Ditulis oleh Abdul Ghofar Hadi, M.S.I (Ketua STIS Hidayatullah)
“Berapa kadernya sekarang?” Itulah pertanyaan yang sering kali muncul ketika bertemu dengan teman lama atau teman baru kenalan. Tentu yang dimaksud kader di sini adalah kader biologis yaitu anak keturunan yang lahir dari hasil pernikahan.
Saat ini untuk bicara kader biologis masih sekedar kuantitas atau jumlah. Bisa dikatakan hebat ketika menyebutkan kader yang sudah lahir lebih dari 5 dan dikatakan lambat ketika baru satu atau dua saja. Mungkin mau mengamalkan hadist Rasulullah bahwa beliau akan bangga dengan jumlah umatnya yang banyak.
Namun, lahirnya kader biologis tidak cukup kuantitas tapi harus berkualitas. Alangkah indahnya ketika pertanyaannya ditingkatkan, “Berapa kadernya yang sudah hafal al-Qur’an?” Tentu ini pertanyaan memotivasi untuk menjadikan kader biologis yang berkualitas.
Adapun jumlah kader biologis itu karunia dari Allah, karena tidak sedikit pasangan suami istri yang tidak dikarunia anak padahal sudah bertahun-tahun menikah dan sudah terapi kesuburan ke mana-mana.
Proses untuk mencetak dan mendapatkan kader biologis relatif mudah dan nikmat artinya pada umumnya orang menikmatinya. Proses kelahiran dari perut ibu yang menjadi taruhan hidup mati dari seorang ibu. Adapun hasil dari proses, Allah tetap Maha Kuasa untuk menentukannya.
Kemudian jenis kader kedua adalah kader akademis. Inilah produk dari sekolah-sekolah formal dan non formal. Mereka sebatas alumni dari almamater tempatnya belajar beberapa tahun. Ikatan alumninya yang terjalin juga bersifat semu yaitu keilmuan dan sedikit ikatan emosional.
Proses untuk melahirkan kader akademis sedikit rumit dan penuh suka duka dibandingkan proses mencetak kader biologis. Kerumitan yang sering terjadi adalah dalam aturan, sistem dan kurikulum yang terlalu kaku dan formalitas yang tidak menyentuh pendidikan seutuhnya. Keberadaan sekolah-sekolah dari tingkat PAUD (Pendidikan Usia Dini), Play Group, TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi adalah wadah-wadah yang melahirkan kader akademis berkompeten dalam keilmuan tertentu.
Inilah salah satu yang menjadi ironis dari lembaga pendidikan Islam yang seharusnya alumni atau lulusannya bisa turut andil memperjuangkan Islam. Tapi terkadang yang terjadi justru menghasilkan alumni yang balik memusuhi atau cuek dengan almamaternya.
Mereka tidak mewarisi nilai-nilai subtansial yang ada di lembaga Islam tapi hanya berhasil mendapatkan ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga tersebut. Artinya secara dakwah, tidak berhasil merekrut mereka untuk menjadi kader ideologis yang dipersiapkan untuk mengemban amanah Islam ke depan.
Selanjutnya adalah kader ideologis sebagai kader yang ideal dan paling tinggi tingkatannya. Proses mencetak kader ideologis sangat rumit dan ketat karena bukan sekedar transfer pengetahuan, wawasan yang bersifat kognetif saja tapi nilai-nilai dasar, mentalitas dan keyakinan yang harus bisa terinternalisasikan kepada kader ideologis.
Proses pembentukan mental dan menumbuhkan keyakinan dari ideologi ini yang tidak mudah dan tidak bisa instan atau bin salabin seperti sulapan pinggir jalan.
Negara ini sangat ketat dalam seleksi awal untuk penerimaan calon-calon kader ideologis. Banyak kreteria dan ujian yang harus dilewati. Kemudian masa pendidikan atau pendadaran untuk menjadi kader ideologis juga rumit berbelit, penuh dengan aturan dan sarat dengan komitmen yang mengikat. Tempaan mental, penugasan, rekayasa tugas dan berlatih peran adalah bagian kecil dari penanaman mental dan ideologi.
Kader ideologis sangat berat prosesnya dan hasilnya sangat mahal. Mereka harus teruji dengan segala tempaan alam, ujian dan cobaan kesulitan, tidak tergoda dengan kesenangan yang akan menjerumuskannya.
Lembaga pengkaderan inilah yang seharusnya melahirkan kader-kader ideologis yang memiliki kompetensi intelektualitas, mentalitas, moralitas dan spritualitas yang di atas rata-rata orang pada umumnya. Wallahu a’lam bish shawwab.