Hidayatullah.or.id – Seorang muslim harus memiliki kerangka berfikir (paradigma) dan tujuan (orientasi) hidup yang jelas dan lugas. Penting dan mendasarnya hal tersebut ditegaskan kembali oleh anggota Dewan Mudzakarah DPP Hidayatullah Ustadz Muhammad Naspi Arsyad, Lc, belum lama ini di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat 27 Rajab 1437 (05/05/2016).
Menjelaskan hal itu, Naspi menceritakan pengalamannya saat terbang menggunakan jasa meskapai LION AIR beberapa waktu sebelumnya. Di situ beliau menemukan tulisan di majalah LIONMAG edisi MEI sebuah uraian yang memberikan analogi sebuah kisah dua pemilik toko A dan B.
Pemilik toko A tidak memiliki obsesi yang muluk-muluk, yang penting bisa buka setiap hari, ada yang beli, yang penting ada keuntungan dan tidak sampai rugi. Tidak memikirkan untuk diperbesar atau diperbanyak.
Kemudian ada pemilik toko B. Sejak awal dia memiliki obsesi ingin membesarkan tokonya dan mendirikan cabang-cabang di tempat lain. Tidak ingin sekedar toko kecil atau sekedar buka setiap hari.
Pada awalnya, kedua toko itu sama-sama ramai dan banyak pembelinya. Obsesi keduanya yang berbeda sangat berpengaruh dalam mengelola keuntungan dan cara menjalankan roda penjualan di tokonya masing-masing. Manajemen keuangan pun berbeda.
Pemilik Toko B yang memang punya obsesi besar mengelola keuntungannya dibuat untuk membesar tokonya. Sehingga awalnya satu petak menjadi dua dan tiga petak. Variasi barang jualan juga semakin banyak dan lengkap, bisa memberikan harga lebih murah atau diskon.
Sehingga, lambat laun toko B semakin ramai dan akhirnya pelanggan toko A berpindah ke toko B yang lebih lengkap dan murah. Karena orang pada umumnya ingin one stop shopping (sekali belanja di satu tempat karena sudah terpenuhi semuanya).
Akhirnya, lama-kelamaan toko A tutup karena sepi pembeli. Ada pertanyaan, apakah bisa dikatakan bahwa itulah takdir atau nasibnya toko A?
Ustadz Naspi menjelaskan, ada sebuah hadist Syekh Hakimi. Para sahabat bertanya, Allah telah menetapkan diantara kita yang masuk surga dan masuk neraka. Kalau seperti itu, artinya sudah jelas ketetapannya siapa yang masuk surga dan neraka. Kenapa tidak menunggu mati saja, kalau masuk surga yang langsung ke surga dan yang ditetapkan masuk neraka ya masuk neraka?
Kemudian Rasulullah menjawab, semua orang nasibnya tergantung amal-amalnya, Allah tidak kejam atau tidak zalim kepada hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala adalah Maha Adil. Setiap kita diberi kesempatan untuk beramal, kita serahkan nasib kita ke surga atau neraka. Artinya harus memancing dengan amal.
“Sehingga jangan langsung mengatakan itu takdir. Tidak bisa kita mengatakan kepada pemilik toko A, ya sudahlah itu suratan takdir, itu garis tangan nasibmu, atau memang harus tutup,” imbuh anak muda yang juga Ketua Umum PP Syabab Hidayatullah ini.
Kehadiran Hidayatullah
Ustadz Naspi mengatakan, Hidayatullah ini lahir karena obsesi yang besar dari Allahuyarham Abdullah Said. Bahkan lebih besar dari kemampuannya saat itu.
Maka, lanjut beliau, kalau obsesi Almarhum Abdullah Said mendirikan pesantren itu biasa-biasa saja. Yang penting ada santri, ada asrama, ada kyainya, ada kegiatan membaca kitab. Maka bukan bermaksud mendahului takdir mungkin Hidayatullah tidak sebesar dan sepesat ini perkembangannya.
“Obsesi Allahuyarham Abdullah Said sangat besar dalam memperjuangan Islam melalui Hidayatullah ini. Padahal kemampuan dan kekuatan yang dimiliki saat itu masih terbatas bahkan modal nol besar, tapi sejak awal obsesi itu sudah besar sehingga menjadi motivasi bagi para santri awal,” katanya.
“Bagaimana Rasulullah membangun obsesi dan motivasi kepada para sahabatnya bahwa Islam nanti akan bisa mengalahkan Persia dan Romawi. Di saat yang sama, saat itu hidupnya para sahabat tidak jelas, makanan terbatas dan belum memiliki apa-apa”.
“Waktu ini hanya sejarah yang terus berulang. Ini semua sudah pernah dijalani Rasulullah, kita harus menapaki jalan sebagaimana Rasulullah menjalani. Ini konskwensi dari syahadat kedua, bahwa kita harus menyakini Muhammad adalah Utusan Allah yang harus kita teladani segala bentuk kehidupan dan perjuangan. Apa yang beliau lakukan, emban dan perjuangan adalah teladan bagi kita. Inilah konskwensi syahadat kita”.
“Generasi sekarang terkadang memiliki pola pandang kadang berangkat atau bertolak dari realita sekarang atau yang kita miliki sekarang sehingga hawanya pesimis melulu. Sementara Rasulullah, para sahabat atau Allahuyarham Abdullah Said tidak berangkat dari realita dulu tapi obsesi yang ideal dulu”
“Memiliki paradigma besar itu tidak mudah. Maka Umar bin Khattab berkata, didiklah anak-anak sesuai dengan zamannya, karena mereka akan menghadapi zaman yang berbeda dengan kalian”.
“Gerakan dakwah pada tahun 70-an dengan tahun 2000 sangat berbeda. Sekarang lewat WA, Twitter atau Youtube. Tidak menutup kemungkinan 10 tahun ke depan akan lebih canggih lagi”.
“Perkembangan teknologi ini adalah nikmat bagi orang beriman. Allah persembahkan bagi kita, perkembangan tehnologi itu masih dalam jangkauan ilmu Allah, meskipun 1000 kali atau satu juta lebih canggih dari ilmu sekarang maka tetap masih dalam jangkauan ilmu Allah. Kalau semua masih dalam jangkauan Allah maka itulah persembahan Allah. Sehingga perkembangan teknologi harus menjadi tunggangan bagi dakwah dan gerakan pendidikan kita”.
“Memiliki paradigma besar itu tidak mudah untuk membangun obsesi besar. Harus out the box atau keluar dari sudut pandang selama ini. Keluar dari rutinitas untuk memandang dari jauh atau luar. Satu sisi itu penting dan ada benarnya, karena orang yang banyak pengalaman maka semakin bijaksana,” tukasnya.*
_______
*) Artikel ini ditulis-publikasikan pertama kali oleh Ustadz Abdul Ghofar Hadi melalui WhatsApp. Tulisan telah dimodifikasi untuk mengikuti standar editorial Hidayatullah.or.id tanpa mengubah makna. Diedit oleh inisial editor YBH)