Hidayatullah.or.id – Sekretaris Jenderal DPP Hidayatullah Candra Kurnianto mengatakan perkembangan massif teknologi telah mempengaruhi pola persebaran informasi yang diantaranya kerap tersebarnya berita palsu atau hoax. Karena itu pihaknya menyatakan perang terhadap hoax.
Namun, Candra menegaskan, peran serta warga masyarakat sebagai pengguna aktif seiring dengan bertumbuhnya tren media sosial merupakan penyeimbang informasi dan keterlibatannya dinilai sangat penting dalam rangka membangun budaya literasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Tidak selalu informasi yang berlawanan dengan ‘otoritas’ mainstream berarti bohong atau hoax. Idealnya di tengah siklus demokrasi, kebebasan berpendapat harus dihargai dan tidak ada monopoli terhadap suatu informasi benar atau tidak benar,” katanya di Jakarta, Jum’at (20/01/2017).
Namun, Candra mengingatkan, dalam menggunakan hak kebebasan mengemukakan pendapat, kita harus memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab.
“Kehadiran sejumlah media online Hidayatullah juga dalam rangka ikut andil untuk memberikan informasi yang benar,” kata Candra Kurnianto.
Candra mengakui, penyebaran informasi yang tidak bisa dipastikan kebenarannya memang semakin marak. Hal ini terkadang membuat bingung untuk membedakan mana yang benar dan menyesatkan.
“Dominasi media mainstream yang mendikte dan menggiring opini masyarakat juga salah satu bentuk hoax. Bangkitnya muslim cyber army juga salah satu bentuk perlawanan terhadap kebohongan dan hoax yang membangun opini menyudutkan, merendahkan dan menistakan Islam,” imbuhnya.
Karenanya, Candra mendorong kader dan umumnya kepada masyarakat untuk membiasakan diri memverifikasi setiap informasi yang diterima dan tidak menerima mentah-mentah semua informasi.
“Harus tabayyun. Mengkroscek kembali,” terangnya.
Tabayyun yakni melakukan pengujian dan penelitian kembali terhadap informasi yang ditelaah secara mendalam dan penuh kehati-hatian.
Masyarakat Kritis
Belakangan ini muncul beragam keberatan masyarakat terhadap adanya sikap yang dianggap berlebihan terhadap penggunaan media sosial. Masyarakat kritis menilai pemblokiran situs dan akun media sosial sebagai tindakan yang ceroboh dan tak demokratis.
Akademisi yang juga peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Rocky Gerung mengatakan hoax terbaik justru adalah versi penguasa. Sebab, menurut Rocky, mereka memiliki peralatan lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, dan lain-lain.
Rocky menilai, secara serampangan pemerintah memblokir sumber informasi tanpa ukuran yang jelas: apakah sebuah situs berisi info bohong, misinformasi, atau disinformasi?. Demarkasi yang diajukan cuma satu: sumber informasi yang “bukan mainstream” harus dicurigai sebagai hoax. Sikap inilah yang justru membahayakan demokrasi karena publik diarahkan untuk hanya percaya kepada “media mainstream”.
“Padahal, justru melalui media mainstream itulah kekuasaan menyelundupkan kepentingan hegemoninya. Media adalah bagian dari kurikulum legitimasi kekuasaan. Dalam negara demokratis sekalipun, dalil itu bekerja sempurna: kekuasaan selalu berkehendak absolut. Mengendalikan informasi adalah cara “dingin” untuk melemahkan oposisi,” tulis Rocky dalam opininya di Koran Tempo edisi 6 Januarai 2017.
Menurut Rocky, demokrasi memiliki mekanisme koreksi. Terlalu banyak kebenaran dipromosikan berarti ada kebohongan yang sedang disembunyikan. Dilihat dari perspektif itu, hoax adalah fabrikasi politik. Bukan untuk merusak demokrasi, tapi justru untuk menunda konglomerasi kebenaran.
Dia menambahkan, politik adalah konfrontasi etik demi menghasilkan suatu “peristiwa”. Hoax adalah konfrontasi terhadap monopoli kebenaran.
“Saya meninjau soal hoax ini dari perspektif dekonstruksi demi rekonsolidasi demokrasi yang kini merosot menjadi sekadar adu cacian dan olah dendam,” tukasnya kembali. (ybh/hio)