kamu orang muslim maka itulah ikatan kita. Ikatan itulah yang kemudian dibawa pulang ke Indonesia dari belajar di Makkah berupa semangat keumatan, persaudaraan, dan itulah yang menjadi perekat diantara pulau pulau atau kerajaan kerajaan yang terpisah pisah ini,” katanya.
Menurut Iqbal, nilai semangat keumatan dan persaudaraan yang telah membentuk Indonesia itu merupakan sesuatu yang luar biasa, karena hampir tidak ada negara lain di dunia yang masih utuh yang pada awalnya terdiri dari suku bangsa yang berbeda. Ia kemudian mencontohkan fenomena Uni Eropa.
Seharusnya, kata Iqbal, jika namanya ‘Uni’ maka itu serba satu. Tapi yang terjadi di Uni Eropa, paling tidak ada 25 bahasa resmi yang diakui dimana setiap negara dijadikan bahasa resmi walaupun negaranya kecil kecil yang masing masing punya bahasa sendiri dan dengan kultur masing-masing.
“(Uni Eropa) tidak akan pernah menjadi satu negara karena konsep mereka tentang negara bahwa satu negara itu satu bangsa. Sementara, di Indonesia, negaranya itu kumpulan bangsa bangsa. Jadi bangsa bangsa yang lebih besar dari Eropa ini menjadi bangsa Indonesia,” tukasnya.
Demikian pula semangat keumatan dan persaudaraan yang ditunjukkan oleh pendiri bangsa seperti dilakukan Bung Hatta. Iqbal menceritakan, dulu sebelum Indonesia merdeka Pak Hatta pergi belajar ke negeri Belanda.
Pada saat itu, lebih dari setengah orang yang belajar di Belanda itu adalah orang dari Minang karena Minang saat itu memang pendidikannya lebih maju daripada daerah daerah lainnya di Indonesia. Hebatnya, meskipun dominan orang Minang, waktu itu Pak Hatta tidak mendirikan paguyuban Minang, ia malah mendirikan Perhimpunan Indonesia yang bahkan Indonesia sendiri saat itu belum ada.
“Waktu itu, negara yang namanya Indonesia belum ada tetapi Pak Hatta sudah membuat Perhimpunan Indonesia di Belanda. Jadi yang membawa ide persatuan dan membawa ide mengenai Indonesia itu adalah para santri,” kata peraih anugerah Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama (PPT) Teladan ini.
Lebih lanjut, semangat keumatan dan persaudaraan itu juga lalu menjangkau pulau pulau yang terdiri agama agama yang berbeda. Lalu ditariklah pulau pulau itu masuk ke dalam konsepsi keindonesiaan tersebut yang kemudian berkembang menjadi bangsa Indonesia yang menerima semua unsur untuk masuk ke dalamnya.
“Disitulah kemudian kita memperlihatkan dalam sejarah kita bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamiin yang semua orang dirangkul, semua orang merasakan keindonesiaan, dan semua orang merasakan konsep kekitaan Indonesia, yang ketika ngomong Indonesia, semua orang ini ikut ke dalam konsepsi keindonesiaan,” pungkasnya.
Webinar ini juga turut dihadiri Ketua Bidang Organisasi Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah Asih Subagyo sekaligus sebagai narasumber kedua dan dipandu oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah Imam Nawawi serta acara turut dibersamai Ketua Departemen Hubungan Antarbangsa Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah Babeh Dzikrullah. (ybh/hio)