Hidayatullah.com — Meski tegas menolak untuk berpolitik praktis, Hidayatullah tetap berpartisipasi aktif dalam politik karena negara telah membuat regulasi dan orang harus memilih. Hidayatullah berpartisipasi untuk memilih orang yang benar-benar bisa dipercaya.
“Kalau ada kader Hidayatullah yang mau masuk partai politik, silahkan saja, yang penting ada rekomendasi hasil musyawarah untuk masuk dan jelas apa yang mau Anda lakukan di sana. Selama semua itu jawaban dan cita-citanya Islami, kenapa tidak, kita harus dorong maju,” kata Ketua Pimpinan Pusat Hidayatullah, Ir Ahkam Sumadiana, di sela-sela acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) 2014 dan Leadership Training Hidayatullah di Kota Depok, Jawa Barat, ditulis Rabu (22/01/2014).
Namun Ahkam menegaskan, kalau warga Hidayatullah yang tertarik ke politik tapi tidak bisa menjawab jaminan bahwa ia tetap Islami, tidak akan diberikan rekomendasi.
“Intinya ke politik itu dakwah untuk Islam. Kita berada di Hidayatullah ini dalam rangka untuk Islam, berada di luar itu juga berislam. Kita tidak berpolitik untuk Islam, kita berpolitik juga untuk Islam,” ungkap beliau.
“Biar kita tidak berpolitik tapi kalau tidak Islami, untuk apa. Kita jangan mengharamkan politik tapi waktu yang sama kita tidak Islami,” tambahnya mewanti-wanti.
Lebih dari itu, Ahkam mendorong jamaah Hidayatullah untuk tak henti menyibuki dakwah. Dan, kelak Hidayatullah akan melalukan standarisasi dai agar pola dan geraknya seiring satu dengan yang lain.
Selain melakukan standarisisi dai, beliau juga berharap lembaga pemerhati dai yakni POSDAI yang berada di bawah koodinasi departemen dakwah PP Hidayatullah dapat melakukan akselerasi semua lini produk layanannya. Misalnya, akselerasi terhadap program Gerakan Nasional Dasar Membaca dan Belajar Al Qur’an (Grand MBA) agar dapat menjadi metode unggulan pembelajaran Al Qur’an di masyarakat.
Ahkam mengatakan, pendidikan dan dakwah adalah mainstream gerakan Hidayatullah. Karena mainsteram maka harus selalu prioritas dari skala-skala yang lain. “Sebab ketika ia tidak menjadi utama, pasti tidak jalan,” ujarnya.
Solusinya, tentu, harus ada penanggungjawab dai baik wilayah maupun daerah. Kalau itu tidak ada, kegiatan dakwah dai tidak akan bisa maksimal. Karena pasti nanti semua berfikir dakwah sebagai sampingan. Padahal, menurut dia, dalam dakwah ini banyak sekali yang bisa dilakukan, salah satunya adalah edukasi keummatan dengan Grand MBA.
Dai dan lembaga penyantun dai kata Ahkam bukan sekedar mengisi ceramah atau menempel jadwak khutbah, sebab kalau hanya sekedar begitu pegawai Telkom pun juga bisa jalan. Tapi seorang dai tidak sekedar mengisi ceramah dan khutbah.
“Semoga kelak lahir dai dai yang handal. Melahirlkan dai yang mujahid, bahkan dai yang ideolog. Karena dai yang ideolog itu walaupun tidak dibiayai ia tetap bisa lari kencang,” tandasnya. (ybh/hio)