Menjadi pemenang bukan semata butuh bakat dan kemauan, tapi juga superioritas mental. Bagi kader Pemuda Hidayatullah superioritas mental itu tidak lain adalah dalam hal dakwah.
Kala kita cermati secara mendalam, sebenarnya yang kurang saat ini adalah superioritas dakwah itu sendiri. Umat Islam bisa dikatakan cukup meningkat dalam dunia pendidikan dan ekonomi, tetapi tidak dengan dakwah.
Dalam bahasa Gus Hamid pada bukunya Minhaj, masih ada tiga hal penting yang terjadi pada diri umat Islam saat ini. Pertama, umat Islam belum menghadirkan Islam secara utuh, sehingga kata Syaikh Muhammad Abduh, “Aku melihat Islam – di Paris – tapi aku tidak melihat Muslim, dan aku melihat Muslim di Arab tapi tidak melihat Islam.”
Kedua, umat Islam belum benar-benar kembali dan hidup sesuai dengan ajaran Islam, malah cenderung meninggalkan ajaran yang mulia ini.
Amir Syakib Arsalan pun seperti dikutip Gus Hamid menyimpulkan bahwa umat Islam mundur karena meninggalkan Islam. Sedangkan bangsa Eropa Barat “maju” karena mereka meninggalkan agama mereka, yaitu agama Nasrani atau Kristen.
Ketiga, umat Islam memang benar-benar baru ber-Islam dan karena itu belum beriman, sehingga tingkat ketundukan terhadap syariat juga rendah. Ritual menjalankan rukun Islam mungkin bagus, rajin umroh, semangat haji, zakat, sedekah, bahkan sholat namun belum didasari iman.
Fakta ini menunjukkan bahwa ruang dakwah masih sangat luas dan belum tersentuh secara profesional, modern, serta sistematis.
Kalau mau bertanya, siapa yang tanggungjawab agar umat ini menghadirkan Islam dalam keseharian? Siapa yang bertanggungjawab agar umat Islam mengokohkan nilai-nilai ajarannya sendiri?
Sementara pada saat yang sama berdakwah adalah pilihan yang berat. Selain karena medannya yang luas juga sulitnya mengukur efektivitas dakwah secara manajerial layaknya gerakan profesi. Di sinilah jiwa-jiwa besar, kepemimpinan, dan optimisme masa depan menjadi sebuah pertaruhan.
Maka superioritas mental dalam dakwah menjadi kunci yang harus dimiliki. Ini seperti yang dilakukan Ustadz Abdullah Said kala membangun gerakan dakwah melalui Pesantren Hidayatullah.
Beliau hadir untuk menampilkan Islam sebagai ajaran yang indah dan solutif terhadap masalah apapun. Dan, karena itu, superioritas mental menjadi hal pertama dan utama beliau teguhkan sebelum melakukan ekspansi dakwah.
Beliau yakin bahwa melalui wadah pesantren gerakan dakwah, menyeru dan mengajak serta menampilkan indahnya Islam dapat dilakukan. Memang tak bisa secepat sebuah lembaga pendidikan yang dalam satu dekade kelihatan gedung, jumlah murid serta besar pendapatan. Tetapi, harus kita akui, dari pesantren itu dakwah melenggang ke seluruh Tanah Air.
Dan, berbicara superioritas dakwah itu kembali pada syahadat dan kesungguhan diri merasakan manisnya iman dengan terjun langsung ke arena dakwah.
“Mencari pengalaman melalui keterlibatan langsunglah satu-satunya cara paling efektif untuk merasakan sendiri khalawatul iman (manisnya iman), kenikmatan beriman.” (Buku Kuliah Syahadat halaman: 144).
Jadi, kader Pemuda Hidayatullah harus turun dalam tugas-tugas dakwah, kuatkan sayap yang kata Adi Sasono belum sekuat sayap tarbiyah Hidayatullah selama ini. Tandang dan hadirkan betapa indah ajaran Islam, sehingga umat yakin dan percaya diri (superior) dengan ajaran Islam.
Jika hal ini dilakukan dari sekarang maka Insya Allah kelak tidak akan ada lagi orang Islam yang rajin ibadah, tapi masih ragu dengan kebenaran, keindahan, dan kedahsyatan dari memperoleh rezeki yang halal.
Hal ini nampak sederhana, tapi jangan salah, korupsi itu merajalela dan sulit diatasi, karena masih besarnya inferioritas umat terhadap ajaran yang diyakini sejak lahir.
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah