Hidayatullah.or.id – Berbagai kajian Islam tumbuh subur di tengah masyarakat Muslim saat ini. Ada yang diselenggarakan oleh organisasi Islam, institusi pemerintah, kantor swasta, kelompok masyarakat, maupun perorangan.
Fenomena ini tak jarang menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat untuk memperoleh kajian yang sesuai dengan kebutuhan spiritual mereka. Bagaimana umat Islam seharusnya memaknai fenomena ini dan menyikapinya dengan tepat?
Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’thi mengatakan, tren kajian Islam semakin berkembang sejak tahun 1990-an. Masa ini menjadi titik awal kebangkitan Islam di kota-kota besar.
Menurut Mu’ti, ini merupakan efek kebijakan pemerintah saat itu yang membatasi kegiatan politik di kalangan kampus dan masyarakat. Pembatasan politik itu menyebabkan kegiatan keagamaan menjadi tersendat.
Kedua, perkembangan kajian Islam juga tak lepas dari kebangkitan kelompok santri, terutama dari kalangan menengah. Di kelompok ini, muncul kesadaran dan minat yang tinggi untuk memperdalam Islam dan memperkenalkan Islam secara lebih luas.
Faktor ketiga yang menyuburkan kajian-kajian Islam di masyarakat yaitu munculnya jaringan baru dalam kajian keagamaan. Kelompok dan jaringan ini merupakan bagian dari kelompok tertentu dari luar negeri.
Dipandang dari materinya, kajian Islam yang berkembang umumnya dapat dikategorikan dalam empat kelompok kajian. Keempat kelompok tersebut antara lain kajian yang berkaitan dengan ibadah, kajian untuk memperdalam Alquran dan assunnah misalnya kajian-kajian tafsir, kajian politik Islam, dan kajian umum kontemporer.
Senada dengan Mu’ti, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Agil Siradj mengakui terjadinya perkembangan jumlah kajian Islam di Indonesia. Namun, dilihat dari perbandingan jumlah penduduk dan kegiatan keislaman yang ada, ia menilai ini belum memadai.
“Masalahnya bukan banyaknya, tapi efektif tidak? Untuk syiar ini bagus, tapi diharapkan pengajian itu berbuah,” ujar Kiai Said saat dihubungi Republika, Rabu (24/2).
Menurut Kiai Said, kajian-kajian Islam bukan hanya ritual dan formalitas. Kajian itu hendaknya mengarahkan umat Islam untuk membentuk pribadi Muslim yang memiliki pengetahuan yang utuh tentang Islam. Lebih jauh lagi, kajian yang ada hendaknya mampu mendorong mereka untuk melakukan perubahan diri.
Pendapat ini didukung oleh Ketua Bidang Dakwah Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah Ustaz Tasyrif Amin. Ia mengatakan, maraknya perkembangan kajian Islam belum diimbangi dengan sistematika kajian yang baik, sehingga cenderung bersifat responsif.
“Kalau kita mau meniru Nabi, seharusnya kita terapkan sistem itu. Bagaimana membangun akidahnya, akhlaknya, kemudian membangun masyarakat yang Islami. Karena Islam bukan karena ajaran. Bukan hanya konsep,” ujar dia.
Ia mencontohkan, pada masa Rasulullah hijrah ke Madinah, Islam mendapatkan simpati bukan karena ajaran dan konsep-konsepnya saja. Lebih jauh lagi, ajaran itu tertuang dalam perilaku masyarakat Muslim dan memikat masyarakat Madinah ketika itu.
Ustaz Tasrif mengatakan, kegiatan kajian dan pendidikan Islam perlu dibangun dengan sistem yang kuat. Diperlukan rekonsiliasi dari berbagai kelompok yang ada untuk memulai gerakan dakwah Islam dengan standar keilmuan tertentu.
“Bagaimana berakidah dengan baik, bersyariah, bermoral, sampai menjadi akhlak yang Islami, pada akhirnya nanti ini disebut sebagai peradaban,” ujar dia.
Rekonsiliasi juga penting untuk membendung persaingan antar kelompok yang sering muncul dalam dunia dakwah Islam. Ia memandang perbedaan metodologi dalam berdakwah merupakan hal yang wajar, sebab ada keinginan untuk berlomba dalam kebaikan di setiap kelompok Islam (fastabiqul khaiat).
Sistem yang baik dan kokoh akan mendorong terbentuknya masyarakat Muslim yang kuat. Hal ini juga diamini oleh Mu’ti. Ia menilai, perlu ada kesepakatan di kalangan ormas Islam, termasuk takmir masjid, untuk membahas bagaimana membangun kehidupan keagamaan yang rukun.
Bagi Kiai Said, hal yang perlu diperhatikan dalam persaingan antar kelompok ialah adanya pemahaman terhadap perbedaan itu sendiri. Perbedaan yang ada hendaknya tak menimbulkan sikap saling menjelekkan, merasa paling benar, dan sejenisnya.
“Perlu ada komunitas antarmasjid, kantor, atau tempat pengajian di setiap daerah. (Mereka) perlu melakukan rembugan untuk menyiapkan kajian yang bisa memberikan pengetahuan Islam secara utuh dan mendorong umat Islam agar tambah rajin mengamalkan Islam,” ujar dia.
Adanya kajian-kajian intensif menjadi kebutuhan tersendiri untuk membangun pengetahuan keislaman yang utuh dan berbuah pada pengamalan. Kiai Said menilai, kajian intensif yang ada saat ini masih belum maksimal. Kajian-kajian yang ada umumnya bersifat umum dengan mengangkat tema-tema yang umum pula. Ia berpendapat, perlu ada kajian-kajian yang fokus pada tema-tema tertentu, misalnya fikih, akidah, dan sebagainya.
Kaderisasi dai dan ulama juga menjadi kunci pengembangan kajian Islam yang intensif. Sayangnya, kata Kiai Said, proses kaderisasi yang dilakukan ormas-ormas Islam saat ini baru mencakup cara-cara dan metode dakwah saja.
“Programnya bagus, tapi baru sebagai metode untuk membekali orang menjadi mubaligh. Lebih banyak praktik, sementara pembekalan tentang materi keislaman yang utuh tidak diajarkan karena butuh wktu lama,” ujar dia.
Problem yang sama juga menjadi perhatian Mu’ti. Ia melihat adanya fenomena yang sumbang dalam pengkaderan mubaligh di Indonesia. Para dai seringkali tidak dipilih berdasarkan kemampuan dan latar belakang keilmuan, namun hanya sebatas kemampuan berorasi dan melebarkan jaringan.
“Kelompok ini yang menurut saya gagal menyampaikan gagasan Islam yang luas kepada audiens dengan sebaik-baiknya,” ujar dia.
Untuk dapat memperoleh pandangan yang utuh melalui kajian-kajian yang diikuti, Mu’ti mengatakan, masyarakat perlu melakukan pengkajian lebih mendalam. Perlu ada upaya untuk membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain.
Selanjutnya, ketika menemukan hal-hal yang dirasa kurang jelas atau menimbulkan pertanyaan, umat Islam disarankan untuk bertanya kepada guru yang mempunyai kualifikasi ilmu dalam bidang yang sesuai. (HU Republika, Jumat, 26 Februari 2016)