SENIN, 5 Juni 2017 pekan lalu, bertepatan dengan 10 Ramadhan 1438H, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Nomor 24 tahun 2017 tentang Panduan Muamalat di Media Sosial.
Sebuah fatwa yang menempatkan MUI sebagai sebuah lembaga yang mengikuti dinamika kekinian, berkenaan perkembangan teknologi berikut pemanfaatannya. MUI hadir di saat umat membutuhkan panduan yang benar, jelas dan terang benderang.
Jika kita baca dengan seksama fatwa itu, muatannya cukup lengkap. Sehingga jika kemudian fikih diartikan sebagai salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Maka, menurut saya, fatwa tersebut layak untuk disebut sebagai Fiqh Media Sosial. Karena matan-nya memuat tentang aturan ber-media sosial itu.
Meskipun ada beberapa pihak yang bilang, bahwa fatwa ini datangnya terlambat, terlalu mengatur privasi umat, dan lain sebagainya, namun apapun alasannya, kita harus mengapresiasi kerja keras dari Komisi Fatwa MUI ini, sehingga umat memiliki panduan yang komprehensif.
Sebab, belakangan ini penggunaan media sosial sudah pada taraf memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Bahkan seakan membelah persatuan umat, dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga sampai-sampai Presiden Jokowi menghimbau agar para pengguna medsos menjaga etika dalam memanfaatkan media sosial ini.
Meskipun sesungguhnya secara hukum sudah diatur dalam UU No 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dibeberapa pasal, mengancam penyalahgunaan teknologi informasi ini (termasuk medsos) dengan sanksi yang berat. Demikian juga halnya dalam fiqh dan adab muslim, yang termuat di banyak kitab, sesungguhnya juga sudah di atur berbagai hal yang menjadi bahasan dalam panduan termasuk apa yang di atur dalam UU ITE itu.
Namun pada kenyataannya, pelanggaran masih terus dilakukan, meski sudah banyak yang dihukum, terkait dengan penyalahgunaan medsos ini.
Media Sosial
Sebagaimana kita ketahui, dalam sudut pandang perkembangan teknologi, media sosial (medsos) merupakan salah satu buah dari revolusi teknologi. Sehingga medsos dapat diartikan sebagai sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual lainnya.
Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Dan variaan aplikasi yang dinisbatkan pada media sosial ini, setiap saat diluncurkan.
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content” (www.wikipedia.com).
Dari sini kata kuncinya adalah pada ideologi dan teknologi Web 2.0. Dari sisi ideologi, maka disadari atau tidak, kehadiran media sosial telah menjadi wahana untuk pertarungan ideologi.
Meskipun, pada aspek pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya juga bisa asuk di dalamnya. Namun kenyataannya, hampir semuanya itu didorong oleh ideologi yang melekat pada user. Sehingga setiap akun, sebenarnya bisa di mapping-kan, ideologi apa yang mempengaruhinya.
Dari aspek teknologi, salah satu kelebihan dari media sosial atau Web 2.0 ini adalah kemampuan multi-interaksi dari banyak pengguna. Tidak hanya informasi satu arah, namun dua arah dan bahkan dari banyak arah.
Olehnya dengan kemampuannya ini, menjadikan penetrasi medsos mengalami perkembangan yang sangat cepat. Dan menembus berbagai kalangan, latar belakang, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lain sebagainya.
Media sosial menjadi bagian yang hampir tidak bisa dipisahkan dari sebagian besar kehidupan umat manusia saat ini. Harga perangkat, yang semakin murah, justru menjadi salah satu penyebab penetrasi berkembangnya media sosial ini, menyentuh sampai di genggaman tangan, masyarakat di pedalaman sekalipun.
Sehingga, hampir tidak ada isu yang terjadi di Jakarta, pada saat yang sama, yang tidak menjadi isu masyarakat dunia. Pengguna medos, kemudian mendapatkan tsunami informasi yang jauh lebih besar dari informasi yang dibutuhkan.
Hal ini menjadikan mereka kebingungan, bahkan tidak sedikit yang salah arah, untuk memillah sekaligus memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Belum lagi jika ada ditorsi informasi. Atau bahkan adanya hoax yang menyertai berita atau informasi itu. Sehingga, pasti menyebabkan salahnya dalam mengambil kesimpulan. Yang berakibat pada, salahnya dalam menentukan sikap dan perbuatan. Dan ini, terus menerus menjadi sebuah siklus. Semacam lingkaran setan, yang tiada ujung.
Olehnya, kehadiran medsos telah menjadikan ketergantungan bagi sebagian besar penggunanya itu, secara perlahan telah berubah menjadi mesin penyebar sampah. Penebar fitnah. Mendistorsi informasi. Yang pada gilirannya, -menjadi mesin yang jahat dan raksasa- dalam memecah-belah umat dan kehidupan bernegara.
Dengan sifatnya yang cepat dan masif itu, maka kerusakan sebagaimana disebutkan di atas, sangat mungkin terjadi. Bahkan atas alasan tersebut, melalui Menkominfo, Pemerintah serius berencana menutup media sosial secara umum, medsos masih banyak memuat konten-konten negatif (www.republika.co.id 6/62017).
Sebuah ancaman serius, meskipun di medsos akhirnya jua banyak tanggapan yang berlawanan dengan pendapat pemerintah itu.
Konten
Sebagaimana sifat dasar teknologi, pada dasarnya mereka dihadirkan untuk mempermudah, mempercepat dan mempermurah sampainya informasi kepada pengguna.
Dan teknologi, pada awalnya selalu netral. Maka di tangan penggunanyalah, sebenarnya teknologi itu akan digunakan untuk apa. Manfaat dan mudharatnya, positif dan negatif sebuah teknologi digunakan.
Meskipun dalam dunia maya sudah dikenal dengan adanya netiket, yang sebenarnya mengatur bagaimana pengguna internet (medsos) itu. Namun, karena tidak mengikat, selalu saja terjadi pelanggaran, yang selalu berulang.
Netralitas sebuah teknologi, yang seharusnya justru dimanfaatkan untuk kebaikan, bukan untuk menebar fitnah, kebencian, hoax dan sejenisnya yang berujung pada petaka. Sehingga konten menjadi kuncinya.
Dan konten, tentu saja dipengaruhi oleh pemilik akun di medsos. Pada beberapa jenis medsos, dengan keterbatasan ruang untuk mengekspresikan, seringkali tidak cukup untuk memuat pendapat, ide, gagasan yang menjadi konten akun-nya. Sehingga tidak jarang, kesalahpahaman muncul disini.
Namun yang perlu saya tekankan, kemampuan membuat konten ini, sebenarnya akan menunjukkan sejauhmana tingkat kedewasaan pemilik akun. Demikian juga ketika menyebarkan konten-konten yang ada.
Panduan yang menyejukkan
Maka, rasa syukur dan ucapan terima kasih bagi Komisi Fatwa yang dengan serius menghadirkan Fatwa No 24 tahun 2017 ini. Inilah panduan, yang memberikan guidelines, yang seharusnya mengikat seluruh kaum muslimin Indonesia.
Dalam sistem hukum tata negara Indonesia, memang posisi Fatwa MUI adalah sebagai hukum aspiratif yang mempunyai kekuatan moral bagi kelompok yang mempunyai aspirasi untuk melaksanakannya, tetapi tidak dapat dijadikan alat paksa bagi kelompok lain yang berbeda pendapat atasnya, karena Fatwa MUI bukan hukum positif negara. (Deny Indrayana, Kompas.com, 22/12/2016).
Kendatipun demikian, sebagai muslim sebaiknya kita mengikatkan diri dalam fatwa MUI yang memang terbukti memberikan panduan yang mengikat secara syar’i ini.
Sebagaimana kita ketahui, banyak tugas dan fungsi MUI itu. Namun dua diantaranya yang terkait dengan keluarnya fatwa ini adalah:
Pertama; memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah.
Kedua; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat. Meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya hubungan keislaman dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga dalam ini MUI telah berada pada on the right track.
Olehya, kita baca dan pelajari dengan baik Fatwa ini. Selanjutnya, kita secara individu dan mengajak orang lain untuk mengawal fatwa ini. Sekaligus menjadi pelaku dan ikut menyebarkan serta menjadi contoh dalam aplikasinya.
Kita kampanye kepada semua pengguna medsos untuk memenuhi dan membanjiri medsos dengan konten-konten positif, yang selalu mengajak kebaikan, optimisme dan kalimat positif lainnya.
Kita hindari konten-konten negatif, fitnah, hoax dan sejenisnya yang akan mengakibatkan perpecahan. Semoga kita menjadi pioneer bagi terimplentasikannya fatwa ini.
Dan kita berharap dan berdoa, semoga MUI terus menghasilkan fatwa-fatwa sebagai panduan bagi ummat, dalam menghadapi kehidupan yang semakin kompetitif ini. Wallahu a’lam
_______
Asih Subagyo, penulis adalah pengurus DPP Hidayatullah, Sekjen Moslem Information Technology Association (MIFTA). Artikel ini telah dipublikasikan di laman resmi Mifta.