JAKARTA (Hidayatullah.or.id) – Islam sebagai rahmah, jalan, dan pedoman perlu terus menerus ditransformasikan sebagai nilai yang diharapkan senantiasa membimbing dan mewarnai kehidupan umat manusia.
Karenannya, wawasan dan inspirasi Islam ini tidak hanya penting dinarasikan secara teologis simbolik, tetapi juga amat strategis disajikan secara universal rasional agar semakin banyak yang menangkap pesan pesan esensial di dalamnya sebagai risalah luhur yang membumi.
“Karena itu, penting sekali menguatkan gerakan dakwah transformatif ini dengan pendekatan logika umum sehingga ide ide besar tentang peradaban Islam bisa sampai dan dapat diterima secara lebih luas,” kata Ketua Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Ust. H. Hamzah Akbar.
Hal itu disampaikan Hamzah Akbar di Balikpapan saat menjadi narasumber pada acara Diskusi Daring Kamisan DPW Hidayatullah DKI Jakarta edisi ke-39 bertajuk “Silatnas, Apa Keuntungan Bagi Progresivitas Kader Kedepan” dalam rangka menyambut Silatnas Hidayatullah (Silatnas) 2023, Kamis, 26 Rabi’ul Awal 1445 (12/10/2023).
Menurut Hamzah, Islam adalah masa depan yang pada gilirannya menjadi apa yang telah digariskan Tuhan sebagai rahmat bagi kehidupan, merawat semesta, dan memandu manusia sebagai khalifah yang diamanatkan untuk memakmurkan alam ini.
Karenanya, memasuki usia 50 tahun kedua kini, terang Hamzah, Hidayatullah harus mengambil peran lebih kuat dalam kancah yang tentu tak lebih ringan dari 50 tahun pertama sebelumnya.
“Kalau kita mengambil jalan pikiran 50 tahun pertama, maka relevansinya untuk 50 tahun kedua Hidayatullah ini adalah adanya tantangan yang semakin tidak ringan dan membutuhkan energi yang lebih besar lagi. Pesan ini yang harus ditangkap,” kata Hamzah.
Oleh sebab itu, Hamzah mengatakan, Silatnas sebagai media kultural hendaknya tidak saja menjadi momen kebersamaan membangun memori kolektif sebagai warga Hidayatullah, tetap juga momentum reuni untuk menyadap energi Ilahi.
Menurutunya, sebagai wadah perjuangan, selalu diperlukan adanya media untuk terus menajamkan visi serta memantapkan langkah sehingga formulasinya selalu relevan dengan perkembangan zaman.
“Secara institusi memang harus ada media agar pikiran besar dapat ditransformasikan dan selalu menemukan titik relevansinya, karena itulah ada Silatnas ini. Saat momen seperti itu ada mobilitas pikiran pikiran besar dan progres aktifitas kader dilaporkan dalam dua arah, dari generasi 50 tahun pertama dan generasi 50 tahun berikutnya,” imbuhnya.
Hamzah menguraikan, apa yang menjadi pengalaman 50 tahun pertama Hidayatullah harus menguatkan dan memantapkan optimisme para kader. “Adik adik sekarang harus ikut menyelami untuk perjalanan 50 tahun kedua, sehingga dua kutub ini saling bertalian,” imbuhnya.
Membuka Jalan Pikiran
Lebih jauh diuraikan Hamzah, Hidayatullah sejak awal perlangkahannya telah memiliki tradisi pertemuan dalam rangka mengisi ulang (re-charge) semangat para kader yang bertugas di berbagai daerah. Dulu, pertemuan biasanya dibagi dalam bentuk Koordinasi Wilayah (Korwil) seperti Korwil Jawa, Korwil Sumatera, Korwil Sulawesi Papua, dan Kalimantan.
“Dulu ada 1 Muharram, ini setiap tahun digelar, untuk Ustadz Abdullah Said menyampaikan pikiran besar dan menggambarkan keadaan futuristik,” kata salah satu jebolan Kuliah Muballigh Muballighat (KMM) ini di awal aktifitas Hidayatullah di Balikpapan.
Hamzah mengaku bersyukur sebab Hidayatullah pada 50 tahun pertama berhasil menguatkan falsafah gerakannya yang hari ini disebut Jatidiri Hidayatullah. Lantas, pada momentum Silatnas nanti posisi strategisnya ada pada proses memberi pencerahan yang membuka jalan pikiran.
Ditengah masih banyaknya kekurangan dan keterbatasan yang ada, Hamzah merasa bersyukur sebab produksi kader terus bergeliat yang secara kuantitas menurutnya sebenarnya cukup tinggi. Walaupun pencapapain itu dianggap masih belum memadai karena sepenarian dengan tingginya permintaan.
Berikutnya, Hamzah menilai salah satu tantangan kedepan adalah soliditas. Selain soliditas antar sesama elemen umat, Hamzah memandang soliditas jamaah ini yang menjadi sangat penting.
“Institusi harus memandu dan mendistribusikan kepemimpinan yang kuat. Ruh ini yang ingin kita kuatkan. Sistem kepemimpinan dan jamaah yang solid akan mengantar semua elemen organisasi menjadi penguat dalam berbagai agenda kita,” katanya.
Hamzah mengatakan , sepanjang kita memahami dan menginternalisasi jatidiri, maka perlangkahan ini semakin indah dan menarik. “Kita harus membangun perspektif positif dalam proses membangun kekuatan jamaah kita di Hidayatullah,” imbuhnya.
Ditegaskan Hamzah, selama masih ada media sebagai kultur esensial untuk menguatkan seperti Silatnas, maka apapun yang berkembang secara modern baik itu politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya, kita akan tetap pada jaminan kader dan fokus gerakan.
“Demikian pula gerakan yang bersifat relasional, ini sangat strategis. Semua harus menjadi penguat pada sistem kita,” tandas Hamzah seraya menekankan bahwa Silatnas juga diharapkan menjadi medium untuk memuluskan proses transisi dialektika gerakan dan pikiran pikiran Hidayatullah pada generasi berikutnya. (ybh/hidayatullah.or.id)