BEBERAPA bulan terakhir, kita dikejutkan kembali dengan munculnya kelompok sempalan yang ditengarai dan terbukti menyimpang dari ajaran Islam. Ada saja isu yang dibawakan, namun muaranya selalu sama: menggugurkan kewajiban syariat dan menciptakan kewajiban baru yang tidak ada dasarnya.
Mereka juga selalu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dan justru menghalalkan apa yang diharamkan-Nya. Pelakunya pun beragam, dan seringkali orang-orang biasa seperti kita juga. Kadang kita sendiri tidak habis pikir, kok bisa?
Sebenarnya, penyimpangan dari ajaran Islam bukan hal baru. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri masih segar-bugar, seorang calon nabi palsu telah hadir.
Di penghujung masa hidup beliau, Musailamah al-kadzdzab (si pembohong) datang ke Madinah bersama kaumnya. Ia berkata, “Jika Muhammad menyerahkan kekuasaan (atas umat Islam) sepeninggalnya kepadaku, pasti aku akan mengikutinya”.
Rasulullah telah melihat tanda-tanda ketidakberesan dan ambisi menyimpang ini, sehingga menolak memberi keistimewaan apapun kepada Musailamah. Beliau bersabda dengan tegas, sambil menunjukkan pelepah kurma di tangannya, “Andaipun engkau meminta padaku pelepah ini, tidak akan aku berikan!” (Hadits shahih, riwayat Ibnu Hibban).
Demikianlah, motif di balik penyimpangan itu selalu sama: ambisi berkuasa, dipuja dan ditokohkan. Ambisi inilah yang diam-diam mendorong pelakunya menghalalkan segala cara, termasuk berbohong dan mengkhayalkan peristiwa yang tidak pernah terjadi.
Ia rindu diistimewakan di setiap majlis, kata-katanya didengarkan, nasihatnya dituruti, dan kehadirannya ditunggu-tunggu. Sayang sekali, hatinya tidak bersih, akalnya melenceng, ilmunya tipis, dan nafsunya lebih dominan. Syetan pun bertepuk tangan dan membuai angan-angannya dengan sejuta keindahan!
Masalahnya, siapakah yang tidak senang dihormati dan dipuji? Jika begitu, bukankah setiap kita berpeluang untuk menabur benih ajaran sesat, besar atau kecil, sengaja atau tidak? Bagaimana kita bisa menghindar dari jebakan syetan ini? Sungguh, tidak akan ada yang selamat kecuali mereka yang dipelihara oleh Allah ta’ala!
Salah seorang sahabat agung, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
“Al-Qur’an akan dibukakan untuk semua orang, sehingga kaum wanita, anak-anak maupun lelaki sama-sama bisa membacanya. Kelak akan ada seseorang yang berkata: ‘aku telah bisa membaca al-Qur’an, namun aku belum diikuti oleh orang’. Lalu, dia mengamalkan Al-Qur’an di tengah-tengah manusia, namun belum juga ia diikuti. Ia berkata: ‘aku sudah bisa membaca al-Qur’an, namun belum juga diikuti orang; aku juga sudah mengamalkannya di tengah-tengah mereka namun aku belum juga diikuti; sungguh aku akan membuat masjid di kediamanku, semoga saja aku diikuti orang’. Lalu dia pun membuat masjid di kediamannya, akan tetapi tetap saja ia tidak diikuti orang. Ia pun berkata lagi: ‘aku sudah bisa membaca al-Qur’an, namun belum diikuti orang; aku juga sudah mengamalkannya di tengah-tengah mereka, namun belum diikuti juga; aku pun telah membuat masjid di kediamanku, namun tetap saja belum diikuti; demi Allah, sungguh akan aku datangkan kepada mereka suatu perkataan yang tidak akan mereka dapati dalam Kitabullah dan tidak pernah pula mereka dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semoga saja aku diikuti!’” Mu’adz kemudian berkata, “Berhati-hatilah kalian terhadap apa-apa yang disampaikannya itu, sebab yang dibawanya itu adalah kesesatan.” (Riwayat ad-Darimi. Sanadnya shahih).
Mu’adz bin Jabal tengah berbicara tentang orang-orang yang membaca, mengkaji, dan mengamalkan Al-Qur’an bukan untuk Allah, namun demi dunia dan yang semacamnya. Ambisi meraih kemasyhuran dan riya’ (pamer) dalam beramal inilah penyakit utamanya. Karena riya’ pula segala kebajikan batal dan sia-sia di hadapan Allah.
Seseorang bisa saja datang ke akhirat dengan membawa segala kebajikan, namun akhirnya bangkrut samasekali, karena hatinya kosong dari keikhlasan. Na’udzu billah.
Mu’adz juga menyinggung masjid-masjid yang didirikan bukan untuk mengagungkan Allah dan meneguhkan syari’at-Nya, namun demi popularitas dan agar menjadi buah bibir di kalangan manusia semata.
Di zaman sekarang, “masjid” yang beliau maksudkan bisa juga berbentuk sekolah, pesantren, jamaah pengajian, training, media massa, atau organisasi yang ditujukan untuk penyiaran sebuah ide dan gagasan. Bukankah sejak zaman Nabi masjid juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan Al-Qur’an, hadits dan ilmu-ilmu agama?
Lalu, apanya yang salah dengan masjid, sekolah, training, jamaah pengajian, media massa, atau organisasi itu? Tidak ada, selain kecenderungan untuk asal beda dari yang lain sebagai upaya menarik perhatian publik dan mencari pengikut, menipu, dan memperdaya kaum awam. Tidak ada niat yang lurus dan ilmu yang benar disana.
Sepertinya, Mu’adz hendak memperingatkan kita. Sebab jangan-jangan, kita membangun semua itu karena telah jenuh tidak laku dan “tidak dianggap siapa-siapa”, lalu diam-diam syetan berbisik, “Sungguh akan aku datangkan kepada mereka suatu perkataan yang tidak akan mereka dapati dalam Kitabullah dan tidak pernah pula mereka dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semoga saja aku diikuti orang!”.
Pada titik inilah setiap dari kita harus ekstra hati-hati, terutama para guru, trainer, penulis, khatib, juru dakwah, wartawan, dan pengelola lembaga pendidikan. Sungguh, betapa butuhnya kita kepada keikhlasan dalam setiap perkara.
Sebab, saat kita berada pada titik terendah keikhlasan, maka selangkah lagi adalah titik pertama penyimpangan. Ya Allah, lindungi kami dari keburukan jiwa kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Amin!
Ust. M. Alimin Mukhtar