“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Hud: 120)
Dari puluhan surah yang turun dalam periode awal dan pertengahan dakwah Rasulullah di Makkah, hampir sebagian besarnya adalah kisah-kisah umat terdahulu, atau paling tidak memuat kisah tertentu di dalamnya, yang menjadi pelajaran bagi umat sekarang untuk berhati-hati ketika menjalani hidup dan berhadapan dengan pesan-pesan Allah. Ada surah Huud, Yunus, Yusuf, al-Qashash, asy-Syu’ara’, an-Najm, al-Buruj, asy-Syams, al-Qamar, Shaad, al-A’raf, dan lain-lain yang termasuk kategori ini. Bahkan surah Yusuf nyaris sepenuhnya menceritakan kisah Nabi Yusuf saja, dari awal sampai akhir.
Mengapa kisah menjadi sesuatu yang dominan dan sangat urgen dalam Al-Quran? Hikmah apa yang bisa kita petik dari kisah-kisah tersebut?
Al-Quran memang bukan kitab sejarah, sehingga tidak akan ditemukan perincian detil mengenai kronologi peristiwa dan seluk-beluk lain yang terkait, misalnya tempat, tahun, nama-nama dan bilangan. Kisah-kisah yang dituturkan selalu mengandung misi peringatan dan pelajaran, bukan hiburan dan omong kosong belaka.
Hal ini sangat berbeda dengan beragam kisah dalam buku-buku suci kaum Ahli Kitab yang acapkali berisi gambaran cabul, cerita fiktif, atau mitos-mitos kosong yang dibesar-besarkan. Kadangkala nilai moral yang dikandungnya nyaris nol, dan sebagian pendidik bahkan menyarankan agar materi kisah dalam buku-buku suci itu dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
Oleh karena misi pemberian peringatan dan pelajaran itu pulalah kisah kisah Qur’ani senantiasa dikemas dalam alur yang bersih dan suci. Tidak mungkin menemukan pornografi maupun keliaran yang minim kendali moral di dalamnya.
Bahkan, seringkali Al-Qur’an memilih menggunakan bahasa kiasan untuk menggantikan kosakata yang terkesan vulgar, misalnya dalam masalah hubungan suami-istri.
Kisah adalah sesuatu yang sangat akrab dalam kehidupan manusia. Tidak ada peradaban manusia yang tumbuh tanpa mengembangkan sebuah genre kisah dalam masyarakatnya, misalnya dalam bentuk legenda atau cerita rakyat.
Di dalam sebuah kisah bisa dirangkum berbagai hal: ideologi, doktrin, cita-cita, visi, bahkan penyesatan dan agenda-agenda licik. Biasanya, nilai-nilai dasar dari setiap komunitas dapat diamati dari cerita-cerita rakyat yang beredar di tengah tengah mereka. Untuk kasus ini, bangsa Jepang selalu menjadi contoh terdepan.
Namun, sebagai muslim, sebenarnya sangat memprihatinkan jika kita lebih mengagumi cerita-cerita r akyat bangsa Jepang ketimbang kisah-kisah Qur’ani. Sungguh, kebijaksanaan Allah terangkum sedemikian padat dalam kisah-kisah itu, yang mengandung kesucian, keagungan, keabadian, universalitas, dan petunjuk paling tepat.
Melupakan kisah-kisah Qur’ani adalah ciri kemunduran umat, sebab dengan sendirinya mereka tidak akrab lagi dengan nilai-nilai dasar agamanya. Kisah dan perjalanan hidup adalah sumber inspirasi dan teladan.
Ayat yang kita kutip pada bagian awal artikel ini menyebutnya secara lugas makna kisah-kisah Qur’ani bagi seorang muslim, dalam kalimat “ā¦yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
Kisah adalah peneguh hati. Para ahli tafsir menyatakan bahwa kisah-kisah Qur’ani pada dasarnya akan membantu seseorang menyadari posisi dirinya dalam sejarah.
Dengan membaca kisah-kisah itu seorang mukmin akan mengetahui bahwa ia tidak sendiri, dan kafilah kaum beriman yang di dalamnya ia bergabung saat ini bukan yang pertama dan asing. Ia adalah bagian dari matarantai tak terputus yang sambung-menyambung mengarungi sejarah kemanusiaan. Dan, satu hal penting lagi, mereka berada di pihak yang benar dan diridhai Allah. Inilah awal ketenangan dan keteguhan itu.
Kisah juga cenderung dipersepsi sebagai kebenaran. Sudah umum dimaklumi bahwa hampir setiap rezim gemar mengarang sejarah versi mereka sendiri, dengan membesar-besarkan bagian yang menguntungkan dirinya dan menyensor atau mengedit bagian yang dipandang merugikan kepentingannya.
Oleh karena itu Al-Qur’an menjamin nilai kebenaran dalam kisah-kisahnya. Mengikutinya dijamin tidak akan menyesatkan. Kurang apa lagi? Kisah adalah sumber inspirasi. Al-Qur’an menyebutnya sebagai pengajaran dan peringatan. Pengajaran akan mendorong kita untuk menjadi lebih baik, dan setiap peringatan akan menjadi rambu-rambu yang menyelamatkan kita dari kekeliruan, ketersesatan, kecelakaan.
Inilah jaminan Allah dalam kisah-kisah Qur’ani. Bagaimana realitasnya sekarang? Sayang sekali, banyak anak-anak muslim yang keranjingan dengan novel-novel sihir atau cinta yang melankolis. Atau, sebagian orangtua dan anak muda justru berkiblat pada kisah-kisah selebritis, biografi tokoh-tokoh, pernik-pernik bintang olahraga, atau cerita cerita fiktif (novel, komik, film) yang minim nilai dan hanya hiburan belaka.
Bahkan, sebagian diantaranya jelas-jelas mengkampanyekan nilai-nilai yang samasekali tidak pantas: pergaulan bebas, pembunuhan, hura-hura, kemusyrikan, sihir, khayalan yang tak jelas ujung pangkalnya, dan beragam kesia-siaan lain.
Jadi, berubahlah, dari sekarang! Jika Anda ingin menanamkan nilai-nilai dasar Islam dalam diri Anda dan keluarga, maka ā salah satunya ā mulailah dengan mengganti kisah-kisah yang Anda baca, dengar, tonton. Wallahu’alam.
Ust. M. Alimin Mukhtar