AdvertisementAdvertisement

Hujjah Aqliyah Pola Pribumisasi Al-Qur’an

Content Partner

Taujih Ilahi

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةًۛ كَذٰلِكَۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا

Orang-orang yang kufur berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus ?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Nabi Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar) (QS. Al Furqan (25) : 32)

Orang-orang kafir dan orang-orang Yahudi bertanya mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepada Muhammad sekali turun, seperti kitab-kitab Allah sebelumnya, yaitu kitab Taurat kepada Musa dan Zabur kepada Daud.

Allah menolak pertanyaan mereka itu dan menerangkan mengapa Al-Qur’an diturunkan secara ber-angsur-angsur. Al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur agar Allah memudahkan dan menguatkan hati Nabi Muhammad. Itulah target internal tartib nuzuli.

Adapan target eksternalnya sebagaimana firman Allah pada surat Al-Isra berikut ini:

“Dan Al-Qur’an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” (QS. al-Isra’ (17) : 106).

Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur memang mengandung banyak hikmah, di antaranya:

  1. Nabi Muhammad sering berjumpa dengan malaikat Jibril sehingga banyak menerima nasihat guna menambah semangat, kesabaran, dan ketabahan dalam menunaikan dakwah dan risalah-Nya.
  2. Karena Nabi Muhammad tidak dapat membaca dan menulis (ummi) maka seandainya Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus, tentu ia akan kesulitan untuk menghafalnya.
  3. Supaya hafalannya lebih mantap, sempurna, dan terhindar dari segala kealpaan.
  4. Seandainya Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus, tentu syariat-syariatnya pun diturunkan sekaligus. Hal yang demikian itu pasti mengakibatkan banyak kesulitan. Akan tetapi, karena turunnya berangsur-angsur maka syariat pun diberlakukan secara berangsur-angsur sehingga mudah dilaksanakan, baik oleh Rasul maupun umatnya.
  5. Karena turunnya Al-Qur’an banyak berkaitan dengan sebab-sebab turunnya seperti adanya berbagai pertanyaan, peristiwa, atau kejadian, maka turunnya secara bertahap lebih berkesan dalam hati para sahabat karena mereka bisa menghayatinya peristiwa demi peristiwa.
  6. Kalau dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur saja, mereka tidak mampu meniru Al-Qur’an walaupun satu ayat, apalagi jika diturunkan sekaligus.
  7. Sebagian hukum syariat Islam turun sesuai dengan perkembangan kaum Muslimin pada waktu itu. Kemudian setelah mereka bertambah cerdas dan mantap keimanannya, barulah diterapkan syariat Islam yang lebih sempurna dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang turun kemudian. Seandainya Al-Qur’an diturunkan sekaligus tentu hal demikian itu tidak mungkin terjadi.

Urgensi Interaksi dengan Al-Quran Secara Tartib Nuzuli

Sudah menjadi hal biasa jika setiap muslim membaca Al-Qur’an secara urut berdasarkan mushaf mulai dari Surat al-Fatihah sampai Surat an-Nas (tartib mushafi). Mushaf tersebut adalah rasm Utsmani (tulisan resmi Khalifah Utsman). Begitu pula sudah masyhur dijumpai kitab-kitab tafsir baik hasil karya ulama klasik maupun kontemprer menggunakan tartib mushafi.

Kita dapat menyebutkan beberapa di antaranya seperti Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Tabari, al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi dan at-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu Asyur.

Pernahkah kita membaca Al-Qur’an berdasarkan urutan kronologis surat (tartib nuzuli)? Pernahkah kita membaca tafsir yang ditulis berdasarkan kronologis surat? Atau bahkan di antara kita tidak tahu jika ada tartib nuzuli? Namun pertanyaan yang paling penting adalah apa urgensi membaca Al-Qur’an dan tafsir dengan cara seperti itu?

Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur (gradual), ada yang beberapa ayat ada juga yang lengkap satu surat. Terkait kapan harus turun, di mana dan apa momentum yang tepat berada dalam kuasa Allah. Nabi Muhammad sang penerima wahyu tidak dapat mengatur dan meminta Allah untuk menurunkan Al-Qur’an.

Tartib nuzuli surat adalah susunan Al-Qur’an secara kronologis, mulai dari surat yang pertama kali turun (Al Alaq ayat 1-5) hingga yang terakhir (Al Maidah: 3).

Susunan kronologis surat memang ada beberapa versi seperti Mushaf Ibnu Abbas, Mushaf Nadif Qudur Ugly dan mushaf kronologis Mesir. Taufik Adnan Amal dalam bukunya Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (2013) mengatakan, mushaf kronologis Mesir merupakan edisi standar dan diterima oleh mayoritas umat Islam.

Ulama membagi dua fase kategoris Al-Qur’an yaitu fase Makiyah dan fase Madaniyah. Masing-masing fase memiliki karakteristik dan tema yang khas/unik.

Bahkan karakteristik dan tema Surat-surat Makiyah awal dan akhir pun bisa berbeda, belum lagi karakteristik dan tema surat-surat Makiyah dengan Madaniyah. Orientalis bidang studi Qur’an seperti Theodore Noldeke membagi fase surat-surat Makiyah menjadi tiga sedangkan Madaniyah hanya satu.

Pembagian antara Surat Maikyah dan Madaniyah merupakan bukti keterkaitan antara Al-Qur’an, Nabi Muhammad, dan masyarakat Arab saat itu. Pemahaman atas karakteristik dan tema Al-Qur’an dapat membantu pembacanya memotret spirit Al-Qur’an secara holistik. Tartib nuzuli juga sangat berguna dalam membantu ulama melakukan istinbat hukum.

Pembacaan secara kronologis surat membantu kita mengetahui sejarah kenabian, memahami makna berdasarkan pengetahuan konteks kemunculannya, dan cara Al-Qur’an merespon berbagai problematika yang dihadapi Rasulullah.

Di antara mufassir yang menggunakan urutan kronologis surat sebagai alur penafsiran Al-Qur’an adalah M. Izzat Darwazah dan Abid al-Jabiri. Nama Pertama, M. Izzat Darwazah merupakan sarjana asal Palestina yang lahir pada tahun 1887 dan wafat pada 1984. Ia merupakan seorang sejarawan yang merambah kajian tafsir dalam perjalanan aktivismenya menolak penjajahan bangsa-bangsa Eropa terhadap negara-negara mayoritas Islam.

Darwazah merasa ketidakberesan terjadi dalam tubuh dunia Islam berpangkal pada jauhnya generasi muda dari spirit Al-Qur’an. Karya-karya tafsir ulama Klasik banyak ditinggalkan oleh pemuda padahal dari sanalah pemahaman tentang ajaran Islam bisa diakses.

Penyebab utama generasi meninggalkannya adalah susahnya mengakses spirit perjuangan Al-Qur’an akibat gaya penafsiran ulama klasik yang berkepanjangan. Selain itu gaya tafsir yang menggunakan urutan surah berdasarkan mushaf tidak dapat menampilkan perjalanan dan tahapan dakwah Nabi Muhammad.

Alasan Darwazah menggunakan metode tafsir nuzuli di antaranya menangkap hikmah dibalik turunnya Al-Qur’an, prinsip dasarnya dan proses dakwah Nabi Muhammad. Ia juga mendedikasikan karya tafsirnya kepada para pemuda yang telah jauh dari Al-Qur’an dan berharap hubungan antara kitab suci dan pemeluknya kembali erat.

Seluruh karya tafsir Darwazah menggunakan alur tartib nuzuli surat, seperti al-Tafsir al-Hadis, ‘Asr al-Nabi qabla al-Bi’sahSirah Rasul dan al-Dustur al-Qur’ani. Uraian tentang metodologi tafsir nuzuli dan uraian teoritis penting lainnya Darwazah tulis dalam karyanya yang berjudul Al-Qur’an al-Majid.

Jumhurul ulama sepakat bahwa ayat yang pertama kali turun adalah surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Sekalipun setelah surat pertama banyak perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan Surat Al-Muddatstsir sebagai bentuk pengangkatan formal kerasulan Muhammad Saw. Namun kita memilih pendapat yang berdasar logika yang kuat. Surat Al-Alaq pertama kali diturunkan karena berbicara tentang pokok-pokok ajaran Islam.

Tauhid adalah dasar diterimanya amal. Bahkan, amal harus didahului ilmu untuk menghindari penyimpangan amal. Amal yang tidak didasari ilmu sama jeleknya dengan ilmu yang tidak diamalkan. Setelah itu surat Al-Qalam yang memberi titik tekan tentang keagungan akhlak Rasulullah Saw. Al-Quran lebih membicarakan akhlak beliau daripada pisik.

Hal ini menegaskan keutamaan akhlak sebelum ilmu. Selanjutnya surat Al- Muzzammil lebih dahulu baru surat Al-Muddatstsir, ini sesuatu yang logis karena takwin an nafs baru takwinul ummah, bukan dibalik. Karena itu sesuatu yang tidak mungkin.

Yang terakhir adalah surat Al-Fatihah. Disamping dikenal dengan ummul kitab dan fatihatul kitab, pula as-sab’ul matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang dalam shalat). Hal ini juga bisa dimaknai bahwa keseluruhan kandungan al-Quran sesungguhnya mengulang-ngulang muatan Surat Al-Fatihah.

Surat Al Alaq (Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal)

Jumhurul Ulama bersepakat surat yang pertama kali diturunkan adalah Surat Al Alaq ayat 1-5. Ibarat membangun sebuah bangunan peradaban maka yang lebih dahulu adalah pondasinya. Jika pondasinya kuat maka akan kuat pula memikul beban diatasnya.

Aqidah dalam ajaran islam bagaikan pondasi dalam bangunan keislaman. Oleh karena itu sebelum berbicara dan beramal harus diawali ilmu. Berbagai penyimpangan ucapan dan amal sesungguhnya diawali dari kerusakan ilmu.

فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ

“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad (47) : 19)

Allah subhanahu wata’ala berfirman pula:

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ ۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ ۗ
وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah 58: Ayat 11)..

Ilmu itu yakni mengetahui sesuatu apa adanya dengan benar. Dikatakan ilmu apabila disebutkan secara mutlak dari Al qur’an dan As sunnah (yang masih diperbincangkan adalah kaifiyahnya/caranya ). Maka ilmu tentang dunia bukanlah disebut ilmu yang mutlak karena masih tergantung bagaimana cara pandang seseorang.

Menurut sahabat Ibnu Umar, ilmu adalah Al qur’an , Sunnah dan perkataan Allahu a’lam. Menurut Ibnul Qoyyim al Jauziyah, ilmu adalah Allah berfirman, Rasul bersabda dan Sahabat berkata.

Keutamaan seseorang yang memiliki ilmu dengan benar sesuai dengan Al qur’an dan As sunnah maka ilmu akan menjadi amal jariyah untuknya terlebih jika ilmu tersebut diajarkan. Akan mengalir terus pahala setelah matinya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631).

Dan salah satu keutamaan ilmu adalah sebagai pondasi yang kokoh dalam beramal, karena tanpa ilmu semua akan sia-sia. Tidak tahu mana yang wajib, sunnah, haram dan bisa jadi amalanya rusak dikarenakan dia tidak mengetahui bagaimana tata cara ibadah yang diajarkan oleh nabi

Sahabat Ali bin Abi tholib berkata Ilmu lebih utama daripada harta karena 2 sebab, yakni: Ilmu menjaga kita sedangkan harta kita yang menjaganya. Ilmu jika di berikan akan bertambah sedangkan harta akan berkurang

Imam Ahmad bin Hanbal beliau mengatakan bahwa manusia lebih menbutuhkan ilmu daripada makanan. Karena jika makanan hanya dibutuhkan 2/3 kali sehari maka ilmu akan dibutuhkan setiap saat.

Imam Al Bukhori mengatakan:

العلم قبل القول و العمل

Yakni berilmu sebelum berbicara dan beramal

Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,

ولو لم يكن في العلم الا القرب من رب العالمين والالتحاق بعالم الملائكة وصحبة الملأ الاعلى لكفى به فضلا وشرفا فكيف وعز الدنيا والآخرة منوط به ومشروط بحصوله

“Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan akhirat senantiasa meliputi orang yang berilmu dan dengan ilmulah syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah, 1: 104).

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

فَتَعٰلَى اللّٰهُ الْمَلِكُ الْحَـقُّ ۚ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْاٰنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يُّقْضٰۤى اِلَيْكَ وَحْيُهٗ ۖ وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا

“Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Ta-Ha 20: Ayat 114).

Para ‘ulamaa’ mengajarkan pada kita agar selalu berdo’a kepada Allah untuk ditambahkan ilmu yang bermanfaat yang dengan nya kita dapat masuk ke dalam surga Allah

Sesuai dengan sabda Rasulullah :

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا الى الجنة

Barang siapa yang menapaki jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan menudahkan jalannya dengan ilmu itu menuju surga (Muttafaqun ‘alaih)..

Orang yang dipahamkan agama, itulah yang dikehendaki kebaikan.

Dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037).

Yang dimaksud fakih dalam hadits bukanlah hanya mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari itu. Dikatakan fakih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan dengan syari’at Allah. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Kitabul ‘Ilmi, hal. 21.


Surat Al-Qalam (Mendahulukan Adab Sebelum Ilmu)

SALAH satu cara agar ilmu agama tetap bertahan dan berkah adalah dengan memperhatikan adab/akhlak. Adab sangat penting dalam menuntut ilmu agama.
Jika ada orang ingin minta bantuan misalnya minta makanan kepada kita, tapi adabnya ketika meminta tidak sopan, semisal kasar meminta bahkan membentak, apakah kita akan memberi ? Tentu tidak.

Demikian juga dengan ilmu agama, bagaimana kita bisa mendapatkan ilmu dan keberkahannya jika cara dan adab menuntut ilmu tidak kita tunaikan.

Sebagaimana disebutkan orang-orang soleh terdahulu, adab dalam menuntun ilmu itu lebih penting dari banyaknya ilmu itu sendiri.
Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab ? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Syaikh Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.” Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.

Ibnul Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Ibnu Sirin berkata,

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Ilmu yang tidak melahirkan adab akan menjadi penggugat kepada pemiliknya (hujjatun ‘alaihi). Sedangkan ilmu yang membuahkan adab akan membela pemiliknya di Mahkamah Ilahi (hujjatun lahu).

Al-Muzzammil Sebelum Al-Muddatstsir (Ishlahun Nafs sebelum Takwinul Ummah)

Salah satu materi halaqah yang cukup sistematis adalah suatu materi yang berjudul Maratibal Amal (Tahapan-tahapan Amal) pada 50 Jadual Bayani. Ketika memahami materi ini kita baru sadar sedang berada di titik mana dakwah kita dan hendak ke titik mana dakwah ini menuju. Tujuan membuat aktivitas yang kita lakukan lebih berenergi/berstamina. Dapat dibayangkan jika kita memiliki tujuan yang bias, dapat dipastikan amalan-amalan kita tanpa arah. Bisa saja orang berkata tujuan kita mencari Ridha Allah bukan yang lain, tetapi harus diingat juga menentukan tujuan haruslah spesifik. Atau tujuan besar itu harus dipotong-dipotong menjadi tujuan-tujuan kecil, sehingga kita dapat memvisualisasikannya dengan jelas. Dan apa yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna adalah bermaksud untuk melakukan hal tersebut. Beliau tidak bermaksud mengaburkan tujuan besar kita untuk mencari Ridha Allah, tetapi justru beliau memperjelasnya dengan tujuan-tujuan yang lebih spesifik.

Maratibal amal juga menjadi sequence amal kita dalam memperjuangkan dakwah ini, sesuai firman Allah:

“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (QS. Al-Insyirah : 7)..

Hal ini membuat kerja kita lebih terarah karena kita tahu apa yang akan kita lakukan setelah kita selesai melakukan suatu amalan. Kita tidak disibukkan untuk mencari-cari amalan ketika kita selesai mengerjakan suatu amalan. Dengan menetapkan apa yang akan kita lakukan terlebih dahulu daripada tindakan terlebih dahulu, maka itu sesuai dengan kata-kata bijak :

“Gagal merencanakan sama saja dengan merencanakan kegagalan.”

Atau kata-kata Abe Lincoln: “Kalau saya diberi waktu tujuh jam untuk menebang pohon, maka saya akan gunakan lima jam untuk mengasah kapak”.

Bahkan berdasarkan ayat di atas kita diperintahkan oleh Allah untuk berjihad (bersungguh-sungguh) mengerjakan amal yang akan datang setelah kita mengerjakan suatu amalan. Maka amalan yang akan datang sepatutnya harus lebih baik dari amal yang terdahulu yang telah kita kerjakan.

Maratibal Amal yang dikonsep oleh Hasan Al-Banna masih sangat relevan di zaman sekarang. Dikatakan demikian karena apa yang beliau pikirkan hanyalah konsep dari seorang manusia yang dapat berubah-ubah mengikuti perubahan zaman. Yusuf Qardhawi saja yang merupakan seorang murid dari Al-Banna, memiliki fatwa-fatwa kontemporer, bahkan beliau berani bertentangan pemikiran dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam fatwa pengucapan selamat natal. Itu tidak lain karena segala hal yang di luar dua pusaka umat Islam, Al-Quran dan Al-Hadits, tidaklah bersifat mutlak. Begitu pun Maratibal Amal ini. Kita sebagai seorang ikhwan jangan sampai mensejajarkan pemikiran beliau dengan Al-Quran dan Al-Hadits yang tidak ada cacatnya sama sekali dan kita juga harus menerima dengan hati yang lapang jikalau ada konsep yang lebih baik atau konsep yang menyempurnakan pemikiran Hasan Al-Banna.

Tanpa berpanjang lebar lagi berikut akan dijelaskan Maratibul Amal. Hasan Al-Banna membagi tahapan-tahapan amal dakwah kita menjadi tujuh, yaitu:

ISLAHUN NAFS (Memperbaiki Diri) – Hayatan Thayyibah

Sebelum kita berkoar-koar untuk mendirikan khilafah ada baiknya kita lihat diri kita sendiri apakah kita menegakkan syariat Islam minimal untuk diri kita sendiri ? Sangat lucu ketika orang berteriak-teriak, “Hancurkan thaghut ! Thaghut tidak boleh jadi dasar negarab! Tegakkan syariat Islam ! Tegakkan khilafah !”, tetapi dia sendiri sholatnya masih bolong-bolong, masih suka bohong, masih suka melanggar perintah Allah lainnya. Sungguh hal ini sangat dibenci Allah.

Allah berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci  di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff: 2-3)

Atau mungkin ikhwan pernah mendengar cerita seorang ulama Hasan Al-Bashri yang tidak mau menyampaikan materi tentang membebaskan budak sebelum ia selesai mengumpulkan uang untuk membebaskan budak dan setelah itu beliau baru mau menyampaikan materi tentang membebaskan budak.

Pertanyaan itu dijawab Al-Banna dengan sepuluh Muwashofat (karakteristik) ikhwan ideal. Perbaikan diri itu ditujukan agar setiap muslim memiliki muwashofat ini. Muwashofat tersebut, yaitu:

a. SALIMUL AQIDAH (Aqidah yang Bersih)

Sebelum kita melangkah lebih jauh, tiga muwashofat yang pertama dapat digambarkan sebagai suatu pohon. Akar dari pohon itu adalah aqidah yang berwujud iman, batangnya adalah ibadah yang berwujud Islam, dan dahan serta daun dan juga buahnya adalah akhlak, dan salah satu akhlak yang paling baik adalah ihsan.

Aqidah atau iman diibaratkan suatu akar dialah pondasi yang menjaga agar pohon itu tetap tegak. Idealnya semakin tinggi menjulang suatu pohon maka akan semakin kencang angin yang akan menerpa dan dibutuhkan juga akar yang kuat yang menjalar dan yang menghujam. Itu dapat berarti semakin tinggi level keimanan seseorang maka cobaan dari Allah akan semakin kencang dan dibutuhkan aqidah atau keyakinan yang semakin kuat.

Itulah juga mengapa materi awal-awal tarbiyah kita adalah perkenalan dengan Allah, dengan malaikat, dengan Rasul agar sebelum kita diberi materi lain kita telah memiliki pondasi yang kuat dan kokoh.

b. SHAHIHUL ‘IBADAH (Ibadah yang Benar)

Karakteristik yang kedua ini diibaratkan adalah batang dari suatu pohon yang merupakan pusat aktivitas dari suatu pohon. Dialah yang merealisasikan pemikiran, konsep, dan angan-angan kita. Tanpa action apa yang kita konsep hanyalah omong kosong belaka. Maka di sinilah ibadah mengambil peran. Konsep yang cukup dengan tindakan jauh lebih baik daripada konsep yang melangit tetapi tanpa realisasi.

Ibadah juga luas maknanya tidak hanya kepada Allah atau ibadah mahdhah (baca: hablum minallah), tetapi kepada manusia juga adalah ibadah yaitu ibadah ghairu mahdhah (baca: hablum minannaas). Semua kegiatan pada dasarnya adalah tercatat sebagai ibadah jika diniatkan untuk mencari keridhaan Allah.

c. KARIMUL AKHLAQ (Akhlak yang mulia)

Karakteristik yang ketiga adalah buah dari dua karakteristik yang telah disebutkan yaitu akhlak yang kokoh. Ia berasal dari aqidah yang kokoh dan ibadah yang kokoh. Bukankah Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak? Setiap muslim yang memiliki akhlak yang kokoh maka izzah-nya (kewibawaannya) akan tampak.

d. QAWIYYUL JISMI (Kekuatan Jasmani)

Karakteristik muslim ideal yang keempat adalah memiliki jasad yang kuat. Bagaimana kita hendak mengerjakan amalan-amalan dakwah kalau jasad kita lemah padahal kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang kita miliki. Dibutuhkan kekuatan jasmani untuk mendukung semua itu. Kita juga dianjurkan untuk selalu bersiap siaga dan setidaknya ada satu bidang beladiri yang kita kuasai. Kita juga tahu anjuran Rasul untuk melatih diri agar kita bisa memanah, berkuda, dan berenang. Itulah mengapa jamaah kita adalah juga klub olahraga karena kita juga konsen terhadap hal ini.

e. MUTSAQQAFUL FIKRI (Intelek dalam Berpikir)

Seorang muslim yang ideal bukanlah seorang muslim yang hanya bisa bahasa Arab saja, ia harus bisa bahasa Inggris, bahkan kalau perlu ia bisa bahasa Mandarin, bahasa Jepang, atau bahasa Perancis. Seorang muslim yang ideal tidak hanya mondok di pesantren, dia juga harus mondok di Harvard, Cambridge, Oxford, atau Nanyang. Seorang muslim yang ideal tidak hanya bisa baca kitab kuning, dia juga harus bisa membaca ilmu perbintangan, membaca laporan keuangan, dan bahkan membaca DNA tubuh manusia.

Untuk mendirikan suatu negara Islam kita tidak hanya membutuhkan ustadz saja. Kita juga butuh ilmuwan, butuh dokter, butuh insinyur, butuh arsitek, butuh tentara, polisi, dan lain-lain. Maka dari itulah seorang ikhwan harus bertebaran di muka bumi ini, memperluas wawasan, dan menguasai ilmu pengetahuan.

f. MUJAHADATUN LINAFSIHI (Berjuang Melawan Hawa Nafsu)

Walaupun hadits tentang perang melawan hawa nafsu setelah Perang Uhud termasuk hadits dhoif, kita dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya dan besarnya berjuang memerangi hawa nafsu sampai harus disejajarkan dengan beratnya perjuangan dalam Perang Uhud. Muslim yang terkuat bukanlah muslim yang jago gulat, tetapi muslim yang dapat menjaga hawa nafsunya. Kita yang menjadi tuan atas hawa nafsu kita bukan sebaliknya hawa nafsu yang menjadi tuan atas diri kita. Hawa nafsu ibarat kuda yang menarik delman kita. Kita yang mengendalikannya apakah ia mau maju, mundur, ke kanan, ataukah ke kiri semuanya terserah kita dan tentunya kita mengendalikannya dengan iman.

g. HARISHUN ‘ALA WAQTIHI (Pandai Menjaga Waktu)

Imam Al-Banna pernah berkata, ‘Al-wajibatu aktsaru minal auqot’, kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki. Seorang muslim yang ideal adalah muslim yang sangat menghargai waktu karena ia sadar waktu tidak akan pernah berulang. Senin yang kita jalani minggu ini berbeda dengan Senin minggu depan. Detik yang kita lalui sekarang berbeda dengan detik yang akan kita lalui di masa depan. Setiap orang sama-sama memiliki waktu 24 jam sehari dalam hidupnya, tetapi karya orang berbeda-beda. Orang yang jenius punya waktu 24 jam, orang yang tidak atau belum jenius juga punya waktu 24 jam, tetapi mereka berbeda. Perbedaannya terletak bagaimana mereka menggunakan waktunya.

h. MUNAZHZHAMUN FI SYUUNIHI (Teratur dalam Urusan)

Urusan seorang muslim bukanlah urusan yang amburadul tanpa konsep. Itulah mengapa hampir setiap rukun ibadah mahdhah kita selalu ada rukun tertib di dalamnya. Dalam setiap amalan, kita memiliki tahapan-tahapan kegiatan yang mana yang harus di dahulukan, diketengahkan, dan diakhirkan dan tidak bisa di-random karena hasilnya akan beda apabila suatu hal yang seharusnya di akhir diawalkan dan suatu hal yang seharusnya di awal diakhirkan. Urutan surat Al-Qur’an saja diatur urutannya oleh Allah tanpa campur tangan manusia.

i. QODIRUN ‘ALAL KASB (Memiliki Kemampuan Usaha Sendiri atau Mandiri)

Ada tradisi yang mengatakan bahwa seorang laki-laki baru tampak kelihatan sebagai seorang laki-laki ketika dia mampu berpenghasilan. Orang yang masih meminta makan kepada orang lain hidupnya masih berada di ketiak orang yang memberinya makan. Dia tidak bisa bebas mengatur langkah kakinya karena pemikiran dan langkah kakinya diatur oleh orang yang memberinya makan. Dengan memiliki sumber penghasilan sendiri seseorang akan bebas dari segala budi orang lain dan dia tidak harus dibebani dengan pembalasan budi kepada orang lain.

الاحسان يعجز الانسان

Jasa baik itu melemahkan idealisme seseorang.

Rasul juga menyuruh seorang sahabat untuk berpenghasilan sendiri dengan menjual kayu bakar ke pasar daripada harus meminta-minta. Seorang yang berpenghasilan sendiri juga memiliki izzah atau kewibawaan tersendiri.

j. NAFI’UN LIGHOIRIHI (Bermanfaat bagi Orang Lain)

Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Ketika kita memberi kebaikan kepada orang lain sebenarnya kita memberi kebaikan untuk diri kita sendiri (QS. Al-Isra : 7). Itu juga mengapa Adam di surga tidak merasa betah karena tidak ada tempat membagi. Maka dari itu, Allah menciptakan Hawa. Bayangkan di surga saja kita tidak bisa hidup sendiri apalagi di dunia.

Ada kepuasan tersendiri ketika kita membantu orang lain. Itulah juga mengapa makan (tho’am) berjamaah lebih kenyang walaupun sedikit dengan makan sendiri. Itulah keberkahan berbagi.

Demikianlah tahapan pertama dari tujuh tahapan amal yang akan kita bahas. Selanjutnya adalah tahapan kedua, yaitu:

  1. TAKWINUL BAITIL MUSLIM (Membentuk Keluarga Muslim) – Menuju Keluarga Samawa

Sudah menjadi fitrah bahwa setiap manusia membutuhkan pendamping hidup dan ingin memiliki keturunan. Bahkan agama seorang muslim masih ompong sebelah sebelum ia menyempurnakan agamanya dengan menikah. Dalam memilih pendamping hidup, Rasulullah telah memberi petunjuk, salah satunya adalah hadits beliau yang terkenal.

“Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena kecantikannya, kekayaannya, keturunannya, atau karena agamanya. Dan sebaik-baik wanita adalah yang kamu nikahi karena agamanya.”

Proses yang dilalui dalam pembentukan keluarga Islami haruslah juga melalui proses yang diridhai oleh Allah seperti proses ta’aruf sampai walimahan agar keluarga yang akan terbentuk benar-benar berada dalam naungan Allah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa memulai untuk membentuk keluarga Islami tidaklah boleh dengan cinta. Biarlah cinta itu bersemi sendiri ketika sudah ijab qabul. Saya sepakat dengan pendapat ini.

Muncul pertanyaan dari teman SMA saya dulu ketika masih di Rohis, “Kok ikhwan tu nikahnya sama akhwat juga, kok gak sama cewek ? Kan bisa memperluas dakwah secara cepat ?” Kemudian dijawab oleh murabbi saya, “Itulah yang namanya penjagaan, pernikahan tidak hanya menyatukan harta, jasad, tetapi juga menyatukan fikriyah dan ruhiyah.” Dalam membentuk keluarga Islami juga harus dipertimbangkan mengenai pemilihan khadimat (pembantu). Khadimat yang dipilih haruslah seorang muslim yang dapat menularkan nilai-nilai Islam kepada anak-anak kita.

Dalam tahapan ini diharapkan hadirnya keluarga-keluarga Islam dan rumah sebagai madrasah pertama dalam kehidupan dapat diterapkan. Dan ikhwan sebagai kepala rumah tangga dapat menerapkan syariat Islam dalam kehidupan rumah tangganya.

  1. IRSYADUL MUJTAMA’ (Mencerahkan Masyarakat) – Qoryah Mubarakah

Setelah semua rumah tangga menerapkan syariat Islam dalam rumahnya (menjadi rumah quran) maka tidaklah susah untuk membawanya ke masyarakat. Namun, kondisinya sekarang tidaklah semua rumah tangga menjadi keluarga yang Islami. Maka itulah dibutuhkan tahapan ketiga dalam amal kita yaitu menyadarkan masyarakat. Keluarga yang sudah Islami diharapkan mampu menularkan nilai-nilai Islaminya kepada keluarga lain yang belum Islami. Keluarga yang Islami menjadi contoh langsung dalam penerapan syariat Islam di lingkungan keluarga. Selain itu juga proses penyadaran masyarakat dilakukan oleh setiap diri individu dengan pendekatan masing-masing. Pendekatan itu agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat haruslah mempertimbangkan beberapa hal di antaranya:

a). Benarnya ilmu/informasi yang diberikan dalam berdakwah.

b). Materi yang disampaikan disesuaikan dengan objek dakwah (penjelasan lebih lanjut terdapat dalam Fiqih Dakwah).

c). Metodenya bagus/menarik. Contohnya Hasan Al-Banna yang berdakwah mula-mula di warung kopi.

Pendekatan bersifat budaya juga tidak menjadi masalah selama budaya itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadits.

Setelah masyarakat terwarnai dengan nilai-nilai Islam, kemudian saatnya kita berbicara mengenai tahapan negara.

  1. TAHRIRUL WATHON (Membebaskan Negeri) – Baladan Amina

Tahapan keempat dalam maratibal amal adalah membebaskan negeri terutama negeri-negeri Islam. Pembebasan dalam artian secara fisik maupun pembebasan di bidang ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Setelah masyarakat Islam sadar akan nilai-nilai Islam yang harus diterapkan maka tidaklah sulit untuk membebaskan negeri dari nilai-nilai kontra Islam.

Isu yang perlu dicermati juga dalam tahapan ini adalah isu ghozwul fikri. Umat Islam secara keseluruhan harus memiliki benteng akan perang ini. Benteng itu adalah pemahaman yang komprehensif akan perang ini dan penyembuh-penyembuh untuk mengalahkan musuh yang tak terlihat ini.

Setelah negeri telah terbebaskan secara lahir dan batin dari penjajah, maka tentunya kita tidak hanya jadi penonton saja dalam membangun negara ini. Kita harus mengambil peran-peran strategis demi kemaslahatan umat atau setidaknya jangan sampai peran itu jatuh kepada orang-orang yang tidak amanat. Untuk itulah diperlukanlah tahapan kelima, yaitu:

  1. ISHLAHUL HUKUMAH (Memperbaiki Pemerintahan) – Ath’amahum Min Juu’in Wa Amanahum Min Khouf

Untuk memperbaiki pemerintah tentunya kita harus jadi pemerintah. Lebih gampang mengkritik dari luar, tetapi lebih mulia lagi kalau kita memperbaikinya dari dalam. Di sinilah makna perkataan Hasan Al-Banna dapat ditangkap, “Tidaklah sempurna iman seorang muslim, sebelum ia berpolitik”. Berpolitik tidak harus identik dengan mendirikan partai politik. Membayar pajak juga termasuk berpolitik, berhenti ketika lampu merah di jalan juga termasuk berpolitik.

Berangkat dari hal itulah amalan siyasiyah diperlukan untuk memenangkan dakwah ini. Nasionalisme dan demokrasi yang kita jalani sekarang ini hanyalah sebagian kecil dari politik Islam yang lebih luhur. Kita sama-sama menjalaninya untuk memperbaikinya, memanfaatkan peluang dakwah didalamnya, sampai suatu saat nanti semua orang Islam di negeri ini meminta untuk ditegakkannya syariat Islam. Penegakkan syariat Islam adalah perintah dari Allah yang harus kita laksanakan, tetapi datangnya hal itu tidaklah ujuk-ujuk. Dia harus melalui beberapa tahapan, dan tahapan itu panjang serta berliku.

Aktifis muslim harus bertebaran di segala penjuru pemerintahan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dan sekarang kita sekarang sedang dalam fase ini. Di bidang legislatif banyak yang sudah kita warnai di antaranya lahirnya UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No.13 tahun 2008 tentang Ibadah Haji, UU No.19 tahun 2008 tentang SUN dan Sukuk, UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, dan masih banyak lagi. Di bidang eksekutif sudah ada menteri-menteri dan kepala daerah yang pro kepada syariat islam. Semuanya itu termuat dalam satu kapal yang sama yaitu kapal Al-Islam.

Seperti yang telah dikatakan tadi syariat Islam akan tegak dengan sendirinya ketika semua umat Islam menginginkannya. Bagaimana agar semua umat Islam menginginkannya ? Ya, jawabannya adalah tarbiyah, memberikan pemahaman, dan proses ini panjang dan berliku bahkan usia da’i tidak cukup untuk menjalani proses ini secara penuh.

Setelah negeri yang Islami terbentuk dan semua nilai-nilai Islami diterapkan dengan semestinya maka Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghoffur akan hadir. Kesejahteraan akan terjadi dan kita akan dapat mengulang masa kejayaan Islam ketika di zaman Awal-awal islam hingga Kesultanan Umayyah dan Abbasiyah. Setelah tahapan ini selesai dilaksanakan, kita juga harus mengambil peran di dunia internasional dan itulah dibutuhkan tahapan keenam, yaitu:

  1. I’ADATUL KIYANID DAULI LIL UMMATI ISLAMIYAH (Mengembalikan Peran Umat Islam dalam Percaturan Internasional) – Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.

Setelah setiap negara menerapkan Islam maka tidaklah sulit menyatukan negara-negara itu dalam suatu kekhilafahan. Ambil contoh yang riil saja saat ini yaitu Euro. Euro adalah kesatuan negara-negara Eropa yang memiliki mata uang yang sama dan setiap tahun dipilih pemimpinnya. Mengapa negara-negara Islam tidak bisa melakukan fenomena serupa ?

Sebenarnya pemisah-misahan dunia ini menjadi negara-negara tidaklah lepas dari konspirasi Yahudi agar mereka dapat membentuk negara Israel, itu menurut sebagian versi (farriq tasud).  Coba ikhwan bayangkan betapa kuatnya Islam jika semua negara-negara Islam atau negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam bersatu. Persatuan ini akan menghasilkan suatu negara digdaya yang luar biasa. Dan ketika suatu saat hal ini terjadi, maka bumi akan tampak lebih terang. Setelah semua tahapan-tahapan itu telah dilaksanakan maka sampailah kita pada tahapan terakhir yaitu:

  1. USTADZIYATUL  A’LAM (Menjadi Soko Guru bagi Semesta Alam) – Kaffatan Linnaasi Wa Rahmatan Lil ‘Alamin..

Maksudnya Islam dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits akan benar-benar mengambil peran dan kontribusinya dalam kehidupan di dunia ini. Semua ilmu pengetahuan akan berkembang berdasarkan ajaran Allah. Kedamaian dan kesejahteraan sejati di dunia dapat tercapai. Kelihatan tidak masuk akal ? Tidak juga. Karena lagi-lagi Imam Hasan Al-Banna berkata:

احلام الامس حقائق اليوم ، احلام اليوم حقائق الغد

“Mimpi hari kemarin adalah kenyataan hari ini dan mimpi hari ini adalah kenyataan di esok hari”.

Tak akan pernah kiamat dunia ini sebelum suatu saat di akhir zaman nanti Islam kembali menguasai dunia dan berjaya karena ini adalah Iradah Rabbaniyyah.
Islam akan tetap bangkit dengan atau tanpamu. Semuanya tergantung kita, apakah kita akan hanya menjadi penonton alias menjadi orang yang duduk-duduk saja. Atau apakah kita mau jadi pemain utama penentu dan penjemput kemenangan.

Surat Al-Fatihah (Berjamaah Menuju Islam Kaffah)

Dalam surat Al Fatihah kita diseru secara berjamaah dalam beribadah, beristi’anah dan memohon hidayah Allah Swt. Bukan dipanggil orang-perorang.

Fakat kehidupan umat membuktikan, pada zaman kita ini banyak orang hebat dan berpotensi besar. Tapi kehebatan itu hilang seakan diterpa badai zaman. Banyak potensi yang tersimpan tapi tidak terhimpun bahkan berserakan di sana-sini. Persis seperti daun-daun yang berhamburan, tidak menggayut di pohonnya.

Karena itu din yang mulia ini memberikan sebuah alat yang bernama jama’ah, supaya kekuatan orang shaleh, orang hebat, orang berpotensi berpadu dengan kekuatan saudaranya yang sama shalihnya, sama hebatnya dan sama potensialnya.

Potensi-potensi yang terpencar itu disatukan, individu yang punya kemiripan itu direkatkan dalam sebuah simpul bernama jama’ah, agar kehebatan dan potensi mereka memiliki daya gebrak yang hebat. Tidak ada suatu konsep kepemimpinan yang mampu mengelola dua juta manusia dalam hitungan menit melebihi sistem imamah jamaah pada jamaah haji. Karena mereka dikumpulkan dengan satu gerakan, satu tujuan, satu perasaan, satu kiblat.

Kali ini mencoba menyajikan beberapa perangkat yang sangat dibutuhkan agar sebuah kerja jama’ah bisa berjalan dengan baik.

Jama’ah adalah sarana yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan orang-perorang. Menonjolkan persamaan. Kehebatan dan kecerdasan individu tidak akan pernah mengalahkan kecerdasan dan kehebatan kolektif. Dari sini diharapkan timbul kesadaran bahwa tidak ada orang yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya. Mereka yang hebat dan ‘jago’ harus berkumpul dan bekerjasama untuk sebuah cita-cita mulia. Dengan demikian kehadiran sebuah jama’ah adalah sesuatu keniscayaan.

Amal jama’i adalah amal yang dilakukan secara berjama’ah atau yang diatur dalam sebuah kelembagaan (tanzhim). Dan yang perlu pula diperhatikan hal-hal yang menyangkut masalah amal jama’i, ma’alin atau rambu-rambu dalam masalah amal jama’I karena hal ini merupakan satu topik yang sangat dibutuhkan oleh kita, dan semoga Allah membukakan kepada kita pintu-pintu rahmat-Nya dari perbendaharaan rahmat.

Amal jama’i adalah sesuatu yang sangat urgen untuk dipelajari dalam kehidupan kita karena banyak dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan keutamaan atau pentingnya amal jama’i tersebut. Demikian pula dengan kenyataan yang kita lihat di lapangan yang menunjukkan kepada kita tentang pentingnya melakukan amal jama’i, bahkan banyak diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung menunjukan tentang pentingnya hal tersebut. Dalam masalah jama’i  ini banyak kita dapatkan hal-hal yang dilontarkan oleh sebagian manusia yang tidak ridho dengan amal jama’i tersebut, dan jawabannya adalah Al Waqi’ al musyahad yaitu dengan menyaksikan kenyataan yang kita lihat di lapangan, jadi syubhat itu dapat dibantah dengan melihat realitas ummat yang kita lihat di lapangan akan  urgensi dari amal jama’i tersebut.

Tujuan utama dari amal jama’i adalah agar kita lebih bersemangat untuk mengumpulkan atau menyimpulkan visi dalam rangka persaudaraan dan saling tolong menolong antara yang satu dengan yang lain diantara kita ummat Islam. oleh karena itu selama tujuan kita dalam amal jama’i seperti yang kita sebutkan tadi maka wajib bagi kita untuk mengamalkan/ merealisasikan masalah amal jama’i tersebut.

Menggiatkan at- Ta’awun (kerjasama), persaudaraan dan saling tolong menolong antara yang satu dengan yang lain diantara kita ummat Islam. oleh karena itu selama tujuan kita dalam amal jama’i seperti yang kita sebutkan tadi maka wajib bagi kita untuk mengamalkan/merealisasikan masalah amal jama’i tersebu.

Jika kita ingin mengangkat agama yang mulia ini dan mengumpulkan umat ini maka kita harus melakukan amal jama’i tersebut dimana dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, banyak terdapat dalil-dalil yang bersifat umum yang menunjukkan tentang urgensi berjamaah. 

Diantaranya firman Allah dalam Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman”. Ini adalah merupakan panggilan syar’i (khitabus syar’I) dalam bentuk jamak, jadi Allah tidak memanggil orang perorang dari hamba-hamba-Nya tetapi Allah memanggil mereka  yang beriman secara keseluruhan.

Begitu pula dalam firman Allah yang lain:  “Wa’tasimu bihablillahi jami’an walaa tafarraqu” Dan berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah dan janganlah kalian bercerai berai, Allah menyebutkan perintah ini dalam bentuk jamak dan dalam ayat yang lain, “Wata’aawanu ‘alal birri wattaqwa” dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah, juga dalam firman Allah, “Waltakun Minkum Ummatun yad’uuna ilal khair “ Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan.

Disini kata Ummah datang dalam bentuk jamak sebagaimana firman Allah “Kuntum Khaira Ummah ukhrijat Linnasi ta’muruna bil ma’ruf watanhawuna anil munkar (QS. Ali Imran : 110).

Dalil-dalil yang disebutkan ini asalnya dari Al-Qur’anul Karim adalah merupakan panggilan yang bersifat jamak kepada hamba-hamba-Nya dan dari sinilah kita dapat mengambil pelajaran bahwa dengan amal jama’i tersebut akan menyebabkan sebuah amalan itu berlipat, karena sesungguhnya tolong menolong atau mengikat antara satu dengan yang lain, dan saling membantu adalah merupakan salah satu diantara karakteristik agama Islam dan tidak mungkin urusan ini diatur secara orang per-orang. Dibutuhkan ta’awun, takaful, antara satu dengan yang lain oleh karenanya di sinilah pentingnya amal jama’i tersebut.

Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Nu’man ,

Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Perumpamaan orang mu’min yang satu dengan mu’min yang lain di dalam berkasih sayang dan saling mencintai karena Allah adalah seperti satu tubuh jika satu anggota dari bagian tubuh itu yang sakit, maka akan merasakan sakit anggota tubuh yang lain”.

Disini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan perumpamaan mukmin yang satu dengan yang lain seperti satu tubuh, maka tidak mungkin jika hanya satu tangan disebut satu tubuh, atau kepala saja disebut satu tubuh, tapi yang disebut satu tubuh adalah ketika seluruh anggota tubuh itu berkumpul dan fungsional, dan dalam hadits ini menggambarkan keutamaan berkasih sayang antara mukmin yang satu dengan mukmin yang lain.

*) UST. SHOLIH HASYIM, penulis pengasuh Pondok Pesantren Hidayatullah Kudus, Jawa Tengah.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

SAR Hidayatullah Hadiri Rakor Basarnas Perkuat Kolaborasi dan Efektivitas Operasi

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Ketua Umum SAR Hidayatullah, Irwan Harun, didampingi Sekretaris Jenderal, Tafdhilul Umam, menghadiri undangan sebagai peserta Rapat...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img