Oleh Ustadz Sholih Hasyim*
SEBAGAI seorang yang beriman, tentu merindukan seorang pemimpin yang beriman. Pemimpin adalah bagian yang tak dapat dipisah-pisahkan dari diri kita.
Karena, pemimpin yang akan mengarahkan, memandu, dan membimbing kita, pengaruhnya kita rasakan secara langsung dalam memberikan perubahan kehidupan keseharian kita. Sehingga, pemimpin tersebut tidak saja legal secara konstitusional, pula legitimate, dan dicintai rakyatnya.
Dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini (membenarkan) ayat-ayat Kami (QS. As Sajdah (32) : 24).
Dalam Al Quran, Allah SWT telah menjelaskan kepada kita karakteristik pemimpin yang ideal. Yaitu pemimpin yang adil, kasih sayang, dan mencintai kita. Pemimpin yang dapat diteladani keilmuannya, ketakwaannya, pengabdiannya (khidmahnya).
Pemimpin yang menomorsatukan kepentingan yang dipimpin, dan menomor duakan kepentingan diri, keluarga, dan golongannya. Karena, ia sudah menjadi milik umat. Bukan saja milik keluarga dan kabilahnya.
Ketika Allah menjelaskan proses pengangkatan nabi Yusuf as sebagai bendahara Mesir, Allah menjelaskan bagaimana Qithfir Al ‘Aziz memuji Yusuf.
Raja berkata:
Bawalah Yusuf kepadaku. Aku akan jadikan dia penasihat khusus untuk diriku. Maka tatkala raja itu berbicara kepada Yusuf, Raja berkata : Mulai hari ini engkau menjadi orang yang memiliki kedudukan lagi terpercaya di sisi kami. Yusuf berkata : Jadikanlah aku pengelola harta kekayaan negara. Sesungguhnya aku orang yang sangat pandai untuk mengelola, lagi sangat luas pengetahuanku (QS. Yusuf (12) : 54-55).
Merujuk ayat di atas, kita memahami empat kriteria yang sepatutnya melekat dalam struktur kepribadian seorang pemimpin. Dengan keempat karakter tersebut, Yusuf menjadi pemimpin yang ideal. Menggabungkan mutu komitmen dan kompetensi.
Demikian pula karakter pemimpin para malaikat (Jibril) yang Allah amanahi menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya, karakter Jibril yang dipuji oleh Allah dalam Al Quran.
Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril). Yang memiliki kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi disisi Allah, mempunyai ‘arsy yang ditaati disana di alam malaikat lagi amanah (dapat dipercaya). (QS. At Takwir (19) : 21).
Jibril memiliki karakter yang sempurna, sehingga Allah menunjuknya untuk mengemban tugas paling berat, mengantarkan wahyu kepada utusan Allah yang ada di muka bumi ini. Dan seperti itulah selayaknya pemimpin yang menjadi wakil bagi rakyatnya. Bukan DPR (Dewan Perwakilan Rupiah), tetapi DPR (Dewan Perwakilan Ruhiyah) bagi rakyatnya. Dia sosok yang terhormat, bukan manusia rendahan. Memiliki kemampuan dan profesionalitas. Dan amanah dalam mengemban tugas.
Tentu saja, untuk memiliki pemimpin dengan karakter yang sangat ideal bukan pekerjaan instan. Melahirkan pemimpin terkait dengan amaliyyatud tadayyun (proses keberagamaan) kita. Dan, proses interaksi dengan agama kita sebanding dengan ‘amaliyyatut ta’allum (proses pembelajaran) yang berlangsung secara berkesinambungan.
Jadi, untuk menyiapkan pemimpin yang merupakan foto copy diri kita, tergantung kesiapan kita untuk diproses, ditarbiyah, ditakwin, menuju insan yang shalih bagi setiap tempat dan masa sesuai dengan karakteristik dinul Islam itu sendiri.
Kelahiran seorang pemimpin terkait langsung dengan kualitas keberagamaan kita. Jika kita adalah sosok minal muttaqin, minal mukminin, minal mujahidin, minal muqarrabin, minash shalihin, minal muhsinin, maka seperti itulah pemimpin yang akan kita lahirkan.
Sebaliknya, jika kita tidak memiliki keterikatan yang kuat (komitmen) terhadap nilai-nilai manhaj (wahyu), kita jangan kaget jika Allah SWT mengirimkan pemimpin yang fasiq, diktator, di tengah-tengah komunitas kita.
Demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan (QS. Al An’am (6) : 129).
Kita meyakini, tidak ada kejadian yang kecil dan besar, diam dan gerak, muncul dan tenggelam, maju dan mundur, naik dan turun, termasuk pengangkatan seorang pemimpin, kecuali dalam pengaturan, izin, dan restu Allah SWT. Tidak semata-mata peristiwa alam (thabii, natural).
Katakanlah: Wahai Tuhan yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki di tangan Engkaulah segala kebaikan (QS. Ali Imran (3) : 26).
Surat Al Anam ayat 129 di atas kita bisa memperoleh pelajaran fundamental bahwa diantara hukuman Allah kepada orang yang zhalim (menganiaya diri sendiri) adalah Allah menunjuk orang zhalim lain yang menguasainya. Si zalim pertama akan mendapatkan kezhaliman dari sosok zalim kedua.
Ketika kita ikhlas, sabar dalam mentarbiyah, mentazkiyah diri, keluarga, masyarakat, dengan amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar, maka Allah akan mengirimkan pemimpin yang baik. Ketika masyarakat berbuat zalim, melakukan maksiat, menjauhi syariat, maka yang akan memimpin kita adalah orang yang menindas kita, sebagai hukuman atas perbuatan kita.
Selama ini, kita selalu menuntut agar pejabat, kalangan elitis (qiyadah), agar menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana. Kita sering mengangkat hadits: Jihad tertinggi adalah kalimat yang haq di sisi sulthan yang zalim (jair).
Tetapi, kita seringkali mengabaikan muhasabah, muraqabah, terhadap diri kita sendiri. Sudahkah kita menjadi sosok yang shalih, mukmin, mujahid? Jika kita belum menjadi alat peraga Al Quran yang berjalan di medan kehidupan, mengapa kita menuntut kelahiran pemimpin yang Qur’ani?.
Kita harus berpikir realistis, bahwa pemimpin yang hadir di tengah-tengah kita adalah lukisan dari kepribadian kita. Janganlah kita seperti kaum Khawarij yang selalu menuntut dan mengkritik Ali bin Abi Thalib. Mengapa pemerintahan kalian tidak seperti pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khathab ?.
Ali bin Abi Thalib menjawab:
Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar, yang menjadi rakyat adalah aku, dan orang-orang yang sepadan denganku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu (Syarh Riyadhush Shalihin, Ibnu Utsaimin).
Para ulama mengatakan :
اعمالكم اعمالكم كما تكونوا يولي عليكم
Amal perbuatan kalian sejenis dengan pemimpin kalian. Sebagaimana karakter kalian, seperti itulah model kepemimpinan yang akan mengendalikan kalian.
Ibnul Qayyim Al Jauziyah pernah menjelaskan pentingnya memperbaiki diri, jika kita berharap memiliki pemimpin yang baik.
وتأمل حكمته تعالى فى أن جعل ملوك العباد
وأمراءهم ووﻻتهم من جنس أعمالهم ظهرت
فى صوروﻻتهم وملوكهم فان استقاموا استقامت
ملوكهم وان عدلوا عدلت عليهم وان جاروا جارت ملوكهم
Renungkanlah hikmah Allah. Dia jadikan pemimpin bagi para hamba-Nya, sejenis dengan amal dan prilaku hamba-Nya. Bahkan seolah-olah amal mereka berwujud seperti pemimpin mereka. Mereka istiqomah dalam kebaikan, pemimpin mereka akan istiqomah.
Sebaliknya, ketika mereka menyimpang, maka pemimpin mereka pun menyimpang. Ketika mereka berbuat zalim, pemimpin mereka juga akan berbuat zalim (Miftah Darus Sa’adah hal. 253).
Ada seorang ulama mantan pemimpin para begal, Fudhail bin ‘Iyadh, beliau memberikan contoh kepada kita tentang pentingnya mendoakan kebaikan bagi pemimpin.
Kata Fudhail: Seandainya saya memiliki satu doa yang mustajabah, maka saya tidak akan menggunakannya kecuali untuk kebaikan pemimpin. []
____________
USTADZ SHOLIH HASYIM, penulis adalah anggota Dewan Syura Hidayatullah