KEJUJURAN bagaikan mutiara sangat indah yang mampu menarik pesona setiap manusia. Kalau ada yang lebih indah dari mutiara, maka kejujuran adalah perhiasan terindah yang berada dalam jiwa.
Ia memang susah dicari dan sukar didapatkan karena tak gampang dilakukan. Untuk menggapainya, perlu perjuangan dan pengorbanan. Karenanya, banyak sekali yang gagal menghadapi ujian ini.
Perhatikan efek yang ditimbulkan dari kejujuran! Para Nabi dipilih karena kejujuran. Abu Bakar menjadi Sahabat yang tercinta di mata Nabi di antaranya karena kejujuran dan terdepan dalam membenarkan setiap apa saja yang dikatakan Nabi. Para sahabat Nabi itu mulia karena kejujuran mereka.
Meski demikian, kejujuran tidak akan mendapatkan tempat pada hati orang yang tak menghargai keindahan nilai akhlak mulia. Kejujuran tidak akan mampu ditampung oleh manusia yang membebaskan diri dari nilai-nilai luhur.
Memang untuk mempertahankan dan meneguhkan diri agar senantiasa konsisten memegang eratnya penuh dengan dilema, penuh dengan onak duri dan rintangan. Kejujuran memang penuh risiko. Namun bak mutiara, apakah mutiara itu mampu didapat tanpa menyusuri ke dalam samudera?
Nabi Muhammad ﷺ diutus ke Jazirah Arab yang sangat mengindahkan kejujuran, oleh Dzat yang memerintahkan kejujuran, melalui Jibril; makhluk yang patuh dan penuh kejujuran.
Sahabat yang mengitarinya digembleng dan dilatih sedemikian rupa agar senantiasa jujur dalam segala hal. Tentu saja ada juga pengecualian-pengecualian seperti misalnya dalam konteks peperangan. Namun secara umum kejujuran benar-benar didawami secara sungguh-sungguh.
Pembaca yang budiman pernah mendengar Sahabat yang bernama Ka`ab bin Malik? Beliau merupakan Sahabat yang lulus dari ujian kejujuran ini. Kepahlawanannya bertolak dari peristiwa kejujuran yang ia pegang teguhi.
Ketika perang Tabuk (9 H) terjadi, dia absain tidak ikut padahal ia mampu, akibat bujukan nafsu hingga menunda-nunda waktu, perbuatan ini harus dibayar mahal berupa sanksi yang sangat-sangat berat.
Karena perbuatannya itu, dia diisolasi bicara selama 50 malam, bahkan istri tercintanya yang halal baginya diperintah meninggalkannya ketika malam ke empat puluh.
Suatu kondisi yang begitu berat baginya. Dia benar-benar diuji, betapa getirnya balasan orang-orang yang tak taat dan menunda-nunda perintah Nabi.
Betapa merananya, hidup di tengah-tengah keluarga dan saudara sesama Muslim, namun sama sekali tak mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka. Itu adalah sanksi yang sangat wajar bagi Sahabat sekaliber Ka’ab bin Malik.
Menariknya, betapa beratnya ujian yang dihadapi, beliau tetap bisa teguh tegar memegang erat kejujuran. Ia menyadari betul sebenarnya ia mampu bersilat lidah, karena dia penyair Islam yang kondang.
Tapi hati kecilnya menolak kebohongan itu. Kebohongan apapun akan nampak di mata Allah ta`ala. Kalau ia ngotot (bersikeras) berbohong pasti akan turun wahyu yang akan membeberkan kedoknya.
Lebih pelik lagi, di sela-sela menjalani sanksinya, sebenarnya bukan hanya ia merasa sesak dadanya di tengah kelapangan bumi, namun ia juga mendapat godaan lain berupa bujukan dan rayuan dari utusan penguasa Gassan untuk bergabung dengan mereka.
Ia tetap teguh tegar, bahkan menyobek-nyobek surat ajakan mereka. Pada akhirnya Ka`ab bin Malik lulus dalam ujian kejujuran ini. Rasulullah ﷺ sampai mengatakan: “Selamat atas kebaikan di hari yang telah kamu lalui sejak engkau dilahirkan ibumu.”
Ka`ab Radhiyallahu ‘anhu gembira bukan main. Sejak saat itu pula ia berkomitmen pada Rasul ﷺ: “Saya akan senantiasa memegang prinsip kejujuran selama nyawa ini masih bersemayam dalam raga”.
Ia pun benar-benar membuktikannya hingga akhir hayatnya. Berangkat dari kejujuran hingga mati dalam kejujuran. Inilah kunci dari kepahlawanan Ka`ab bin Malik.
Ia mampu mengolah dan mengarahkan hatinya untuk senantiasa jujur dalam berbuat dan bertutur. Cermin hatinya selalu memantulkan kejujuran.*/ Mahmud Budi Setiawan (Hidcom)