Oleh Dzulkifli M. Salbu*
ABU QATADAH menuturkan, suatu malam Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mendapati Abu Bakar sedang shalat tahajjud, dengan suara yang nyaris tak terdengar, di lain waktu Nabi menjumpai Umar sedang shalat, dengar suara yang keras.
Saat keduanya berada di Majelis yang sama, Nabi bertanya, “Wahai Abu Bakar, kenapa suaramu terdengar lirih ketika engkau shalat?”
Abu Bakar menjawab “Aku sedang menikmati bacaanku di hadapan Allah”, lalu Nabi juga bertanya kepada Umar, tentang suaranya yang keras saat shalat, dan jawaban Umar, “Dengan suara keras aku ingin mengusir kantuk dan syetan”.
Keduanya menerima dari sumber yang sama, namun memiliki cita rasa yang berbeda. Dalam pentas kehidupan, kita akan banyak menjumpai “Abu Bakar” dan “Umar”. Keduanya mengajarkan kita, agar tak terjebak pada perbedaannya (volume suara) tapi fokus pada persamaannya (shalat lail).
Perbedaan itu sebuah keniscayaan, tapi bukan untuk membeda-bedakan. Allahuyarham Abdullah Said didampingi oleh kader-kader awal, yang menerima hidangan sistimatika wahyu dari sumber yang sama, tapi mereka mengunyah dan menikmatinya dengan cara yang berbeda, karakteristik mereka berbeda, namun semua istimewa di mata Allahuyarham Abdullah Said.
Maka kita akan mencicipi kelezatan yang tak sama, ketika kajian sistimatika wahyu disuguhkan oleh Allahuyarham Ust Amin Bahrun dengan Allahuyarham Ust Hasan Suraji. Beda antara Ust Hasyim HS dengan Allahuyarham Ust Abdul Mannan, antara Ust Qadir Jailani dengan Ust Anwari.
Begitulah dengan pembimbing yang lain, masing-masing punya racikan tersendiri, semua spesial, dengan gaya bahasa yang beda, tapi dengan substansi yang sama.
Esensi perbedaan sejatinya menghadirkan persaudaraan, dan itulah yang tersaji dalam sejarah kehidupan Nabi bersama para sahabat, kisah ukhuwah diantara mereka, kaya dengan adegan-adegan dramatis, yang diperagakan dengan sangat fantastis. Dan, Allahuyarham Abdullah Said berhasil mencetak klise cerita, menjadi adegan nyata, ukhuwah bukan sekedar lukisan indah di dinding sejarah, tapi menjadi mutiara di alam nyata.
Masih terbayang dengan jelas bagaimana keakraban antara Ust Hasan Ibrahim, Ust Abdul Latif Usman, Allahuyarham Ust Sudiono, Allahuyarham Ust Manshur Salbu, saat menjadi staf di Karang Bugis, indahnya tawa canda warga saat kerja bakti, semua lebur dalam kebersamaan, semua menikmati persaudaraan.
Ukhuwah adalah warisan terindah, dari Allahuyarham Abdullah Said dan para pembimbing yang telah mendahului kita, keindahan yang semoga tidak tergerus oleh asset dan kekayaan yang insya Allah akan terus bertambah, tak boleh terciderai oleh sikap kita yang pongah, jangan digadai dengan dunia yang murah, jangan ditukar dengan harta yang bisa jadi fitnah.
Hari ini, Hidayatullah telah mengepakkan sayap kesemua wilayah, bahkan hampir semua daerah telah terjamah, kampus-kampus telah berdiri dengan megah, walau masih ada juga yang terengah-engah, ada yang asetnya melimpah, ada pula yang masih payah, tapi itu semua tak boleh membuat kita terpecah, karena kita satu jamaah di Hidayatullah.
Salah satu kunci merekatkan ukhuwah adalah pengikisan thaga, istilah yang sejak awal, dipopulerkan Allahu yarham Abdullah Said, karena disadari dan diyakini, thaga menjadi penghalang utama terbangunnya persaudaraan, merasa diri lebih baik dari yang lain, entah karena harta (kesombongan finansial), atau karena ilmu (kesombongan intelektual), atau karena ibadah (kesombongan spritual), atau karena yang lain.
Faktor lain perekat ukhuwah adalah kesamaan visi. Bila visi kita berbeda, maka yang bersatu hanya fisik, tapi tidak dengan hati, seperti yang Allah nyatakan dalam QS. Al Hasyr ayat 14:
تَحۡسَبُهُمۡ جَمِیعࣰا وَقُلُوبُهُمۡ شَتَّىٰۚ
“Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah”
Lima puluh tahun usia lembaga, semoga ditengah gemerlap milad Hidayatullah, ukhuwah tetap terjaga.
*)Dzulkifli M. Salbu, penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Kalimantan Selatan