DIRI KITA memang harus ditarbiyah secara terprogram dan berkesinambungan. Selain syariat Islam, tidak ada yang memperbaiki jiwa seseorang (ishlahun nafs). Karena, dua sifat kontradiktif di dalam diri kita terus berbenturan, tanpa henti. Untuk mengarahkan, memandu diri ini agar memiliki kecondongan kepada takwa dan memilih mewaspadai sifat fujur, itu tidak mudah dan tidak sederhana. Memerlukan kerja keras, kerja ikhlas dan kerja cerdas.
Ramadhan mendidik kita untuk berubah. Tentu, tidak sekedar berubah. Diri kita ditata ulang (rekonstruksi) supaya berubah menjadi lebih baik (berkualitas) secara hissiyan (lahir) dan maknawiyyan (batin). Dengan puasa Ramadhan mudah-mudahan pasca puasa nanti, kita menjadi manusia yang lebih baik.
Manusia yang memiliki perlindungan (perisai) dari sesuatu yang dimurkai oleh Allah di dunia dan di perkampungan akhirat. Merujuk asal kata taqwa, waqaa, yaqii, wiqayatan, ittaqa. Apa saja yang perlu kita lindungi. Melindungi diri, akal, keturunan, harta, agama. Melindungi lima kebutuhan primer (fhaturiyyatul khams). Ini perlu pembahasan khusus.
Al-Qur’an mengatakan bahwa tujuan diwajibkannya berpuasa di bulan Ramadan adalah la’allakum tattaqun . La’alla memiliki arti littarajji (harapan). Berbeda dengan layta bermakna littamanni, mengandung arti angan-angan yang mustahil dapat diwujudkan. Jadi, la’allakum tattaqun (agar kalian orang-orang beriman itu, berharap besar menjadi insan yang bertakwa).
Harapan inilah yang dititipkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada umat islam, meminjam istilah Bapak Sosiolog Muslim, Ibnu Khaldun. Dengan spirit harapan itulah, kita bisa menikmati dan memsknai penderitaan, mengurai kesulitan, menghalau kendala, bersahabat dengan tantangan, dan menunda mata’ menuju nikmat. Menunda kenikmatan sesaat menuju kenaikmatan yang bersifat permanen.
Jika takwa adalah barometer kemuliaan (miqyasud darajah) seseorang di sisi Allah, meningkatnya ketakwaan setelah Ramadhan berarti meningkatnya kemuliaan seseorang dalam pandangan Allah. Orang yang mulia dan memuliakan orang lain. Sosok yang langka di era kontemporer ini..
Siapakah orang yang mulia (karim) itu ?. Pujangga Arab berkata :
كَرِيمٌ متى امْدحْه امدحْه والوَرى # معي واذا مالمتُه لمتُه وَحْدِي
Orang yang mulia adalah ketika aku memujinya, diikuti oleh banyak orang. Ketika aku mencelanya, aku mencerca seorang diri.
Jika takwa adalah tolok ukur derajat kemuliaan dan kewalian seseorang di sisi Allah maka penjagaan dan meningkatnya ketakwaan pasca berpuasa Ramadhan berarti peningkatan level kewalian seseorang disisi Allah.
Wali Allah, akan mendapat pembelaan-Nya ketika sedang disakiti oleh tangan-tangan yang jahil dan tidak bertanggung jawab.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيَّاً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ. وَمَا تَقَرَّبَ إِلِيَّ عَبْدِيْ بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلِيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. ولايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا. وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ لأُعطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ) رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya. Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku pasti Aku memberinya dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Al Bukhari).
Yang dididik dalam puasa adalah hawa nafsu kita. Efeknya, kita menjadi orang yang kuat.
ليس الشديد بالصرعة انما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب
Bukanlah orang yang kuat itu yang pandai bergulat (pisik), orang yang kuat itu hanyalah orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya ketika sedang marah (al Hadits).
Ketika kita terkontrol, kita bisa lebih baik dalam mengendalikan nafsu makan, minum, dan syahwat. Bukan hanya mengendalikan dari makan, minum, dan syahwat yang haram, melainkan juga mengendalikan semua itu, walaupun halal, selama belum tiba waktu berbuka (wara’).
Inilah kisah teladan sosok pemimpin yang wara’.
Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khattab melakukan inspeksi pasukan yang bertugas di Sham, sampai di perkemahan pasukan muslimin, Amirul Mukminin menginap di tenda Komandan Pasukan, saat itu dipimpin oleh Sahabat Agung, Abu Ubaidah bin Jarrah.
Ketika waktu makan tiba, Sidna Abu Ubaidah berkata, ” Amirul Mukminin mau makan makanan prajurit apa makanan para komandan?”
“Coba bawa dua-duanya.” Kata Sidna Umar.
Tidak lama kemudian, datanglah seorang prajurit membawa makanan yang dimakan oleh para prajurit. “Daging dan sup”.
“Mana makanan para komandan?”, kata Sidna Umar.
Tidak lama kemudian, datanglah seorang prajurit membawa makanan yang dimakan oleh para komandan. “Roti kering dan sedikit susu”.
Melihat itu, Amirul Mukminin tak sanggup menahan air matanya, dan memeluk Abu Ubaidah, “Tidak keliru Rasulullah ketika menamakanmu Aminul Ummah (penjaga umat)”.
Ketika kembali ke Madinah, dalam munajatnya, Amirul Mukminin mengatakan….”Dunia telah mengubah kita semua, kecuali kamu wahai Abu Ubaidah…”Rahimahumullah. Jadi seorang muslim yang akhlaqnya mulia bisa..
****
Jadi, definisi Islam orang yang kuat adalah orang terkontrol. Orang yang berjiwa besar. Orang yang lemah adalah orang yang tidak terkontrol, berjiwa kerdil. Ia belum selesai untuk reformasi diri. Maka, memiliki jiwa yang terkontrol membutuhkan mujahadah dan riyadhah.
Selanjutnya juga agar kita bisa mengendalikan nafsu berbicara agar tidak berbohong, menggunjing, mengumpat, dan mengadu domba. Sia-sialah orang puasa yang tidak bisa mempuasakan lidahnya dari perkataan dosa. Pengalaman empiris membuktikan, ternyata belajar diam itu lebih sulit daripada belajar berbicara.
Juga mempuasakan diri dari nafsu amarah (shoum). Ada orang mengajak ribut dan bertengkar, jangan dilayani. Cukuplah dijawab dengan, “Saya sedang puasa !”
Jika banyak aspek diri kita yang menjijikkan, maka semoga puasa Ramadhan memberikan banyak aspek keindahan. Ibarat sebelum puasa Ramadan, diri kita ibarat ulat yang membuat gatal pihak lain lewat mulut dan sikap kita, maka sesudahnya harus berubah ibarat kupu-kupu yang indah menakjubkan sejauh mata memandang. Kita menjadi pribadi yang menarik karena bercahaya (hawiyyah mu’jibah).
Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami – hingga sampai ke surga, – sedangkan orang-orang munafik cahaya mereka padam – (dan ampunilah kami) wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala seduatu (QS. At Tahrim : 8)..
Anda bisa mengubah diri dengan mengubah kebiasaan secara berulang-ulang (kultur). Meneladani da-abus shalihin (kultur orang-orang shalih). Mereka kokoh imannya, ibadahnya dan akhlaknya. Keimanan perlu bukti ibadah. Dan ibadah membuahkan akhlak yang mulia. Iman yang tidak membuahkan amal shalih sama jeleknya dengan amal yang tidak didasari oleh iman. Sebenarnya beramal itu mudah, yang lebih sulit adalah menjaga amal dari hal-hal yang membatalkan (mubthilul amal, muhbithul amal).
Jika dulu biasa tidak shalat jamaah di masjid, biasakan berjamaah di bulan ini. Jika dulu tidak biasa membaca Al-Quran, biasakan membacanya di bulan ini. Jika dulu jarang bersedekah, biasakan melakukannya di bulan ini. Jika dulu jarang menghadiri pengajian, biasakan menghadirinya di bulan ini. Jika dulu tidak biasa shalat malam, biasakan melaksanakannya di bulan ini. Jika dulu tidak peduli halal-haram makanan, biasakan memperhatikannya di bulan ini. Jika dulu jarang wirid, biasakan untuk zikir rutin. Jika dulu ahli mengisap rokok, biasakan untuk cerai dari rokok. Jika dulu tidak mengendalikan ucapan, biasakan berbicara yang baik-baik di bulan ini.
Ala bisa karena biasa. Ketaatan yang semula berat akan terasa nikmat setelah terbiasa. Puasa Ramadhan kita berhasil, jika setelah Ramadhan nanti kita menjadi manusia lebih baik, yang lebih bertakwa kepada Allah. Tidak mungkin kita tidak berubah, karena lingkungan strategis kita terus mengalami perubahan yang demikian cepat. Bahkan, perubahannya sulit kita prediksi.
Wallahlahu a’lam bis shawab
Ust. Sholih Hasyim