TENGKU Mahyeddin Husra adalah putra asli Aceh yang bergabung Hidayatullah dengan cerita uniknya. Awalnya, saat Ust. Wahyu Rahman bertugas di Aceh.
Ust. Wahyu sempat berdakwah di kampungnya dan berkenalan dengan keluarganya. Sementara Tengku Mahyeddin sendiri tidak di kampung, masih kuliah di IAIN ar Raniri Fakultas Dakwah.
Kepada Ust. Wahyu, orang tuanya bercerita, bahwa ada putranya sedang kuliah di IAIN. Informasi itu seketika langsung disergap oleh Ust. Wahyu.
“Bagus itu, nanti kalau sudah lulus dan wisuda, suruh bergabung di Hidayatullah untuk menangani pendidikan di Hidayatullah. Gambaran (pekerjaannya) di pemerintah seperti kepala Dinas Pendidikannya,” kata Ust. Wahyu.
Saat lulus dan ketika Wahyu dipertemukan dengan Mahyeddin, kalimat yang sama disampaikan oleh Wahyu kepada keluarganya. Tentu menarik dan tertarik sebagai seorang sarjana yang baru lulus, bayangannya seperti kepala Dinas Pendidikan, keren banget.
Tengku pun diajak ke naik bus ke Aceh Utara. Waktu itu Mahyeddin muda masih merokok dan dengan santainya menawarkan sebatang rokok kepada Ust. Wahyu. Tapi ditolaknya dengan halus.
“Ini ustadz kayak cewek saja tidak merokok,” kata Mahyeddin dalam hati. Pergaulan saat itu, merokok adalah wajib bagi anak laki-laki apalagi mahasiswa.
Ketika tiba di Pesantren Hidayatullah Aceh Utara sudah tengah malam, sehingga Mahyeddin langsung diarahkan ke guest house sederhana pondok untuk beristirahat.
Setelah shalat subuh, Mahyeddin diperkenalkan dengan Ust. Ahmad Nurdin (almarhum), Ust. Nur Yahya Asa, Ust. Jamaluddin Nur, dan yang lainnya.
Kesan pertama luar biasa, mereka baru kenal tapi langsung akrab dan seperti teman lama yang baru ketemu lagi. Ustadz Ahmad Nurdin langsung menjelaskan tentang kehebatan Sistematika Wahyu.
Kesan kedua, saat giliran waktunya sarapan. Subhanallah, hanya nasi putih, daun kemangi, dan tahu tempe tapi semua makan dengan lezat serta semangat.
Tengku pun mengaku sangat kaget. “Saya ini orang miskin, tapi semiskin-miskinnya keluarga saya, tidak separah itu makannya, tanpa sayur dan ikan,” katanya, seperti diceritakannya kepada penulis beberapa waktu lalu.
Tiga hari di Pesantren Hidayatullah Aceh Utara, Mahyeddin hanya makan sekedarnya. Yang penting tidak lapar atau tidak mati saja.
Kesan ketiga, saat diberikan amanah membuka pendidikan. Ternyata bayangan seperti kepala Dinas Pendidikan itu jauh dari kenyataan. Ini baru mau buat sekolah rintisan. Belum jelas santri, guru dan fasilitasnya. Tapi sudah terlanjur, Mahyeddin terima saja tugas itu.
“Kesan keempat, saya harus masih di TC yaitu Training Center. Istilahnya saja keren, bentuknya dengan disuruh belanja kebutuhan dapur setiap hari ke pasar dengan naik vespa Spring yang dua kali mati setiap jalan belanja karena mesin tua,” kisah Mahyeddin mengenang momen tak terlupakan itu.
Tapi lumayan, TC itu rupanya bisa mengurangi kesombongannya sedikit sebagai seorang sarjana yang baru lulus.
Saban hari, makin banyak kesan hidup yang dia rasakan. Dia punya pengalaman pernah diajak ke perusahaan besar bertemu dengan jajaran direksi.
Ust. Wahyu berpesan kepadanya, “Kalau kamu di kampung sulit bisa ketemu direksi-direksi perusahaan besar, di Hidayatullah bisa ketemu orang-orang besar”.
Saat itu Tengku pakai celana Levi’s dan baju apa adanya, sementara Ust. Wahyu penampilannya rapih dan klimis.
“Kita harus berpenampilan necis sebab kita bukan peminta tapi mengajak mereka ke surga Allah, maka kita harus nampak lebih hebat daripada mereka,” kata Ust, Wahyu padanya. Pelan-pelan, Mahyeddin pun mulai mengubah penampilannya.
Tengku Mahyeddin merupakan alumni IAIN Ar Raniri Fakultas Dakwah Jurusan Dakwah, Penerangan dan Penyiaran Islam.
Ia pernah ditugaskan mengikuti program kerja sama Pesantren Hidayatullah dengan Badan Dakwah Islam (BDI) PT Arun LNG untuk dakwah pedalaman di kawasan minoritas karena banyak kristenisasi tepatnya di Kampung Jawa atas, Tiga Lingga, Sumatera Utara, selama tiga bulan.
Dia juga perna menjadi peserta dalam kerja sama dengan IAIN Medan. Perjalanan itu akhirnya bikin dia tambah yakin dengan dakwah yang diusung oleh Hidayatullah dan semakin terasa hadir bermanfaat di masyarakat dan modal dari alumni IAIN ar Raniri Aceh.
Keguncangan Melanda
Mahyeddin bercerita, sebenarnya harapan orangtuanya usai dirinya meraih gelar sarjana bukan ke Pesantren Hidayatullah, tapi masuk kerja menjadi pegawai negeri.
Setiap waktu orangtuanya bertanya soal pekerjaan dan memintanya untuk segera mencari pekerjaan. “Saya sudah kerja di Hidayatullah tapi belum ada uangnya,” begitu jawabnya setiap kali dikejar dengan pertanyaan itu.
Karena tuntutan orangtuanya tersebut, Tengku Mahyeddin sempat guncang atau galau mengabdi di Hidayatullah. Ia pun pernah bertanya ke Ust. Wahyu berapa gajinya, kok yang diterima cuma 5 ribu saja.
Ust Wahyu menjawab, “kamu digaji setara dengan pejabat pangkat III A yaitu 350 ribu, ketika dihitung dengan biaya tinggal di kamar, vespa, radio, makan, sebagian untuk tabungan akhirat maka kamu terima 5 ribu saja cukup, Insya Allah”.
Tengku Mahyeddin terima saja penjelasan tersebut. Ia pun menyadari bahwa hal itu merupakan bentuk pengkaderan baginya.
Tengku Mahyeddin berusaha mencari sampingan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengajar di luar yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), tanpa sepengetahuan Ust. Wahyu. Tentu dengan tidak mengganggu tugasnya mengajar di pesantren.
Saat dibuka penerimaan sarjana SP3 (Sarjana Pengerak Pembangunan Pedesaan), Tengku Mahyeddin juga mencoba masuk tanpa sepengetahuan Ust. Wahyu lagi. Pendidikan ke Tangerang 20 hari dengan ijin pulang ke kampung. Lagi-lagi ijin pulang kampung.
Selesai melaksanakan pendidikan SP3, Tengku ditempatkan di Sigli, dekat kampung halamannya. Kesekian kalinya, ijin pulang kampung dan ia diberikan ijin.
Tak ayal, kebijakan Ust. Wahyu dipertanyakan teman-teman karena terlalu sering memberikan ijin kepada Tengku Mahyeddin untuk pulang kampung.
Ust. Wahyu hanya menimpali, “dia akan menjadi kader, karena dia masih baru, kita ambil hatinya agar senang. Insyaallah dia akan mengerti”.
Saat ijin terakhir, sudah terberisit dalam hati Tengku Mahyeddin untuk tidak kembali ke Hidayatullah. Karena bayangannya, menjadi SP3 lebih sejahtera, gaji pasti, full fasilitas, dan penuh kenyamanan.
Namun, setelah menjalani SP3 selama satu bulan di tempat tugasnya, ada rasa gelisah dan kegersangan yang melanda hatinya. Terkait masalah ibadah, saat kuliah sudah shalat, tapi tidak berjamaah apalagi shalat lail. Di Hidayatullah tertanam kebiasaan shalat jamaah dan shalat lail.
Sementara saat menjadi SP3, saat adzan tapi yang shalat 7 orang saja dan rasa kebersamaan sangat kurang. Apalagi pergaulan dengan lain jenis yang sudah lama ditinggalkan, ternyata di tempat tugas banyak bergaul lawan jenis, ini semakin membuat tidak nyaman. Tengku Mahyeddin teringat Ust. Wahyu dan teman-teman di pesantren.
Akhirnya, Tengku Mahyeddin putuskan untuk kembali Pesantren Hidayatullah meski konskuensi kata teman temannya, terima gaji satu kali. Alhamdulillah, hingga hari ini masih istiqamah berdakwah melalui Hidayatullah.
Amanahnya saat ini menjadi Dewan Murobbi Wilayah Aceh. Ia sedang tahap pemulihan dari sakit strokenya dan mulai beraktifitas dengan normal. Kita doakan semoga semakin sehat dan mengawal dakwah Hidayatullah di Aceh.
Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wasekjen DPP Hidayatullah. Ditulis disela kegiatan asesmen DPW Hidayatullah Aceh.