Hidayatullah.or.id – Kebakaran hutan seluas ratusan hektar terkadang hanya tersulut oleh bara api dari puntung rokok. Sebaliknya, menghijaunya berhektar-hektar kawasan gersang dapat disemai dari sebutir benih.
Begitulah, karunia maupun bencana, acapkali dipicu oleh sebab-sebab kecil. Sesuatu yang pada mulanya diremehkan, ternyata mendorong perubahan besar yang mempengaruhi kehidupan segenap makhluk di sekitarnya.
Dalam sejarah hidup para tokoh besar, kita mendapati episode-episode kecil semacam ini. Kejadiannya sangat sepele. Sedemikian sepelenya, sampai-sampai buku-buku biografi hanya menceritakannya sepintas lalu.
Tapi, jangan tanya bagaimana efeknya, sebab ia telah mengubah sejarah dan mempengaruhi perjalanannya hingga berabad-abad kemudian.
Misalnya, Ibnu Hajar menceritakan dalam muqaddimah Fathul Bariy bahwa Imam al-Bukhari berkata, “Kami berada di sisi Ishaq bin Rahawaih, lalu beliau berkata: ‘Andai engkau mengumpulkan satu kitab ringkas untuk (memuat) Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih.’ Maka, perkataan beliau mengena di hati saya, dan saya pun mulai menyusun kitab Al-Jami’ Ash-Shahih.” (Hadyu as-Sariy, hal. 7).
Di zaman itu, hadits-hadits Nabi memang masih bercampur dengan riwayat-riwayat dari Sahabat, Tabi’in, dll. Selain itu, belum disendirikan antara yang shahih dan dha’if, sehingga tidak setiap orang bisa memilahnya dengan mudah. Diperlukan keahlian tersendiri agar mampu membedakan mana hadits yang shahih, hasan, dha’if, matruk, maudhu’, dsb.
Demikianlah. Kisah yang melatarbelakangi kemunculan kitab Shahih al-Bukhari sangat sederhana. Tapi siapa sangka energi yang diletupkannya demikian luar biasa, sebab kitab itu disusun secara bertahap dan terus-menerus diperbaiki selama 16 tahun (Siyaru A’lamin Nubala’, XII/405).
Efeknya pun sangat mengesankan, sebab kita masih merujuk dan mengambil manfaat darinya, padahal penyusunnya telah wafat tahun 256 H (870 M) atau 1.145 tahun silam. Bahkan, karyanya dianggap sebagai kitab yang paling shahih sesudah Al-Qur’an, bersama karya Imam Muslim (Muqaddimah Ibnu ash-Shalah hal. 18).
Ada kisah lain, tentang al-Hafizh adz-Dzahabi (Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman, w. 748 H). Tatkala menceritakan salah satu guru di masa kecilnya, yaitu al-Hafizh al-Birzali (‘Alamuddin Abu Muhammad al-Qasim bin Muhammad), adz-Dzahabi berkata: “Beliaulah orang yang menggemarkan saya untuk menekuni hadits. Beliau pernah melihat tulisan tangan saya, lalu berkata: ‘Tulisan tanganmu mirip dengan tulisan para Ahli Hadits.’ Maka, hal itu sangat berkesan kepada saya. Saya mendengar (periwayatan) hadits dari beliau, dan menguasai beberapa bidang ilmu di bawah bimbingannya.” (Tsalatsu Tarajum Nafisah, hal. 40, dan ad-Durar al-Kaminah, IV/278-279).
Isyarat sederhana itu menjadi awal karir ilmiah al-Hafizh adz-Dzahabi yang sangat cemerlang. Sejarah kemudian mengenalnya sebagai salah satu tokoh terpenting dalam Ilmu Hadits. Jasanya dirasakan seluruh ulama’ di belakang beliau, sebagaimana dinyatakan Imam as-Suyuthi:
“Sesungguhnya para Ahli Hadits sekarang berhutang budi dalam masalah (biografi) para perawi hadits dan bidang-bidang Ilmu Hadits lainnya kepada empat orang, yaitu: al-Mizzi, adz-Dzahabi, al-‘Iraqi, dan Ibnu Hajar.” (Dzail Tadzkiratil Huffazh, hal. 348).
Tampaknya, dua kisah di atas tidak sendirian. Sampai era modern ini, banyak tokoh termasyhur yang menceritakan momen-momen kecil dalam hidupnya yang memicu aneka prestasi gemilang yang mereka torehkan di masa-masa selanjutnya.
Dan, banyak di antaranya yang dipengaruhi oleh satu dua pribadi hebat yang pernah mereka jumpai, entah seorang ayah, ibu, guru, teman, atau sosok-sosok lain yang dijumpai di sembarang tempat tanpa disengaja.
Dengan kata lain, seringkali “mesiu” (yakni, potensi) manusia terpendam tanpa disadari bahkan oleh pemiliknya sendiri. Namun, ketika seberkas api dipantik pada bagian yang tepat, tiba-tiba terjadi ledakan hebat.
Sosok yang semula sangat bersahaja pun bangkit mempersembahkan prestasi-prestasi mencengangkan, meski bisa juga sebaliknya (yakni: tersesat sejauh-jauhnya).
Oleh karenanya, para pelajar di masa silam dianjurkan mengembara meninggalkan keluarga dan tanah kelahirannya. Mereka menyinggahi berbagai negeri dan menjumpai para ulama’ yang hidup di zamannya, demi mengejar berkah-berkah seperti yang didapatkan Imam al-Bukhari dan al-Hafizh adz-Dzahabi.
Misalnya, Habib bin asy-Syahid (w. 145 H) berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dampingilah para fuqaha’ dan ulama’. Pelajari ilmu dari mereka dan contohlah adab mereka, sebab hal itu lebih aku sukai dibanding banyaknya hadits (yang engkau dengarkan).” (dari: Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, pada muqaddimah).
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya: “Dari siapa seseorang mencari ilmu? Menurut Anda, apa ia cukup menetap pada satu orang berilmu lalu mencatat darinya, atau menurut Anda ia harus melakukan perjalanan jauh ke tempat-tempat di mana ilmu berada lalu mendengarkannya dari mereka (yakni: para ulama’)?” Imam Ahmad menjawab, “Sebaiknya ia pergi dan mencatat dari para ulama’ Kufah dan Basrah, penduduk Madinah dan Makkah. Ia melihat orang banyak dan mendengar dari mereka.” (Ar-Rihlah fi Thalabil, Hadits, no. 11).
Maka, di bulan-bulan seperti sekarang, ketika para pelajar (dan juga walinya) mulai merancang hendak melanjutkan pendidikan kemana, ada baiknya memperhatikan aspek ini. Jangan hanya tergiur oleh imej fakultas keren atau sekolah favorit.
Perhatikan pula lingkungan dan suasana pendidikan yang ditawarkan. Sebab, kita tidak tahu pemicu seperti apa yang kelak ditemui anak-anak kita di sana.
Iya kalau bagus seperti yang ditemui Imam al-Bukhari dan al-Hafizh adz-Dzahabi; bagaimana kalau sebaliknya? Na’udzu billah. Wallahu a’lam.
ALIMIN MUKHTAR