Hidayatullah.or.id — Hidayatullah mengapresiasi dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tentang status tanah masjid. Fatwa ini dikeluarkan didasari adanya beberapa bangunan masjid yang dihilangkan dan digusur tanpa penggantian.
Kendati demikian, Ketua Umum Pengurus Pusat Hidayatullah, Dr H. Abdul Mannan, menilai fatwa status tanah masjid yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia tersebut perlu terus dikuatkan seraya melihat relevansi dengan kondisi masyarakat Indonesia saat sekarang ini.
Untuk menerapkan fatwa ini, kata beliau, perlu dijalin kerjasama dengan pemerintah untuk mengadakan penyuluhan bagi seluruh pengurus-pengurus masjid yang ada di Indonesia.
“(Dan hal itu) pastinya membutuhkan banyak dana,” kata Abdul Mannan sebagaimana diberitakan juga oleh Republika, awal Januari ini.
Menurut beliau, yang perlu dilakukan saat ini adalah mengadakan proyek nasional pembuatan sertifikat wakaf untuk semua masjid. Ia menyarankan agar pemerintah mendata semua masjid yang ada di Indonesia untuk kemudian dibuatkan sertifikat masal.
“Proyek ini bisa berlaku untuk semua rumah ibadah, tidak hanya masjid” papar Abdul Mannan.
Menurut beliau, fatwa ini memang tidak mudah diterapkan mengingat masih rendahnya perhatian masyarakat terhadap masalah administrasi.
“Masyarakat Indonesia tingkat pendidikannya kan tidak sama, kalau disuruh mengurus sertifikat masjid belum tentu bisa,” katanya saat dihubungi Republika Online (ROL), Jumat (2/1).
Pada dasarnya, kata dia, fatwa ini merupakan sebagai bentuk tertib administrasi dari masyarakat. Namun, menurutnya, fatwa ini bisa diberlakukan bagi masyarakat perkotaan dan relatif sulit dilakukan bagi masyarakat desa.
Sebagaimana diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa status hukum tanah masjid. Berikut ini yang di atur dalam tersebut.
Pertama, status tanah yang dimanfaatkan untuk masjid adalah wakaf walaupun secara formal belum memperoleh sertifikat wakaf. Untuk itu, tanah masjid yang belum berstatus wakaf wajib diusahakan untuk disertifikasi sebagai wakaf.
Kedua, tanah masjid yang sebagaimana dimaksud dalam point pertama tidak boleh dihibahkan, tidak boleh dijual, tidak boleh dialihkan atau diubah peruntukannya.
Ketiga, benda wakaf dan status tanah wakaf masjid tidak boleh diubah kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut yaitu, penukaran benda wakaf atau istidlal wakaf diperbolehkan sepanjang untuk merealisasikan kemaslahatan dan mempertahankan keberlangsungan manfaat wakaf. Penukaran benda wakaf ini harus dilakukan dengan pengganti yang memiliki nilai spadan atau lebih baik.
“Dimungkinkan, itu pertimbangan terakhir bisa di lakukan penggantian tetapi dengan syarat manfaatnya tetap jalan dan nilainya sepadan atau lebih baik. Baik itu nilai ekonomis, kemanfataan sosial dan juga nilai historisnya,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am.
Hal lain yang diatur dalam fatwa ini yaitu, benda wakaf diperbolehkan untuk dijual dengan ketentuan adanya hajah dalam rangka untuk menjaga maksud wakif. Hasil penjualanan benda wakaf ini harus digunakan untuk membeli harta benda lain sebagai wakaf pengganti. Selanjutnya, alih fungsi benda wakaf diperbolehkan sepanjang kemashlahatan yang dirasakan lebih dominan.
Pelaksanaan ketentuan dalam fatwa ini harus seizin Menteri Agama dan rekomendasi dari Badan Wakaf Indonesia sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan serta pertimbangan MUI.
Keberadaan fatwa ini berbeda dengan IMB rumah ibadah. Menurutnya, IMB rumah ibadah merupakan aspek teknis dalam mendirikan bangunan yang diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Fatwa status Hukum Tanah Masjid berkaitan dengan status tanah masjid itu sendiri. Bahwa tanah yang dibangun di atasnya masjid pada hakekatnya adalah tanah wakaf. (ybh/hio)