ADA banyak karunia yang Allah limpahkan kepada kita. Sebagian karunia lebih baik dibanding lainnya.
Ada karunia-karunia yang terhampar karena kemurahan-Nya semata, tanpa kita memintanya, misalnya cahaya matahari.
Ada pula karunia-karunia yang mesti diusahakan dan diperjuangkan, seperti iman.
Untuk jenis karunia yang pertama, kita tidak bisa meminta atau menolak. Kita bahkan tidak punya peran apa-apa di dalamnya.
Tapi, untuk jenis karunia yang kedua, kita justru didorong untuk meminta dan mengupayakannya semaksimal mungkin.
Suatu kali, Abu Bakar Ash-Shiddiq berkhutbah di atas mimbar, kemudian menangis. Beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar ini pada tahun pertama (setelah berhijrah ke Madinah), kemudian menangis.
Lalu, beliau bersabda: ‘Mintalah kepada Allah permaafan dan keselamatan (al-‘afwa wa ‘afiyah), sebab seseorang tidak diberi suatu karunia – setelah diberi keyakinan/iman – yang lebih baik dibanding keselamatan.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits hasan-shahih).
Bila kita telah diberi keyakinan dan iman, lalu apa lagi yang paling pantas diharapkan? Kekayaan, kemasyhuran, kepandaian, atau apa? Menurut Rasulullah, yang paling pantas adalah “keselamatan” atau ‘afiyah.
Dalam kitab Faidhul Qadir dijelaskan bahwa makna ‘afiyah adalah selamat dari penyakit dan bencana.
Coba kita renungkan! Apa artinya kekayaan jika kita terus-menerus tertimpa bencana dan kemalangan? Apa nikmatnya kemasyhuran jika kita selalu dalam kondisi sakit?
Melimpahnya kekayaan tidak akan terasa nikmat bila kesehatan kita terganggu atau mengalami masalah masalah medis yang serius. Popularitas pun menjadi hampa ketika musibah lebih sering turun dibanding karunia.
Maka, adalah sangat tepat bila Rasulullah menganjurkan kita untuk memohon keselamatan kepada Allah, sehingga segala keadaan yang kita alami terasa nikmat dan melegakan.
Setelah iman tertanam di dada, lalu badan dan pikiran kita diselamatkan dari bencana dan penyakit, maka kemiskinan akan mendorong untuk bekerja sedangkan kekayaan akan memantik untuk berbagi.
Dengan badan dan pikiran yang sehat, bila kita diberi ilmu maka tersedia cukup tenaga untuk bangkit beramal dan menyebarkannya.
Dengan kesehatan dan keselamatan itu, bila kita ditempatkan sebagai public figure yang disegani, maka pengaruhnya dapat dimanfaatkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar dan memberi teladan-teladan di jalan kebaikan. Demikian seterusnya.
Di saat bersamaan, mendapat maaf dari Allah adalah karunia tak ternilai harganya. Bukankah kita makhluk yang penuh kesalahan dan kekhilafan? Bukankah keteledoran dan kekurangseriusan sering mewarnai ibadah serta pengabdian kita kepada-Nya?
Apa lagi yang pantas kita minta diatas seluruh keadaan itu selain maaf dan ampunan dari-Nya? Terlebih-lebih lagi bila kita telah mencapai usia senja sementara banyak amal ibadah kita yang terasa demikian kurang sebagai bekal menghadap-Nya.
Dikisahkan bahwa ‘Abbas bin ‘Abdul Mutthalib menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah pamanmu. Umurku sudah lanjut dan ajalku pun telah dekat, maka ajarkan kepadaku sesuatu yang semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagiku.”
Nabi menjawab, “Wahai ‘Abbas, engkau adalah pamanku, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Allah untuk membelamu. Akan tetapi, mintalah kepada Tuhanmu permaafan dan keselamatan (al-‘afwa wal ‘afiyah) di dunia dan akhirat.”
Beliau mengucapkan pesannya itu tiga kali. Pada permulaan tahun berikutnya, Abbas mendatangi Nabi, lalu beliau mengucapkan perkataan serupa. (Riwayat Ahmad, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits hasan li-ghairihi).
Bukankah sangat pantas bagi ‘Abbas untuk memohon maaf dan keselamatan dari Allah, di dunia dan akhirat? Sebab, beliau adalah keluarga dekat Nabi namun tergolong sangat terlambat masuk Islam.
Selama bertahun-tahun beliau berada di barisan kaum kafir. Bukankah sangat layak bagi ‘Abbas untuk meminta keselamatan secara fisik dan mental, di dunia dan akhirat?
Sebab, beliau telah berusia lanjut sehingga jelas lebih berat untuk mengawali amal-amal shalih, sesudah puluhan tahun terjerat dalam aneka rupa kemusyrikan dan kekafiran. Semoga waktu yang pendek itu diberkahi, sehingga amal yang sedikit pun diterima dan dilipatgandakan balasannya.
Semoga badan yang semakin melemah itu tetap dianugerahi kekuatan dan kesehatan, sehingga sempat menyembah Allah dan mempersembahkan amal kebajikan dengan sisa-sisa tenaga yang ada.
Semoga akal yang tidak setajam dulu itu diselamatkan dari kepikunan, sehingga masih mampu terus berdzikir, merenung, bertaubat, dan menambah ilmu.
Apakah ada diantara kita yang berada dalam keadaan serupa ‘Abbas, paman Rasulullah itu?
Jika kita baru dikaruniai hidayah dan kemantapan iman di usia lanjut, sesudah pensiun dan tubuh yang mulai melemah, maka jangan menyesalkannya sedikit pun. Sebab, penyesalan hanya pantas dikeluhkan oleh orang yang meninggal dalam ketersesatan.
Bila hidayah sempat dibukakan untuk kita, di usia berapa pun, maka sergap dan syukurilah. Mari mengamalkan ajaran Rasulullah kepada pamannya, yaitu: senantiasa memohon maaf dan kesehatan.
Dengan kesehatan itu kita bisa menambah bekal sebanyak yang kita mampu, sedangkan dengan maaf itu semoga kesalahan-kesalahan kita dihapuskan, entah di masa lalu, sekarang, maupun akan datang.
Sungguh, tidak diragukan lagi, dua karunia itu merangkum seluruh kebaikan dunia-akhirat. Setelah diberi iman, maka dengan kesehatan lahir-batin segala amal shalih terbuka untuk dikejar; dan dengan maaf dari Allah maka kehidupan ukhrawi akan menjadi lapang.
Bila keduanya merupakan karunia terbaik dan sangat berguna bagi orang yang telah berusia lanjut, apalagi terhadap mereka yang masih muda dan segar. Bukankah demikian? Wallahu a’lam.
Kyai Alimin Mukhtar