Definisi produktivitas (kerja) telah banyak dikemukakan para ahli atau pakar. Masing-masing pakar memberikan definisi berbeda. Produktivitas kerja menurut Cascio (dalam Almigo, 2004:53) adalah sebagai pengukuran output berupa barang atau jasa dalam hubungannya dengan input yang berupa karyawan, modal, materi atau bahan baku dan peralatan.
Pada hakikatnya produktivitas berkaitan erat dengan kegiatan produksi yang dapat dilaksanakan bila tersedia faktor-faktor produksi: berupa orang/tenaga kerja, uang/dana, dan bahan baku.
Para ahli ekonomi mendefinisikan produksi adalah “menghasilkan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber kekayaan lingkungan”. Atau secara konvensional, produksi adalah proses menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber daya yang ada.
Produksi dalam Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria objektif tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang. Sedangkan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah al-Qur`an dan as-Sunnah.
Jadi dalam Islam, keberhasilan sebuah sistem ekonomi tidak hanya disandarkan pada segala sesuatu yang bersifat materi. Tapi setiap aktivitas ekonomi termasuk produksi bisa menerapkan nilai-nilai, norma, etika, atau dengan kata lain akhlak yang baik dalam berproduksi. Sehingga tujuan kemaslahatan umum bisa tercapai dengan aktivitas produksi yang sempurna.
Produksi dalam pandangan ekonomi Islam harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai halal serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini, produksi merupakan refleksi yang mengacu pada surah al-Baqarah [2] ayat 219, yang menjelaskan tentang pertanyaan manfaat (memproduksi) minuman keras (khamr).
Ekonomi Islam memahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan as-Sunnah. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata, “Rasulullah telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): ‘Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atasnya.” (Riwayat Imam Bukhari). Pada masa Rasulullah SAW, orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkan aktivitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) terhadap aktivitas berproduksi mereka.
Ajaran Islam melihat bahwa proses produksi dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang bersifat materi (dunia) tapi juga bersifat ruhani (akhirat).
Mengapa penting melakukan produksi? Pertama, produksi menentukan kemakmuran suatu bangsa dan taraf hidup manusia. Al-Qur`an telah meletakkan landasan yang jelas tentang produksi yaitu diperintahkannya bekerja keras dalam mencari kehidupan. Kedua, Allah Ta’ala telah menganugerahkan alam semesta untuk kesejahteraan manusia. Ketiga, aktivitas kerja manusia dalam melakukan produksi sebagai dasar berjalannya roda perekonomian.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam masa dua tahun mampu memakmurkan masyarakatnya melalui upaya produksi. Semua faktor produksi menjadi produktif sehingga terjadi full employment. Inilah makna produktivitas yang dipesan oleh ajaran Islam. *