AdvertisementAdvertisement

Kebutuhan Mendesak Akan Kemandirian Umat

Content Partner

Kehebohan demi kehebohan seakan tiada henti menghantam keseharian umat Islam, dari politik hingga ekonomi, dari kebutuhan sehari-hari hingga kesadaran akan pentingnya pembelaan terhadap keyakinannya. Terbaru adalah seruan dari MUI, IKADI dan beberapa pihak agar umat memboikot produsen pro-LGBT.

Seperti kita ketahui, LGBT bukan sebatas komunitas seperti anak punk, ini adalah gerakan yang didasari sebuah kesengajaan untuk menyeret orang-orang yang tak begitu kenal akan sejarah dan khazanah peradaban Islam simpati, mendekat, dan akhirnya hanyut dalam gerakan politik mereka yang telah matang secara konsep dan terus merangsek ke berbagai negara di dunia.

Negara-negara yang melegalkan perkawinan sejenis pun terus bertambah dari tahun ke tahun. Terbaru adalah Irlandia Utara yang resmi melegalkan pernikahan sesama jenis, dimana dilaporkan BBC pernikahan sejenis pertama digelar pada Februari 2020. Kini tercatat 30 negara telah melegalkan pernikahan sesama jenis di seluruh dunia. Dan, hanya Taiwan negara di Asia yang telah mengikuti langkah-langkah negara Eropa dan Amerika melegalkan pernikahan yang di zaman Nabi Luth telah mengundang kehancuran luar biasa itu.

Jadi, LGBT ini bukan murni komunitas, tapi sebuah gerakan terstruktur dan sistematis. Menariknya ada semacam “kesepakatan” lain, dimana perusahaan-perusahaan besar, di Indonesia ada Unilever yang semacam wajib atau sangat antusias mendukung kelompok ini. Fakta ini direspon dengan keharusan umat Islam memboikot produk produsen yang mendukung LGBT.

Lebih dari sekedar boikot, umat Islam harus mandiri, wajib untuk mampu memproduksi barang-barang kebutuhannya secara mandiri, sehingga kekuatan ekonomi atau perederan uang kaum Muslimin tidak masuk kepada pihak lain yang walaupun secara ekonomi sangat diuntungkan oleh umat, namun masih saja memilih untuk terus tidak simpati dan empati kepada umat Islam.

Secara fiqh menggunakan produk dari produsen pro-LGBT sebenarnya memiliki catatan serius. Ketua Komisi Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Huzaemah Tahido Yanggo menjelaskan pada dasarnya umat Islam harus meninggalkan setiap barang-barang yang sifatnya syubhat, terlebih yang sudah jelas status keharaman dari barang tersebut. Terkecuali bila dalam keadaan darurat dan tidak ada barang lain yang dapat digunakan, dikonsumsi, atau dipakai. Maka barang-barang yang mulanya sifatnya berstatus syubhat atau haram bisa digunakan.

Begitu pun ketika ada perusahaan multinasional yang secara terang-terangan mendukung LGBT. LGBT merupakan perilaku menyimpang yang diharamkan oleh agama Islam.

Maka menurut Prof Huzaemah, bagi umat Islam semestinya sekuat tenaga tidak menggunakan produk-produk perusahaan yang mendukung LGBT itu. Sehingga dengan tidak menggunakan produk perusahaan itu seorang Muslim terhindar dari tergolong sebagai orang yang turut mendukung LGBT. 

“Karena perusahaan itu mendukung sesuatu yang haram, berarti (produk-produk yang dijual) itu digunakan sebagai alat untuk berbuat haram lagi nantinya. Berarti kita mendukung, karena itu kita hindari supaya kita tidak ikut dapat dosa. Kecuali kalau tidak ada yang lain sementara kita butuh, itu boleh,” kata Huzaemah kepada Republika.co.id.

Langkah Sinergis

Merespon masalah ini harusnya mendorong kesadaran kolektif dari umat Islam, sebagaimana gerakan yang menuntut secara hukum penista agama juga RUU HIP. Karena bagaimanapun kemandrian ini nafas, nyawa, bahkan lebih dair itu muru’ah dari umat Islam itu sendiri.

Perbankan Syariah harusnya didorong bagaimana melahirkan perusahaan umat yang mampu memproduksi kebutuhan umat secara mandiri, sehingga pada satu dekade ke depan misalnya, umat Islam tidak perlu lagi membeli produk dari perusahaan asing atau di luar umat yang dalam banyak hal ternyata membantu gerakan-gerakan yang di dalam pandangan Islam haram.

Lebih dari sekedar itu, perlahan-lahan beragam workshop, loka karya bahkan training untuk melahirkan generasi yang siap menjadi produsen, ahli dalam pemasaran, dan keuangan harus segera dihadirkan. Jika tidak, maka selamanya kata kemandirian umat ini akan bertengger sebagai wacana dan tidak beranjak menjadi gerakan.

Dan, bagaimana mungkin itu terus terjadi, sedangkan respon umat Islam di negei ini di dalam merespon hegemoni arus dagang Belanda dan China ketika itu adalah dengan mendirikan Syarikat Dagang Indonesia. Kini pertempuran dunia sejatinya bukan lagi politik dan militer, tetapi ekonomi alias dagang (economic war). Sebuah bangsa atau peradaban yang kalah secara ekonomi sudah pasti mau tidak mau harus membeo pada negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar.

Mengapa TKA China bebas keluar masuk Indonesia, bahkan pada saat pandemi terjadi? Tidak lain karena bangsa ini bahkan umat ini tidak memiliki kemandirian ekonomi. DImana kemandirian ekonomi sejatinya bukanlah sebab, melainkan akibat.

Ya, akibat dari lemahnya aqidah, sehingga rendah etos kerjanya, mudah putus asa, selalu mengeluh, dan berpikir tidak mungkin dan pesimis, serta sulit terkoordinasi dalam satu kepemimpinan dan gerakan. Jika kultur itu masih dominan hingga hari ini, maka langkah strategisnya menurut Ustadz Abdullah Said harus dimulai dengan perbaikan kualitas syahadat.

Sebab jika mau diteliti, apakah benar tidak ada umat Islam yang kaya? Pasti ada. Apakah benar tidak ada umat Islam yang cerdas, berpengalaman, dan bahkan ahli? Pasti ada. Tetapi mengapa tak mampu memberikan jawaban? Karena masing-masing bergerak sendiri-sendiri. Sampai di sini, apakah relevan dan urgen untuk umat ini memiliki wadah bersama Dewan Kemandirian Ekonomi Umat? Allahu a’lam.

Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img