“PAK KABID, kapan ke Batam, saya kangen. Jangan janji-janji terus,” begitu Ustadz Jamaluddin Nur, yang selalu memanggil saya Pak Kabid, saat menelepon japri ataupun saat rapat daring.
Dan, saya selalu menjawab, ”In Syaa Allah, Daeng, sabar sedikitlah, saya pasti kesana pada saatnya”. Lalu kemudian saya larut dalam aktifitas rutin berikutnya. Saat saya datang ke Riau, beberapa bulan lalu, juga memaksa untuk mampir ke Batam dulu, namun belum jadi juga.
Beliau beberapa tahun belakangan ini, memang mengalami sakit komplikasi, akan tetapi seolah sakitnya tidak pernah beliau rasakan. Dan, sudah beberapa bulan beliau belum sanggup untuk pergi jauh, apalagi naik pesawat. Sehingga rapat koordinasi selalu kami lakukan melalui daring.
Kendatipun demikian hari-harinya terus diisi dengan amal shalih dan karya, dan senantiasa di-share baik melalui japri maupun dengan media sosial lainnya. Dan, karya-karya itulah yang menjadi legacy beliau, sebagai pemberat timbangan kebaikan kelak di yaumil hisab.
Sejak akhir Januari 2023, kami sudah merencanakan untuk koordinasi luring. Awalnya disepakati tanggal 3-5 Februari bertempat di Batam. Lalu karena ada jawal bentrok, diundur tanggal 9-11 Februari.
Saya selalu menekankan kepada team untuk meluangkan waktu itu. Bahkan, ada yang schedule-nya ke Turkiye, pada tanggal itu, bisa diundur. Demikian juga ada yang harus menghadap promotor untuk persetujuan desertasinya, yang biasanya susah, seakan dipermudah. Dan saya selalu strike untuk terus mengingatkan agar cepat-cepat beli tiket.
Kami mendapat informasi, bahwa hari Sabtu malam, 4 Februari, beliau masuk RS, karena ada infeksi di tangan dan pada saat yang sama gula darah naik. Sehingga kami semakin ingin untuk segera ke Batam. Selain untuk koordinasi, sekaligus menjenguk beliau.
Qodarullah, tanggal 9 Februari sore, kami berenam bisa datang hampir bersamaan, dengan naik pesawat dari dua maskapai yang berbeda, meski sama-sama delayed.
Awalnya mau langsung ke RSUD Embung Fatimah tempat beliau dirawat, akan tetapi karena sudah relatif malam, maka kami tunda untuk esok hari. Karena saat kami dijemput, diberi informasi bahwa kondisi beliau sudah normal dan stabil, sehingga tanggal 10 (esoknya) akan diopersi lengan yang infeksi.
Kami diskusi dulu di guest house pesantren hingga sekitar jam 23 malam. Tetapi saya tidak bisa langsung tidur karena harus merampungkan menulis naskah khutbah Jum’at, hingga terkirim jam 00.22 WIB.
Paginya, setelah shalat subuh, diminta memberi pengarahan dihadapan santri, dilanjutkan rapat koordinasi. Untuk saling merekatkan diri sesama kami di Bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi (PPO) DPP Hidayatullah. Hingga jam 7.30, lalu siap-siap ke RS Embung Fatimah, untuk membesuk beliau.
Sekitar jam 8.15 kami tiba di ruang rawat inap Teratai. Seperti biasa tidak ada nampak wajah murung. Ceria. Saat saya bisikkan, saya memenuhi permintaan Daeng tiba di Batam, secara spontan beliau menangis. Istri beliau bilang, bahwa gula darah dan tensi agak naik, padahal jam 09.00 jadwal operasi. Akan tetapi nanti akan observasi dulu.
Selanjutnya, seperti biasa, kita masih bersenda gurau, bercerita, dan bercengkerama tentang banyak hal. Mendekati jam 09.00 petugas datang dan memberitahu kepada kami bahwa akan ada pergantian shift. Dan jam 09.00 lewat Ustadz Jamal akan dibawa ke ruang observasi untuk persiapan operasi.
Lalu sebagai orang memiliki riwayat penyakit yang sama dan pernah operasi, saya juga banyak membisikkan berbagai hal, salah satunya adalah sabar terhadap proses.
Sebelum keluar, Babeh Dzikru memimpin do’a yang sangat menyentuh. Ustadz Jamal menangis, saya pegang kepalanya, dan meminta beliau jangan menangis. Akan tetapi, sayapun tidak kuasa menahan air mata, dan kemudian larut dalam tangis.
Saat mau keluar ruangan, saya sampaikan ke Bu Ummu, istri beliau, bahwa nanti istri saya akan menelepon untuk berbagi pengalaman saat merawat saya habis operasi.
Kemudian kami kembali ke pesantren dan melanjutkan rapat hingga menjelang shalat Jum’at. Selesai shalat Jum’at, baru saja menjama’ shalat ashar, kami dapat info, beliau kritis, sedang dalam bantuan pernafasan.
Maka, saya minta kawan-kawan segera gantri baju, kita akan ke rumah sakit. Waktunya sangat singkat. Saya baru selesai ganti baju, dan mau pake sepatu, tiba-tiba telepon berdering dari Ust. Khairul Amri, menginformasikan singkat bahwa Ust. Jamal telah dipanggil Allah. Saya setengah memekik Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, sambil menangis dan hampir pingsan.
Kemudian kami bergegas ke RS yang jaraknya kurang dari 10 menit dari pesantren. Kami dapati beliau sudah tidak bernyawa, terbaring di tempat tidur rumah sakit. Terlihat tersenyum di bibirnya, seolah ikhlas dan mengaminkan do’a kami bersama tadi, untuk mendapatkan yang terbaik dari Allah ta’ala.
Kami menginginkanmu sehat kembali seperti sedia kala, dan bisa bekerjasama kembali. Tetapi Allah ta’ala lebih mencintai antum, dan demikian juga antum nampak dan siap menghadap sang Khaliq.
Saya menjadi saksi dan haqqul yakin, bahwa saudaraku Jamaluddin Nur adalah orang baik, dan in Syaa Allah berhimpun dengan para shiddiqin, syuhada dan shalihin.
Selamat jalan saudaraku, jannatun naim telah menantimu. Semoga Allah mengampuni seluruh dosa antum, menerima seluruh amal antum, mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan sabar dan ikhlas menghadapi semua ujian ini.
Dan ternyata, inilah koordinasi dan penghormatan terakhir untuk Antum. Semoga kekompakan kita selama menjadi teamwork di dunia selama ini, akan tetap demikian adanya di kelak kemudian hari, sehingga Kita dipertemukan kembali di Surga-Nya.
*) Asih Subagyo, penulis adalah Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah