SETIAP KALI kita memutlakkan sesuatu sebagai hakikat Islam, dengan tanpa hujjah dan/atau dengan mengekstrimkan bagian-bagiannya, seringkali kita telah mereduksinya sebatas apa yang kita mutlakkan itu.
Yang kita dapati setelah itu bukan lagi Islam yang sebenarnya, tapi pikiran kita sendiri yang secara sepihak kita klaim sebagai hakikat Islam.
Ada yang bersikukuh mengatakan Islam adalah agama akal dan logika, lalu menolak hal-hal yang mengedepankan penggunaan rasa. Tapi, ini pun keliru. Sebab dalam Islam kita mengenal sabar, syukur, tawakkal, ridha, qana’ah, dsb. Semua itu perasaan-perasaan, dan diakui bahkan diberi bimbingan dalam Islam.
Sebaliknya, ada yang ngotot mengatakan bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan perasaan, lalu mengesampingkan penggunaan logika dan akal pikiran. Tapi, ini juga keliru. Dalam Islam ada ilmu, ijtihad, hujjah, dalil, dst. Semua ini memakai logika-logika, dan dibimbing dalam Islam.
Ada juga yang gembar-gembor mengatakan Islam agama damai, dan berusaha keras menafikan hal-hal yang berbau militerisme maupun penggunaan kekerasan. Akibatnya dia mati-matian menolak jihad fii sabilillah -dalam arti perang- dan berusaha memberikan “tafsir-tafsir alternatif”.
Tapi, ada lagi yang sebaliknya juga. Dia bersikeras mengatakan bahwa Islam adalah agama jihad. Maka semuanya pun dipusatkan di sekitar i’dadul quwwah, dan apapun disikapi dari cara pandang ini. Maka, segala cara yang mengedepankan sikap lemah-lembut dan dialog dianggap banci atau pengecut.
Lantas, Islam itu apa?
Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah memberikan pedoman-pedomannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Semua itulah Islam. Kita harus menerimanya, apa adanya, seluruhnya. Kerasnya, juga lembutnya. Perasaannya, juga logikanya. Perangnya, juga damainya.
Pada saat kita memilih-milih bagian Islam sesuai selera kita, pada dasarnya kita belum berserah diri, belum ber-Islam, dan sedang memperkokoh dominasi hawa nafsu dalam beragama.
Tidak masalah dicap ekstrem, atau sebaliknya dituduh pengecut. Jangan pedulikan kata orang. Sepanjang kita mengikuti apa maunya Allah, maka Dialah yang akan menyingkirkan seluruh fitnah itu dari jalan kita.*
______________
ALIMIN MUKHTAR, Penulis adalah alumni STAIL Hidayatullah Surabaya dan saat ini pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Malang, Jawa Timur.