Mau tidak mau kita harus bertanya kepada diri sendiri, kemenangan apa yang diperoleh dari Ramadhan 1441 H, Ramadhan dimana manusia berhadapan dengan Covid-19, Ramadhan yang tak pernah dialami oleh generasi Indonesia pada umumnya.
Secara politik kebangsaan, jelas kemenangan itu belum kita dapatkan. Semakin akhir Ramadhan, pertunjukan perilaku yang mengganggu moral dan spiritual kian menguras perhatian dan terus menggelinding.
Tetapi, sekali lagi kita patut bahkan wajib bertanya, secara pribadi, kemenangan apa yang diperoleh pada Ramadhan 1441 H ini.
Dalam bahasa agama ada istilah muhasabah, yakni melakukan evaluasi diri terhadap setiap kebaikan dan keburukan beserta semua aspeknya baik secara vertikal dengan Rabb maupun horizontal dengan sesama manusia.
“Dari Syadad bin Aus r.a, dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau berkata, “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Imam Turmudzi).
Jadi bertanya kemenangan apa sebenarnya adalah evaluasi, muhasabah, yang sudah barang tentu penting dilakukan, sehingga Ramadhan yang menyisakan beberapa jam ke depan, benar-benar memberikan kekuatan mindset, spiritual, dan etos menebar maslahat secara lebih kuat, massif dan sistematis.
Kemenangan Jiwa
Jika merujuk dalam ayat Al-Qur’an, kemenangan yang harus diperoleh dalam Ramadhan adalah ketaqwaan. Taqwa adalah pekerjaan jiwa, medan tempur hati, dan tempat bercokolnya iman yang sejati. Dengan kata lain, jika jiwa seorang Muslim selama dan selepas Ramadhan sama sekali tidak merasakan peningkatan iman dan taqwa, sudah jelas, Ramadhan tidak berarti apa-apa dalam hidupnya.
Definisi taqwa, ruang dan langkah operatifnya, bahkan keteladanannya telah diberikan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Di bulan Ramadhan beliau sangat menguatkan yang namanya ibadah dengan sholat, membaca Al-Qur’an, bahkan i’tikaf. Tak cukup itu, Nabi ﷺ juga bersedekah yang hembusannya lebih kencang dari pada angin yang berhembus.
Sekarang, apakah kebiasaan ibadah itu telah kita jalankan dengan baik? Kemudian meningkat menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan bagi hatinya? Andai itu tercapai, adakah rasa hati tergerak membantu yang kelaparan, kesulitan, dan membutuhkan pertolongan? Atau lebih tinggi lagi, adakah harta masih menjadi “qiblat” hati dalam kehidupan?
Oleh karena itu, makna kemenangan umat Islam dalam Perang Badar jika kita mau tarik dalam kemenangan Ramadhan 1441 H di tengah pandemi ini adalah bagaimana diri semakin sadar dan yakin sepenuh hati bahwa ibadah itu perlu kita lakukan demi mengundang pertolongan Allah. Jadi, ibadah bukan sekedar gerakan ritual, tetapi juga energi perjuangan, infrastruktur mewujudkan visi dan pondasi membangun peradaban.
Sebab bagi Allah tidak sulit memenangkan umat Islam, bahkan mengubah keadaan yang buruk menjadi baik. Namun, tanpa kesadaran, cita-cita, dan keinginan kuat dalam diri mengikuti apa yang Allah kehendaki semua yang pernah terjadi dalam sejarah Peradaban Islam akan sulit diwujudkan. Bukan karena Islam sebagai agama tidak lagi ampuh, tapi umatnya yang tidak benar-benar mengambil energi besar dari ajaran yang luar biasa ini.
Menebar Kebaikan
Tanda kemenangan Ramadhan berikutnya yang sangat penting adalah adakah kesadaran diri untuk menjadi agen penebar kebaikan, yakni mengamalkan konsep “Ihsan” dalam ajaran Islam.
Ibn Qayyim dalam Zaadul Ma’ad menyampaikan bahwa ihsan itu menyenangkan hati, melapangkan dada, membuka nikmat dan menolak bala. Sebaliknya orang yang tidak berbuah ihsan adalah mereka yang bakhil, yaitu orang yang tidak berbuat ihsan pada hartanya.
Dalam kata yang lain, jika puasa Ramadhan tak sedikit pun mengubah cara berpikir kita lebih tunduk pada ajaran Islam, ringan menjalankan apa yang Allah perintahkan dan apa yang Allah larang, tentu kemenangan itu masih harus diperjuangkan. Sebab, janji Allah adalah akan senantiasa menyertai orang yang bertaqwa dan orang yang berbuat ihsan (QS. An-Nahl [16]: 128).
Dalam bahasa Allahuyarham Ustadz Abdullah Said pada buku Kuliah Syahadat (halaman: 156), segeralah move on bersiap diri menyiapkan perjuangan untuk kemenangan selanjutnya dan kemenangan berikutnya. Artinya, kalau pun Ramadhan belum menang, sisa beberapa jam ini dimaksimalkan untuk meraih kemenangan, setidak-tidaknya jangan kalah.
“Apabila selesai dengan satu urusan, segeralah mengangkat urusan yang lain. Sibukkan diri dalam kegiatan, ambil dan pikul tanggung jawab sebanyak-banyaknya. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada, semua waktu punya harga yang tinggi, jangan dilewatkan. Kehilangan waktu sudah pasti kerugian dan kekalahan.”
Artinya, menjadi sangat sederhana tolok ukur keberhasilan seseorang di dalam Ramadhan ini. Jika ia semakin sadar akan urgensi waktu, sehingga bergegas dalam segala kebaikan (wa sari’uu dan sabiquu) maka jelas, kemenangan itu telah diraih. Namun harus dijaga dan ditingkatkan.
Tetapi jika setelah Ramadhan, produktivitas lesu dalam segala sisi, bisa dikatakan seseorang itu tak lebih dari anak-anak sekolahan, yang benar-benar rajin belajar saat di kelas, namun ogah melakukan itu di rumah dan di masyarakat. Kemenangan Ramadhan kini idealnya menjadikan kita terus bergerak untuk menyongsong kemenangan demi kemenangan di luar Ramadhan. Semoga Allah mampukan. Allahu a’lam.*
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah