PADA suasana subuh hari yang menyegarkan ini, penulis membaca sebuah status di akun media sosial milik Ustadz Asih Subagyo. Beliau adalah Ketua Bidang Organisasi DPP Hidayatullah.
Beliau mengutip perkataan ulama Hasan Bashri, “Menyampaikan kebaikan itu lebih baik daripada diam dan diam itu lebih baik daripada menyampaikan keburukan”.
Menarik rasanya ungkapan ini untuk diurai dan diselami lebih dalam lagi. Sehingga mutiara hikmah yang terkandung dalam perkataan yang sarat makna itu mampu kita dapatkan sebanyak-banyaknya.
“Menyampaikan kebaikan itu lebih baik daripada diam”
Menyampaikan kebaikan adalah bagian dari aktualisasi iman seorang Muslim. Lisan berikut untaian perkataan yang keluar dari mulut seseorang itu lahir dari dalam palung hati dan olah fikir (akal) manusia, sehingga bagi orang yang beriman kepada Allah ﷻ maka ucapannya haruslah berupa ajakan kebaikan.
Allah ﷻ berfirman, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)” (QS. Fussilat: 33)
Menarik apabila kita memperhatikan perintah-perintah Allah ﷻ kepada Nabi Muhammad ﷺ di dalam Al Qur’an. Salah satu perintah Allah ﷻ yang senantiasa terulang adalah kata “Qul”. “Qul” adalah kata kerja perintah (fiil amr) yang berarti katakanlah.
Kata “Qul” di dalam Al Qur’an selalu diikuti dengan pernyataan kebenaran dan kebaikan serta menolak kebatilan. Salah satu kata “Qul” yang fenomenal di dalam Al Qur’an adalah “Qul yaa ayyuhal kaafiruun (hingga akhir ayat).
Surah Al Kafirun {109} ayat 1-6. Surah ini diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menjawab dengan tegas sekaligus menolak tawaran kekayaan, wanita dan kompromi agar umat Islam bisa bergantian menyembah Tuhan orang kafir Quraisy selama setahun.
Perintah “Qul” ini, menurut Ustadz Akhmad Muwafik Saleh, merupakan konsepsi dasar menuju perubahan sosial profetik. Fenomena kata “Qul” berarti cara komunikasi ilahiyah atau ketuhanan dalam mendorong manusia pada perubahan realitas yang diinginkan dalam bingkai nilai-nilai kebenaran ilahiyah.
Dengan kata lain, fenomena Qul adalah model komunikasi profetik dalam mempersuasi publik menuju perubahan sosial berupa penerimaan pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran Islam yang rahmatan lil aalamiin.
Bahkan dalam satu pesannya, Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada umatnya agar terus menyampaikan kebenaran dalam rangka membangun kebaikan ummat manusia walaupun perbuatan ini akan mengundang kepahitan berupa celaan, makian, perlawanan bahkan ancaman sekalipun. Katakanlah yang benar walaupun itu pahit (HR Ahmad)
“Diam itu lebih baik daripada menyampaikan keburukan”
Iman dalam hati seseorang kepada Allah Yang Maha Baik akan melahirkan lisan yang baik pula. Sehingga semua gerak geriknya, perbuatan dan perkataannya adalah yang membawa kebaikan buat dirinya dan orang lain.
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah mengurangi berbicara dalam hal yang tidak bermanfaat” (HR. Ahmad)
Maka, ketika ada potensi keburukan yang akan disampaikan lewat lisan yang merupakan karunia Allah Yang Maha Mulia, lebih baik untuk bersikap diam. Pemilihan sikap ini semakin terasa bermakna manakala ia didasari atas iman kepada Allah ﷻ dan hari akhir.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam” (HR Bukhari Muslim)
Seringkali pula keburukan itu berawal dari kebohongan. Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah kebohongan, sebab kebohongan menggiring kepada keburukan, dan keburukan akan menggiring kepada neraka. Dan sungguh, jika seseorang berbohong dan terbiasa dalam kebohongan, hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai seorang pembohong.”
Lebih baik diam daripada di sisi Allah SWT dicap sebagai pembohong. Dan kebohongan terbesar adalah menyampaikan bahwa Allah SWT memiliki sekutu.
Menyebarkan keburukan seseorang walaupun ia adalah cerita benar (ghibah) yang didasari atas kedengkian, dendam, amarah, niat menjatuhkan kredibilitas orang dan menaikkan derajat pelaku adalah perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah ﷻ. Perbuatan ini jika diteruskan akan mendorong seseorang untuk menjadi namimah.
Pemuda Juru Bicara Peradaban
Hari-hari ini semakin terasa perlawanan antara kebaikan dan keburukan dengan semakin maraknya informasi melalui berbagai platform media social. Keburukan tiap waktu dan banyak disiarkan, maka kebaikan juga harus diperjuangkan lebih massif dan terorganisir agar meraih kemenangan.
Maka, sebagai juru bicara peradaban, pemuda harus terdepan memberikan pecerahan kepada umat manusia agar kembali kepada jalan Allah SWT agar senantiasa di dalam kebaikan dan terhindar dari segala keburukan.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan Al Hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (Q.S. An-Nahl: 125)
MAZLIS B. MUSTAFA, penulis adalah Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah