Hidayatullah.or.id — Akibat fenomena penyempitan pemikiran Islam menyebabkan para ulama besar dan hebat kerap dijatuhkan otoritasnya dan dicela. Padahal, para pencelanya justru tidak memiliki ilmu sekelas ulama besar.
Demikian disampaikan Dr. Ugi Suharto, salah satu pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) yang kini menjadi dosen di di University College of Bahrain.
Salah satu contohnya, ia menyebut kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam al Ghazali yang sering dikatakan mengandung kesesatan serta memuat hadits-hadits palsu.
“Imam al-Ghazali itu memiliki guru-guru hadits berisnad, beliau menguasai hadits. Hanya saja beliau tidak terlalu menonjol dalam bidang hadits. Tapi dibanding kita tidak ada apa-apanya,” demikian disampaikan Ugi pada Kajian Ilmah yang diadakan oleh InPAS Surabaya bekerjasama dengan Hidayatullah Media dengan tema “Posisi Hadits dalam Kerangka Pemikiran Islam: Tantangan dan Dinamika” di Gedung Dakwah dan Informasi Hidayatullah Surabaya, Selasa (14/01/2014).
Yang lebih memprihatinkan, kita yang tidak punya isnad hadits, lalu mencela ulama besar sekelas Imam al-Ghazali yang memiliki isnad hadits.
Padaha, para imam madzhab terdahulu memiliki kualitas keilmuan yang kaamil (komperhensif) dan luas dibanding kita yang ada saat ini.
“Al-Ghazali dalam Kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan karakter keilmuan para imam madzhab sebagai seorang yang ‘aabid (ahli ibadah), zaahidan (zuhud), ‘aaliman bi umuri al akhiroh (‘alim dalam ilmu yang terkait dengan akhirat), faaqihan fii masholihul kholqi fid dunya (faqih dalam menetukan mashlahat makhluk di dunia), wa muriidan bi fiqhihi wajhullahi ta’ala (dan hasrat keinginannya dalam berfikih adalah mengharap ridla Allah semata),” ungkap pria yang pernah menjadi dosen pengampu “Sejarah dan Metodologi Hadits” di The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia ini.
Ada pula celaan yang tidak tepat lagi. Gara-gara kitab ulama besar yang mengandung hadits dhoif lalu para ulama dituduh tidak faham hadits.
“Padahal, Imam Bukhari, pakar hadits kenamaan. Siapa yang tidak tahu Imam Bukhari? Tapi ia menulis satu kitab berjudul Adabul Mufrad, di dalamnya mengandungi hadits-hadits dhoif lho”, paparnya.
Karena itu, katanya, persoalan hadits di masa kini kerap menjadi isu yang bisa membuat orang salah faham.
Misalnya, fenomena memahami hadits secara dzahirnya semata-mata, padahal tidak ada ulama 4 madzhab yang mengamalkannya secara dzahir.*
Ada juga pendapat yang berkembang di masyarakat tentang perlunya bermahzab atau tidak. Atau hanya cukup dengan mengikuti al-Quran dan Sunnah saja, selain itu tidak.
“Fenomena tidak bermadzhab, dengan mengatakan cukup dengan ikut al-Qur’an dan al-Sunnah, itu juga satu persoalan lagi,” demikian disampaikan salah satu pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Dr. Ugi Suharto, pada Kajian Ilmah yang diadakan oleh InPAS Surabaya dengan tema “Posisi Hadits dalam Kerangka Pemikiran Islam: Tantangan dan Dinamika” di Gedung Dakwah dan Informasi Hidayatullah Surabaya, Selasa (14/01/2014) lalu.
Menurutnya, para imam hadits tetap bermadzhab. Bahkan mayoritasnya bermadzhab Syafii, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Ibn Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mizzi, al-Dzahabi, Ibn Katsir dan lain-lain.
“Para imam hadits saja bermadzhab, nah bagimana kita yang tidak ahli hadits?,” ujar pria yang kini menjadi dosen di University College of Bahrain ini.
Karena itu Ugi berharap agar masyaraat tidak lagi mencela antar madzhab, bahkan mencela Imam Asy’ari dan para pengikutnya.
“Sebaiknya dihentikan, karena hal itu akan memecah belah umat Islam sendiri, “ ujar ungkap pria yang pernah menjadi dosen pengampu “Sejarah dan Metodologi Hadits” di The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia ini. (hidcom)