Ustadz Abdullah Said merasa bimbang setelah mendengar nasihat itu. Apakah akan meneruskan niatnya ke Kuwait atau kembali berbakti di Kalimantan dengan ilmu apa adanya yang sangat terasa kurang itu ? Kembali teringat tekad yang telah dipasangnya ketika masih di Pare-Pare untuk menghabiskan usianya dalam mengurus Islam. Ada rasa takut kalau habis waktunya memperdalam ilmu berakibat penyebaran Islam yang semestinya dia gencarkan menjadi terhenti. Sadar juga tentang kematian yang tidak diketahui kapan terjadinya. Walaupun belajar juga tidak terlepas dari bakti kepada Allah SWT.
Secara manusiawi tentu dia merasa malu kembali ke Kalimantan karena sudah pamitan kemana-mana. Banyak yang memberinya cendra mata sebelum berangkat. Seperti Bapak K.A. Ending dari Pertamina yang memberinya sepasang pulpen dan ada yang menyerahkan uang, dll. Namun akhirnya setelah dipertimbangkan dan dipertimbangkan lagi dia lebih cenderung mengikuti nasihat orang tua yang sampai pada akhir hayatnya tidak mengetahui siapa orangnya. Dia tertarik mengikuti nasihat orang tua itu karena memang apa yang dilakukannya di Kalimantan telah mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Apalagi untuk saat sekarang ini masyarakat belum terlalu membutuhkan muballigh yang mahir berbahasa Arab dan Bahasa Inggris. Yang penting keseriusan membina untuk meyelamatkan mereka dari lembah kesesatan.
Untuk sementara yang penting dapat mengupayakan kampus yang bagaimanapun kecil dan sederhananya untuk menjadi pusat pengkaderan muballigh. Orientasinya belum kepada mencetak santri-santri yang dapat menguasai Bahasa. Yang penting dapat mengenal dasar-dasar Islam dan berani tampil berda’wah. Menurut dia nantilah pada perkembangan selanjutnya kalau itu dapat dicapai, barulah memasuki panguasaan bahasa dan ilmu alat. Tapi kalau tokh dia dapat memperoleh tenaga pengajar yang memiliki kemampuan mengajarkan Bahasa terutama Bahasa Arab dan Bahasa Inggris tentu lebih disyukuri lagi. Diapun berupaya mencari tenaga-tenaga yang dimaksudkan.
Dari Jakarta dia menuju Jogjakarta mengunjungi rekannya, Usman Palese yang sedang belajar pada Akademi Tarjih Muhammadiyah sambil melirik tenaga yang dapat diajak ke Kalimantan. Ustadz Abdullah Said diberi kesempatan ceramah di Mesjid At-Taqwa, milik Muhammadiyah. Lewat ceramah yang penuh semangat menceritakan tentang pemimpin muda yang baru berusia 25 tahun dapat menggemparkan Lybia, Muammar Khaddafi. Ceramah itu diikuti oleh banyak dari anak-anak Akademi Tarjih. Banyak yang terkesan dengan ceramah itu.
Diantaranya A. Hasan Ibrahim sangat terpesona terutama Usman Palese. Setelah Ustadz Abdullah Said mengajak anak-anak muda ini berdiskusi, ujung-ujungnya ternyata diluar dugaan ada beberapa orang yang berminat ke Kalimantan. Motivasi yang disuntikkan Ustadz Abdullah Said bahwa, “Kita perlu menggurat sejarah, bukan sekedar membaca sejarah. Kita hendaknya jangan hanya kagum membaca sejarah apa yang telah dilakukan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam dibelakang beliau. Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat oleh sejarah. Untuk maksud ini di Kalimantan atau di Balikpapanlah tempatnya yang paling tepat . Disana belum ada pesantren. Masyarakatnya jauh tertinggal dari segi agama dibanding Jawa , Sumatera dan Sulawesi”.
Anak-anak dari Akademi Tarjih ini seperti Ahmad Hasan Ibrahim, yang berasal dari Pekalongan yang berlatar belakang pendidikan Pesantren Krapyak Jokjakarta yang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah sambil menunggu panggilan dari Timur Tengah. Muhammad Hasyim HS, asal Magelang yang berlatar pendidikan Pesantren Modern Gontor Ponorogo juga demikian, Muhammad Nazir Hasan, asal Sumatra Barat dari Akademi Tarjih Muhammadiyah, Jogjakarta, Usman Palese, asal Pinrang dari Pendidikan Muallimin Ulya Makassar, Pendidikan Persis Bangil, Kisman asal Sulawesi Selatan yang berlatar belakang Pendidikan Bahasa Inggris, juga tertarik berangkat ke Kalimantan, jelasnya berangkat ke Balikpapan untuk berjuang, bukan sekedar mengamalkan ilmu yang telah diperoleh.
Ustadz Abdullah Said meningalkan secarik kertas yang berisi beberapa kata yang sangat mengesankan anak muda untuk segera dengan penuh keseriusan mengupayakan keberangkatan tenaga-tenaga ini ke Balikpapan secara bertahap atas bantuan biaya H. Muhammad Rasyid.
Alangkah gembira perasaan murid-muridnya dengan kemunculan Ustadznya dengan tiba-tiba. Apalagi menyertakan tenaga-tenaga pengajar. Karena menurut perkiraan mereka Ustadz yang dicintainya itu tidak lagi berada di Indonesia tapi telah berada nun jauh disana di Timur Tengah. Dengan kehadiran kembali gurunya itu berarti mereka tidak perlu meneruskan niatnya untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan seperti yang dianjurkan Ustadz Abdullah Said sebelum berangkat. Hasan Suraji, salah seorang muridnya, telah memutuskan untuk belajar pada Pesantren Darul Istiqamah Maccopa, Maros Sulawesi Selatan, yang dipimpin Kyai Ustadz Ahmad Marzuki Hasan. Menurut rencana sudah segera akan berangkat. Demikian pula santri-santrinya yang lain akan segera masuk ke lembaga pendidikan sesuai pilihannya masing-masing.