TIBA-TIBA saya teringat salah satu ceramah Allahuyarham Ustadz Abdullah Said yang dikutip dalam buku Mencetak Kader.
Dalam sebuah kesempatan kuliah malam Jum’at, 25 Maret 1990, beliau menyampaikan bahwa, “Kita harus kaya dan kaya, namun bukan untuk pribadi tetapi untuk lembaga. Karena yang kita pikirkan adalah seluruh dunia, bagaimana meng-Islamkan peradaban sekarang”.
Jika dimaknai dalam konteks ideologis, maka pernyataan tersebut di atas, adalah sebuah doktrin. Yang menuntut para sahabat di sekitar beliau saat itu dan juga generasi sesudahnya yang berpegang teguh pada manhaj yang beliau usung, untuk mengelaborasi lebih jauh, sehingga menjadi salah satu agenda gerakan organisasi.
Pendeknya, kita tidak bisa berlepas begitu saja, dari statement itu.
Pernyataan yang disampaikan beliau itu adalah dalam makna yang sesungguhnya, bukan makna konotatif. Pernyataan yang jelas, terang benderang. Artinya, mesti direkayasa, ada upaya yang sangat serius, baik secara individu maupun secara kelembagaan untuk menjadi kaya itu.
Dan, hal ini harus dimulai dari mentalitas kaya. Kemudian menjadikannya sebuah suluk alias laku yang mengikat semua kader, bahkan habit, lalu mengubah mindset.
Bahwa kemudian ada yang berhasil atau tidak, itu urusan lain. Itu terkait dengan masalah takdir. Kita tidak bisa menyerah, sebelum berikhtiar.
Bukankah Allahuyarham juga sudah mengunci pernyataannya dengan bahasa bebasnya kurang lebih begini, “namun kekayaan kita bukan untuk pribadi, tapi untuk lembaga dan dunia, dalam rangka menegakkan Peradaban Islam”. Olehnya, dalam hal ini, tidak dalam kapasitas kita untuk menyanggah pernyataan itu, sebelum berusaha.
Saya memandang kuncinya ada di sikap mental kaya. Olehnya mentalitas kaya ini menjadi penting. Sikap mental yang diikuti juga dengan semangat saling memberi dan membantu. Tidak mementingkan dirinya sendiri. Ada dorongan iman dan ghirah yang menyala-nyala disitu, bersamaan dengan ruhul jihad yang tidak pernah padam.
Cara pandang beliau jauh lebih hebat dari apa yg di kampanyekan oleh Robert T Kyosaki, yang membatasi bahwa untuk menjadi kaya itu, dengan mengubah paradigma finansial. Yang kemudian konsekuensinya hanya membelenggu pada ikatan materialisme secara individual.
Sebaliknya, dalam kaca mata Allahuyarham, kekayaan adalah bagian yang riil baik secara infirodi maupun jamai, dari tegaknya bangunan Peradaban Islam.
Sebagaimana dicontohkan oleh Sahabat Abdurrahman bin Auf. Betapa banyaknya harta beliau yang di sumbangkan untuk perjuangan Islam.
Sebagai saudagar yang berlimpah harta, beliau juga tetap terjun langsung di medan jihad, sampai belasan luka di sekujur tubuhnya, sehingga menyebabkan pincang jalannya.
Bahkan, untuk urusan kenegaraan, ditunjuk menjadi ketua Majelis Syura saat mengangkat khalifah Utsman bin Affan, sebagai pengganti Umar bin Khaththab. Oleh beliau, semua veteran Badar, janda-janda para sahabat, ummul mukminin, dan banyak lagi yang dusantuni dan dijamin kehidupannya. Dan di akhir hayatnya, setelah di infakkan untuk perjuangan, masih menyisakan harta yang berlimpah buat istri-istrinya.
Hal ini selaras dengan kajian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam buku Sirah Nabawiyah-nya. Beliau membantah atau tepatnya meluruskan pemahaman bahwa pengikut dakwah Rasulullah selama 3 tahun yang telah diikuti oleh 40 orang dan mayoritas mereka berasal dari kaum fakir, orang-orang lemah, bekas budak dan budak.
Hasil pengkajian yang mendalam menunjukkan bahwa orang-orang yang disebut sebagai fakir miskin, budak, bekas budak dan orang keturunan asing jumlahnya 13 orang (dari 40an orang itu). Jumlah ini dibandingkan dengan total mereka yang masuk Islam, tidak bisa dikatakan mayoritas atau terbanyak (Lihat Ash-Shallabi : 2014, hal 88)
Tentang keutamaan orang kaya, Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya” (HR. Bukhari No. 73 dan Muslim No. 816)
Permasalahannya bagaimana kita menjadi kaya itu. Ini permasalahan yang tidak ringan. Banyak buku yang ditulis tentang itu. Dari yang rasional sampai yang irasional.
Namun, pastinya kita memilih cara-cara syar’i untuk meraihnya. Banyak contoh yang bisa kita jadikan benchmarking. Tentunya berdagang, menjadi pengusaha dan juga profesi lainnya dapat mengantarkan kesana.
Setiap orang, sebenarnya telah memiliki cara dan jalannya masing-masing. Tidak bisa digeneralisir. Semua kembali ke takdir kita masing-masing. Tidak usah memaksakan diri.
Artinya, jika mujahadah kita untuk menjadi kaya itu, bersebab keutamaan orang kaya sudah dijelaskan dalam hadits tersebut di atas, ternyata belum berhasil. Maka Rasulullah telah mengikat dalam sebuah hadits, bagaimana menjadi kaya itu:
“Maukah kuberitahu pada kalian jika kalian mau mengamalkannya, maka kalian akan mengejar ketertinggalan dari orang-orang kaya dan tidak ada yang mendapati setelah itu. Engkau akan mendapatkan kebaikan lebih dari mereka. Kecuali jika mereka mengamalkan yang semisal. Amalkanlah tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak 33 kali” (HR. Bukhari No. No. 843 dan Muslim No. 595)
Semoga Allah mengantarkan kita menjadi kaya yang sesungguhnya. Dan kekayaan kita, apapun itu bentuknya, menjadikan wasilah dan daya dukung yang kongkrit bagi tegaknya Peradaban Islam. Wallahu a’lam.
________
*) ASIH SUBAGYO, penulis adalah Ketua Bidang Perekonomian DPP Hidayatullah