INTI ilmu ekonomi pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat. Konsep kesejahteraan masyarakat dapat terlaksana jika pertumbuhan ekonomi mampu dipacu.
Menurut ilmu ekonomi konvensional, tingkat pertumbuhan yang signifikan bisa tercapai bila faktor produksi dimanfaatkan secara maksimal. Masyarakat akan sejahtera jika pendapatan per kapita naik dari tahun ke tahun.
Realitasnya, kehidupan masyarakat saat ini justru semakin mengkhawatirkan. Bank-bank di Amerika banyak yang gulung tikar. Begitu pula di belahan dunia lain, termasuk di Indonesia.
Apa yang menyebabkan ini semua terjadi? Berkaca pada kasus Bank Century, krisis keuangan muncul akibat moral hazard (sikap mental yang dapat menyebabkan terjadinya kerugian besar). Begitu juga krisis keuangan yang melanda dunia saat ini.
Salah satu sikap mental yang menyebabkan krisis ini adalah diagung-agungkannya sistem ekonomi konvensional yang berdasarkan pemikiran positif, bukan normatif. Pemikiran positif mensyaratkan agar setiap pelaku ekonomi dapat meningkatkan pendapatannya dengan menempuh segala cara. Dalam ajaran Islam, sistem ekonomi positif tidak mengenal haram atau halal.
Itulah sebabnya, mendirikan perusahaan yang memproduksi barang haram seperti minuman keras, narkoba, serta perusahaan jasa seperti pelacuran, tidak menjadi masalah dalam konsep ekonomi konvensional.
Tak heran, bila di benak para pelaku ekonomi konvensional tumbuh keinginan untuk menghalangi berlakunya ajaran Islam secara sempurna. Mereka menilai, ajaran Islam bisa menghalang-halangi cita-cita mereka.
Tiada seorang pun di dunia ini yang menampik bahwa kekayaan alam Indonesia berlimpah. Semua ahli ekonomi, baik di dalam maupun di luar negeri sepakat akan hal itu.
Bila kekayaan alam ini dikelola dengan tepat, niscaya Indonesia akan dapat mencapai pertumbuhan rata rata 20 persen per tahun, melampaui pertumbuhan negara lain di Asia, tanpa dililit pinjaman luar negeri.
Apalagi industri pengolahan sumber daya alam sangat menguntungkan karena capital output ratio (COR), atau perbandingan antara modal yang diperlukan dengan hasil yang diperoleh sangat kecil. Semakin kecil COR, semakin besar laba investasi.
Sayangnya, yang terjadi adalah kebalikannya. Laba besar hasil penggalian tambang (extractive) tidak untuk membangun rakyat. Justru yang diterima rakyat adalah efek dari kerusakan lingkungan akibat pemerkosaan sumber daya alam yang tidak kenal ampun.
Tak aneh bila alam yang diekspolitasi habis-habisan itu kemudian ”berteriak” dengan bahasanya. Mereka enggan menampung air hujan karena hutan sudah gundul. Banjir pun datang dan rakyat kembali sengsara.
Begitu pula longsor, gempa bumi, stunami, dan badai yang menggulung kota, semua akibat ulah manusia yang rakus, yang menganggap kesejahteraan hanya bisa diraih lewat materi.
Tak dapat dibayangkan betapa besar biaya pemulihan pasca tsunami di Aceh, Yogyakarta, Padang, Cianjur, Sukabumi, juga banjir di Sulawesi dan Sumatera Utara. Cita-cita pembangunan menuju tinggal landas telah gagal sebelum landasannya dibangun.
Belum lagi budaya korupsi yang seakan merata di semua daerah. Mulai level atas sampai level paling bawah. Mulai tingkat pusat, sampai ke kampung-kampung.
Jika ini terus dibiarkan, musibah tak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat, marilah kita bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki alam semesta ini. Wallahu a’lam.
_______________
Dr. H. Abdul Mannan, SE, MM, penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Hidayatullah. Artikel ini juga telah dimuat di majalah nasional Suara Hidayatullah edisi Maret 2010.