SALAH dan lupa adalah sifat yang melekat pada manusia. Tidak ada yang bisa menghindarinya kecuali atas rahmat dan izin dari Allah. Oleh karenanya, agama tidak mengajari kita bagaimana caranya menghilangkan kedua sifat tersebut, karena hal itu mustahil.
Agama hanya mengajari kita bagaimana berdamai dengan sifat-sifat alamiah kita sendiri, dan meraih manfaat dari kekurangan-kekurangan yang ada. Kita tidak didorong untuk menghapusnya secara mutlak, namun mengendalikannya secara wajar.
Jiwa manusia memang sangat rawan tercoreng aneka noda. Kecil atau besar, sengaja atau tidak, tersembunyi atau terang-terangan, sendirian atau berkelompok, manusia berpeluang terperosok dalam kesalahan. Masalahnya akan sederhana jika Allah mengizinkan kita hidup dan mati begitu saja mengikuti naluri seperti binatang.
Namun, Allah telah memberi kita taklif, yakni tanggung jawab berupa perintah dan larangan, dan meminta kita untuk bekerja keras meluruskan hidup serta menjaga kesucian diri. Inilah konteks dari doa Nabi Ibrahim: “Janganlah Engkau hinakan aku pada hari ketika mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari dimana harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Qs. asy-Syu’ara’: 87-89).
Oleh karenanya, Allah mengirim para Nabi dan Rasul. Diantara hikmahnya adalah meluruskan kesalahan-kesalahan manusia dalam kehidupan ini. Ketika zaman kenabian telah berakhir, maka tugas tersebut diwariskan kepada para ulama’ dan orangtua, untuk membimbing generasi berikutnya mengenal Allah dan mengikuti jalan kebenaran.
Diantara prinsip yang diajarkan Al-Qur’an untuk meluruskan penyimpangan manusia direkam dalam surah Az-Zumar: 53-55. Disana Allah berfirman:
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.”
Ada empat prinsip utama yang ditegaskan di sini.
Pertama, memberi kabar gembira dan tidak membuat putus asa. Pada dasarnya, orang yang melakukan dosa dan kesalahan sedang berada dalam kondisi lemah dan lengah. Kalau bukan karena kelemahan dan kelengahannya, tidaklah mungkin syetan mampu menggelincirkannya. Sebab, tipudaya syetan sebenarnya sangatlah lemah (lihat: Qs. an-Nisa’: 76).
Maka, tidak ada terapi mujarab bagi orang-orang seperti ini selain membangun kembali kepercayaan diri dan pengharapannya. Dengan ini kita berharap ia memiliki energi batin untuk bangkit dari keterpurukan dan melawan godaan syetan.
Kedua dan ketiga, menuntun untuk kembali ke jalan Allah dan membimbing agar berkomitmen kepada-Nya.
Setelah tumbuh kemauan dalam batinnya, maka ia harus dituntun untuk kembali ke jalan Allah dan berkomitmen kepada-Nya perlahan-lahan. Tentang hal ini, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menulis dalam kitab al-Ghunyah:
“Pertama-tama, suruh mereka untuk meninggalkan kecenderungan menuruti kebiasaan dan tabiatnya dalam segala hal. Mulailah dengan kewajiban-kewajiban syar’i yang ringan/longgar, sehingga mereka bisa keluar dari belenggu dan dominasi kebiasaan serta tabiatnya itu, dan akhirnya bisa beralih menjadi di bawah ikatan syari’at dan pengabdian di dalamnya. Kemudian, pindahkan mereka dari yang bersifat ringan/longgar itu kepada yang bersifat lebih ketat/berat sedikit demi sedikit. Hapuskan sesuatu bagian yang bersifat ringan/longgar tadi, dan tempatkan sebagai gantinya sesuatu bagian lain yang bersifat berat/ketat.”
Jelasnya, tidak ada yang bisa membersihkan hati manusia kecuali Allah, Dzat yang menciptakan hati dan memilikinya. Dengan kata lain, hanya ada satu cara untuk membersihkan diri, yaitu: taat kepada-Nya.
Al-Qur’an menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu yang bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nur: 21)
Keempat, mengikuti pilihan-pilihan tindakan terbaik. Ketika menafsirkan surah az-Zumar: 55, yakni ayat yang memuat prinsip ini, al-Hafizh Ibnul Jauzi merujukkannya kepada kalimat senada dalam surah al-A’raf: 145.
Menurut para ulama’, dalam syariat Islam terdapat bermacam-macam kebaikan. Sebagian lebih utama dibanding yang lain. Kita diperintahkan untuk memilih mana yang paling utama, sesuai situasi-kondisi yang ada. Misalnya, melakukan kebaikan adalah utama, dan menjauhi keburukan juga utama, namun melakukan kebaikan jelas lebih tinggi nilainya.
Membalas dengan qishash dibenarkan dalam syariat, tetapi memaafkan pasti lebih unggul. Memenuhi amal fardhu lebih utama dibanding nawafil (sunnah), dan amalan nawafil tentu lebih baik dari yang mubah. Suatu ketika berpuasa bisa menjadi pilihan terbaik, namun hal ini tidak berlaku ketika kita sakit berat. Demikianlah seterusnya.
Jika kita melaksanakan prinsip-prinsip ini, maka hati yang semula berpaling dari kebenaran akan kembali ke pangkuannya, dengan seizin Allah. Wallahu a’lam.
Ust. M. Alimin Mukhtar