IKHLAS adalah tingkatan amal yang tertinggi dan pasti diterima oleh Allah Subhana Wata’ala. Meskipun beramal ibadah seribu tahun, berinfaq milyaran rupiah, berbuat baik dengan jutaan orang tapi ada sedikit kurang ikhlas maka amal tersebut menjadi debu yang berterbangan. Sia-sia akhirnya.
Manusia yang ikhlas adalah manusia pilihan dan sedikit jumlahnya. Karena tidak mudah memiliki rasa dan jiwa ikhlas itu. Syetan dan nafsu dalam diri selalu mengganggu untuk menggerogoti amal-amal kebaikan untuk tidak ikhlas.
Ikhlas adalah keharusan dari sebuah amal. Sebab Allah tidak menerima amal yang ada kepentingan lain, interest pribadi atau maksud-maksud tertentu. Kepentingan, interest dan maksud-maksud tertentu menjadikan amal tidak bernilai di hadapan Allah Subhana Wata’ala
Realita dalam kehidupan di dunia ini memang tidak mudah untuk ikhlas. Contoh untuk beribadah shalat wajib maupun sunnah, ketika berangkat sebelum adzan berkumandang dan belum banyak jamaah lain yang datang sehingga bisa duduk di shaf depan maka seringkali ada bisikan “bahwa diri ini shaleh dan hebat.” Padahal sudah paham bahwa shalat ini bukan untuk manusia tapi beribadah karena Allah Subhana Wata’ala.
Ketika berdoa terkesan serius dan khusyu’ tapi sebenarnya bukan semata-mata yakin kepada Allah Subhana Wata’ala tapi ada kepentingan agar permohonannya dipenuhi. Sehingga kalau tidak ada kepentingan maka juga melupakan doa atau tidak serius untuk bermunajat kepada Allah Subhana Wata’ala.
Kemudian saat beramal sholeh dan bersungguh-sungguh mengerjakannya tapi tidak ada apresiasi bahkan ada komentar negatif. Maka hati ini seringkali belum bisa menerimanya dengan lapang. Terkadang malah berfikir negatif dengan menyebut tidak adil terhadap orang tersebut (orang yang berkomentar). Padahal kalau ikhlas tentu mendapatkan kritik dan celaan adalah masukan berharga untuk meningkatkan kualitas amal kita.
Sebaliknya ada rasa puas dan lega ketika ada pujian dan sanjungan terhadap amal sholeh yang telah kita kerjakan. Ada yang parah dengan menyengaja untuk dilihat dan dipuji orang banyak. Ini tentu rasa-rasa yang menunjukkan kualitas jiwa beramal yang belum ikhlas.
Ikhlas mudah diucapkan, dijelaskan, diceramahkan dan ditulis untuk disampaikan kepada orang lain. Pendefinisiannya juga mudah dipahami. Tapi beratnya untuk mencapai derajat taqwa yang hakiki dan murni karena Allah Subhana Wata’ala.
Jika bukan karena Allah Subhana Wata’ala dan bantuan Allah Subhana Wata’ala rasanya tidak mungkin jiwa ini bisa ikhlas. Kalau hanya mengandalkan ilmu, umur, pengalaman maka sulit beramal dengan ikhlas.
Ada rasa kegetiran juga membayangkan kesia-siaan amal ibadah dan amal sholeh yang telah susah payah dilakukan selama ini. Tiba-tiba tertolak dan tidak diterima sedikitpun oleh Allah. Semoga kekhawatiran ini mengantar jiwa untuk terus berusaha dan berdoa untuk bisa menjadi orang-orang ikhlas. Aamiiin yaa Robbal ‘Aalamiiin. *Abdul Ghofar Hadi, S.Sos.I, M.S.I (Ketua STIS Hidayatullah)