AdvertisementAdvertisement

Janganlah Menyederhanakan Muhasabah

Content Partner

HIDUP itu dinamis dan fluktuatif. Mengalami pasang surut. Suka dan duka datang silih berganti. Hidup adalah fase waktu yang penuh warna dan ragam ujian. Banyak orang yang tangguh dan kokoh pada waktu tertentu, tapi tumbang dan jatuh pada waktu lain.

Tidak sedikit orang yang tampil sebagai pribadi yang komitmen dan kuat berpegang pada nilai-nilai agama (multazim bil-haq), tapi kemudian tersungkur dan terpuruk pada jurang kesalahan yang begitu dalam. Karena itu, hidup ini adalah rentang ujian yang harus dilewati dengan baik.

Salah satu cara efektif agar kita selalu kuat dan stabil dalam kebenaran dan tidak terseret pada kesalahan adalah dengan cara muhasabah (intropeksi diri) – menghitung diri -.

Artinya, kita menghitung, menakar, memerinci, apa kemaksiatan yang kita lakukan kepada Allah. Berdialog kepada diri sendiri, sejauh mana penyimpangan yang dilakukan dari kebenaran.

Dalam Alquran disebutkan: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa adalah jika mereka diganggu oleh sekelompok setan, mereka segera ingat dan mereka mengetahui (keberadaan setan)” (QS. al-A’raf (7) : 201).

Tentu, sikap lebih awal menyadari kesalahan, akan berdampak pada perbaikan. Jangan seperti Firaun yang mau kembali kepada Allah ketika akan tenggelam. Ia termasuk terlambat sadar. Padahal sadar sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan.

Lebih awal sadar salah satu indikator kecerdasan, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW sebagai sikap yang menunjukkan tingkat kecerdasan seseorang.

الكَيّسُ مَن دان نَفْسَهُ وعمِل لِما بَعْدَ الْمَوتِ والعاجِز من اتبع نفسه هواها و تمنَّى على الله

Rasul mengatakan, “Orang yang cerdas-berakal ialah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya dan suka beramal untuk mencari bekal sesudah matinya, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan mengharap-harapkan kemurahan dari Allah tanpa beramal saleh” (HR at-Turmudzi).

Dalam hadis ini Rasulullah SAW memakai istilah “daana nafsahu” yang menurut at-Turmudzi, maknanya adalah menghisab diri sebelum dihisab pada hari kiamat.

Banyak suasana yang mungkin meninggalkan noda serta debu dalam hati kita. Sebagaimana sebuah perjalanan yang pasti menyisakan kotoran pada pakaian dan tubuh.

Berbagai kondisi yang kita lewati dalam hidup ini tentu meninggalkan debu. Debu itu berupa noda atau kotoran dosa dan kemaksiatan yang harus selalu kita bersihkan dari hati.

Hati harus tetap terpelihara, bersih, sehingga hati bisa tetap mampu menjadi cermin dan menyuarakan keimanan. Hati yang menyuarakan keimanan berarti mampu menilai yang baik adalah baik, sebaliknya yang buruk adalah buruk.

Meremehkan muhasabah, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, adalah salah satu ciri orang-orang yang lalai.

Perhatikanlah kata-katanya:

“Yang paling berbahaya bagi seorang mukalaf adalah menyepelekan dan meninggalkan muhasabah, berulang-ulang melakukan kekeliruan, menggampangkan urusan dan perjalanannya. Hal ini akan menggiringnya menuju kehancuran. Dan seperti itulah kondisi orang-orang yang terpedaya. Ia menutup matanya dari akibat yang akan ditanggungnya. Ia melanjutkan terus perilakunya yang salah.

Bersandar dan mengandalkan ampunan. Lalu ia menganggap remeh muhasabah terhadap jiwanya dan tidak mau melihat akibat yang akan diterimanya. Jika seseorang melakukan hal ini, akan mudahlah ia terjerembap dalam dosa, bahkan ia akan merasa intim dengan dosa dan sulit untuk memutuskan diri dari dosa” (Ighatsatu Al Lahafan, 1/98).

Mari lihat kembali lembar-lembar usia yang telah terlewat dan bertanya, apa yang sudah kita tinggalkan di sana? Kita tahu, ada kehidupan lain setelah di dunia ini.

Agar Surplus Beramal Dalam Merespon Berita Al Quran

Berita hoax di era digital ini demikian menggurita, sehingga berita besar yang dibawa oleh Al Quran lewat begitu saja dalam memori kita. Ramadhan, berita dari Al Quran, realitasnya kurang direspon oleh kita. Ditandai dengan persiapan yang jauh kurang memadai baik secara hissiyyan (pisik) dan maknawiyyan (ruhani).

Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al Waqi’ah :

Al Quran ini adalah bacaan yang mulia. Yang tersimpan rapi di Lauhil Mahfuzh. Yang tidak dapat ďisentuh kecuali oleh malaikat, makhluk yang disucikan dari dosa. Al Quran diturunkan dari Tuhan yang menguasai seluruh alam. Wahai manusia, apakah kalian tetap ingkar terhadap berita (kalam Tuhan) ini. Wahai manusia, rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian telah kalian gunakan untuk berbuat kekafiran (QS. Al Waqiah ( 56) : 77-82). Al Quran Tarjamah Tafsiriyah hal. : 692)

Memang, pelajaran Al Quran ini hanya bisa diserap dan direspon oleh di dalam dadanya diberi ilmu oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak sembarang person. Kemuliaan firman-Nya hanya bisa dijadikan pegangan oleh hatinya yang mulia dan memuliakan

Al Quran itu adalah ayat-ayat Tuhan yang bukti-buktinya telah jelas. Al Quran itu telah dihafal di hati orang-orang yang diberi ilmu. Hanya orang yang berbuat zhalim saja yang mengingkari Al Quran Kami (29 : 49).

Dalam merespon informasi Al Quran, setidaknya ada tiga golongan, kita perlu berdialog dengan diri sendiri. Kita termasuk golongan yang mana ?. Selama ini telunjuk kita diarahkan orang lain, dan seringkali lupa mengarahkan telunjuk kita kepada kita sendiri. Inilah problem krusial kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

طوبى لمن شغل عيوبه عن عيوب الناس

“Berbahagialah orang yang sibuk menghitung aibnya dari cacat orang lain”

Berikut tiga golongan yang berinteraksi dengan Al Quran :

Kemudian Kami wariskan Al Quran kepada umat Muhammad hamba-hamba pilihan Kami. Sebagian umat Muhammad ada yang menzhalimi dirinya sendiri (dosanya lebih banyak daripada amal shalihnya). Dan diantara mereka ada yang muqtashid ( amal shalihnya sepadan dengan dosanya). Sebagian lain lagi sabiqun bil khoirat (amal shalihnya sangat banyak). Orang yang amal shalihnya yang banyak itulah yang akan memperoleh karunia yang amat besar dari Allah (QS. Fathir (35) : 32).

Sudah saat kita jujur untuk meng-hisab diri sendiri, agar perhitungan di Mahkamah Ilahi kelah lebih mudah dan lebih sederhana. Dalam menyongsong berita Al Quran, Ramadhan Mubarak, kita termasuk golongan yang zhalim linafsihi, muqtashid, apa termasuk kelompok sabiqun fil khoirat (orang yang surplus amal shalihnya dan minus kesalahannya???

Pujangga Arab, Al Mutanabbi mengatakan: Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah tergelincir, tetapi orang yang minus dosanya (sisi gelap dirinya bisa dihitung).

Dalam terma Islam tawadhu adalah orang yang kaya berpenampilan miskin, alim berpenampilan bodoh. Jika miskin berpenampilan apa adanya, itu bukan tawadhu tetapi tahu diri.

Intinya, katakanlah hendaklah mereka gembira dengan turunnya Al Quran dan syariat-Nya yang diturunkan kepada mereka. Al Quran dan syariat-Nya – misalnya Ramadhan – lebih baik bagi kalian daripada seluruh harta yang mereka kumpulkan di dunia (QS. Yunus (10) : 58).

Jika kita belum mampu tawadhu, minimal kita bisa tahu diri. Semoga Allah SWT menjauhkan diri kita dari sikap tidak tahu diri. Miskin berpenampilan kaya, bodoh berpenampilan sok alim, sok pintar.

Rezeki yang demikian banyak dari Allah, jangan sampai kita gunakan untuk mengingkari-Nya. Ramadhan yang akan menghampiri kita, jangan sampai kita menjadi orang yang pura-pura tidak tahu. Wal ‘yadzu billah.

Ust. Sholih Hasyim

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Tips dan Manfaat Menggapai Kedekatan dengan Allah melalui Shalat Tahajjud

DALAM sistematika wahyu (tartibunnuzul) Al-Qur'an, terdapat urutan yang sistematis yang menunjukkan bagaimana Allah membimbing Nabi Muhammad SAW dalam mengemban...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img