SESUNGGUHNYA syariat yang diturunkan oleh Allah Ta’aala kepada kita ada yang bersifat Ibadah yaumiyah (ibadah harian), seperti shalat fardhu.
Ada ibadah usbuiyah (ibadah pekanan), puasa hari Senin dan Kamis. Lalu ibadah syahriyah (ibadah bulanan), seperti puasa pada hari-hari putih untuk menghilangkan kedengkian hati. Dilakukan pada tanggal 13, 14, 15, pada bulan Qamariyah.
Kemudian ada yang dinamakan ibadah ‘amiyah (ibadah tahunan) seperti puasa Ramadhan. Dan ada pula ibadah marrotan fil ‘umri (ibadah sekali seumur hidup) yakni melakukan ibadah haji.
Semua ibadah yang kita lakukan bertujuan agar dalam kehidupan kita terwujud ritme spiritual yang konstan. Sehingga seluruh rangkaian kehidupan ini kita persembahkan untuk Allah Ta’aala dan dalam rangka mengagungkan syi’ar-Nya.
Sesungguhnya orang-orang yang mengagungkan Allah adalah orang yang paling bertakwa hatinya (QS. Al Hajj (22) : 32).
Jadi, seluruh rangkaian ibadah yang kita lakukan adalah sebagai wasilatut taqarrub, tabattul, tawajjuh ilallah. Media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jangan sampai terjadi ibadah yang kita lakukan sebagai wasilatut taba’ud ‘anillah (media untuk menjauhkan diri kita kepada Allah).
Sebagaimana iblis, ia sudah mencapai ma’rifat kepada Allah Ta’aala, tetapi membangkang perintah Allah, mengajak jauh dari-Nya. Ma’rifat yang melahirkan kedurhakaan. Sejak saat itu iblis divonis oleh Allah termasuk makhluk yang kafir (QS. Al Baqarah (2) : 34). Setelah menyembelih hewan kurban, kita juga disunnahkan untuk mengumandangkan takbir.
Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah. Yang sampai kepada Allah hanyalah niat ikhlas kalian. Begitulah Allah tundukkan hewan kurban itu kepada kalian agar kalian selalu mentauhidkan Allah sesuai dengan cara-cara yang diajarkan kepada kalian. Wahai Muhammad, gembirakanlah hati orang-orang yang melakukan ibadah haji dengan ikhlas (QS. Al Hajj (22) : 37)
Demikian pula setelah Allah menjelaskan kewajiban puasa, Allah mengakhiri firman-Nya:
Hendaklah engkau sempurnakan bilangan (puasa itu) dan besarkanlah Allah atas petunjuk-Nya padamu supaya kalian bersyukur (QS. Al Baqarah (2) : 185).
Merujuk ayat di atas, kita dapat mengambil pelajaran fundamental bahwa setelah menunaikan ibadah puasa dengan sempurna, kita harus membesarkan, mengagungkan, menomorsatukan Allah Ta’aala dan bersyukur kepada-Nya.
Demikian pula, bahwa dalam kehidupan keseharian muslim kita mulai (start) dari takbir dan kita akhiri (finish) dengan tasyakur. Kita kuatkan hablun minallahi dan kita akhiri dengan berbagi kebahagiaan dengan sesama (hablun minannasi).
Takbir artinya menghujamkan di dalam hati, ucapan, dan aktifitas kita, bahwa Allah Ta’aala yang Maha Besar. Dan mengecilkan selain Allah. Allah adalah Al Khaliq (Pencipta). Manusia adalah al Makhluq (yang diciptakan). Allah adalah al ‘Alim (Maha ‘Alim), sedangkan manusia adalah jahil (bodoh). Allah adalah al-Akrom (Maha Mulia), sedangkan manusia adalah dzalil (hina). Allah adalah Al Haq (Maha Benar). Sedangkan manusia adalah mahallul khothoi wan nisyan (tempat salah dan lupa).
Dalam ibadah shaum, takbir kita cerminkan dengan mengelola dan mengecilkan hawa nafsu. Atau menghidupkan kebesaran Allah di dalam hati kita. Ketika membaca Al-Quran, kita mengecilkan semua kalam manusia. Dan hanya membesarkan kalamullah (firman Allah) dan kalimatullah (tulisan Allah).
Ketika kita berdiri shalat malam, kita kecilkan seluruh urusan dunia. Dan hanya membesarkan, memandang penting perintah Allah. Kita bangun malam sekalipun dalam kondisi enak-enaknya tidur. Seluruh ibadah kita adalah bertujuan mengagungkan Asma Allah. Dan mengecilkan makhluk-Nya. Wajah kita yang paling kita hormati, hanya kita tundukkan kepada Allah Ta’aala.
Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah shoum, kita masih diperintahkan oleh Allah untuk bertakbir. Bukankah dalam shiyam dan qiyam Ramadhan kita sudah membesarkan Allah Ta’aala?. Bukankah pada malam ‘Idul Fitri kita sudah dianjurkan untuk mengumandangkan takbir?. Mengapa kita harus bertakbir lagi, membesarkan Allah Ta’aala?.
Allah Maha Tahu, kita sering bertakbir dalam ibadah mahdhah kita. Tetapi, kita melupakan Allah (tidak bertakbir) dalam ibadah mu’amalah dan mu’asyarah kita. Kita bertakbir di rumah Allah, tetapi kita tidak bertakbir di rumah tangga kita sendiri.
Kita bertakbir dalam ibadah ritual, formal, tetapi kita tidak bertakbir dalam ibadah sosial kita. Kebanyakan manusia menceraikan Allah dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, dll. Kita siap dikomando Allah ketika kita shalat, tetapi kita melupakan Allah ketika kita di pasar, mall, halte, gedung parlemen, tempat rekreasi. Bahkan, sangat ironis, kita bersama Allah ketika bersama-sama, tetapi kita menipu Allah ketika kita sendiri.
Di masjid kita Agungkan Allah, di luar masjid kita agungkan hawa nafsu, ambisi, kekuasaan, kepentingan pribadi, ilmu dan pengaruh kita. Sehingga, kita ganti kesucian takbir dengan kotoran takabbur. Kita ganti sikap tawadhu’ dengan congkak. Kita ganti akhlakul karimah dengan al akhlakul mazmumah (akhlak yang tercela). Kita ganti kesucian hati dengan kekotoran hati. Kita ganti persahabatan dengan permusuhan. Kita ganti yang ma’ruf (kebaikan yang dikenali hati) dengan mungkar (kejelekan yang diingkari hati).
Ketika kita duduk di kantor, kita campakkan perintah-perintah Allah Ta’aala. Kursi, posisi, komisi, yang seharusnya kita gunakan untuk memakmurkan negara, melayani rakyat, membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan pertolongan, kita manfaatkan untuk memperkaya diri. Mempertahankan status quo.
Kita bangga kalau kita menyalahgunakan fasilitas kantor. Kita bangga jika melihat rakyat yang kita layani merengek-rengek, bersimpuh, berdesak-desakan memohon belas kasihan kita. Kita besar kepala ketika banyak orang yang memuji kita. Kita benci orang yang mengingatkan kita, sekalipun benar.
Kita bangga jika dengan –sedikit kecerdikan dan rekayasa– kita sukses menumpuk keuntungan dan pundi-pundi kekayaan, sekalipun harus mengorbankan orang lain. Kita tersenyum di atas penderitaan orang banyak. Kita senang, berbahagia di atas penderitaan sebangsa dan setanah air. Di kantor, kita singkirkan takbir, dan kita agungkan takabur.
Ketika kita bersaing merebut pasar dan konsumen, ketika kita menjalankan bisnis, seakan-akan Allah Ta’aala absen di dalam hati nurani kita. Kita menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan, sekalipun harus menyengsarakan orang lain, mematikan pasar pihak lain.
Berkorban sekecil mungkin, untuk memperoleh bonus sebesar-besarnya. Inilah teori dan praktek ekonomi kapitalis. Kita lupakan Allah setelah bulan puasa. Kita balas dendam setelah lapar berpuasa. Kita lupa terhadap syariat Allah Ta’aala, bahkan kita abaikan suara hati kita sendiri. Karena, di depan mata akan terpampang simbol kekayaan dan kemewahan.
Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahuinya (QS. Al Baqarah (2) : 188).
Menakar Kualitas Takbir Kita
Di tengah-tengah masyarakat kita tidak lagi mendengar taujih Ilahi yang mengajarkan kejujuran, keimurnian niat, kasih sayang, amal shalih. Sebaliknya, dengan setia kita mengamini petunjuk iblis untuk melakukan penipuan, kemunafikan, dan kekerasan hati, dan penindasan.
Kita meremehkan keadilan dan kita kedepankan kezaliman. Allah yang kita besarkan dalam doa dan shalat kita, ternyata kita lupakan dalam realitas kehidupan kita sehari-hari. Dalam puasa kita menahan diri dari memakan makanan dan minum minuman yang halal, tetapi kita berbuka dengan makanan dan minuman yang haram.
Bibir kita kering karena kehausan, perut kita kempes karena menahan lapar, tetapi tangan-tangan kita kotor karena menjahili orang lain. Anggota satu tubuh digunakan dengan perbuatan yang kontradiktif. Kita fasih membaca al Quran, mengaji, tetapi fasih pula menggunjing saudara kita.
Di masjid kita bertakbir, di tengah pergaulan kita takabur. Di tempat ibadah kita bersyukur, di tengah kehidupan individu, keluarga, sosial, kita kufur nikmat. Orang lain melihat inkonsistensi dalam sikap kita. Banyak orang yang khusyu’ shalatnya, khusyu’ pula merampas hak orang lain, memalsukan angaka-angka.
Banyak orang yang puasa, tetapi dia juga melakukan kezaliman, membunuh, menjuluki orang lain dengan julukan jelek. Banyak orang puasa, bagus ketika menjadi pemimpin, tetapi berubah sikapnya ketika turun dari jabatan. Banyak orang yang puasa, siap sukses, tetapi tidak siap menderita.
Ya Allah, ampuni kesalahan, kealpaan, kelalaian, kekhilafan kami. Wahai Zat yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Kami mohon pertolongan dan petunjuk-MU, agar kami dapat melanjutkan takbir dalam ibadah kita, menuju menggemakan takbir dalam seluruh aspek kehidupan kita. Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.
Setelah perintah takbir kita disuruh tasyakur. Takbir (Membesarkan Allah) dirangkaikan dengan bersyukur terhadap karunia dan nikmat-Nya. Setelah kita takbir disusul dengan salam. Untuk membuktikan bahwa kecintaan Allah kepada kita, dengan indikator lingkungan sosial at home dengan keberadaan kita.
Dengan bertakbir, lingkungan terdekat kita tidak kita pandang sebagai ancaman, rivalitas, tetapi kita persepsikan sebagai mitra, anugerah, yang kita syukuri. Dengan bertakbir kita memiliki gambaran positif terhadap diri kita dan orang lain. Sehingga kita dilantik oleh Allah menjadi shalih ritual dan shalih sosial. Orang shalih adalah orang yang menegakkan hak-hak Allah dan hak-hak anak Adam (al Qoim bi huquqillah wal qoim bi huquqil adami), meminjam istilah tafsir Ash Showi.
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) menegakkan shalat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (QS. An Nur (24) : 37).
Komponen Tasyakur
Menurut Imam Al Ghozali bahwa ada tiga komponen tasyakur. Yaitu, ‘ilmu, hal dan amal shalih.
Komponen Pertama : ‘Ilmu. Dengan bekal ini menunjukkan kesadaran yang mendalam kepada kita betapa banyak nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita.
Sejak fase kehidupan kita berupa janin, dihindarkan dari panas, dingin, dan gangguan suara, dijamin rizki kita. Fase shoby (bayi), thifl (anak-anak), murahiq (remaja), khulah (dewasa), dan syaikh (usia lanjut). Allah-lah memberikan apa saja yang kita minta.
Allah telah memberikan kepada kalian apa saja yang kalian minta kepada-Nya. Jika kalian mau menghitung nikmat Allah, pasti kalian tidak dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu berlaku zalim dan kufur (QS. Ibrahim (13) : 34).
Kita bersyukur kepada Allah Ta’aala karena kita menyayangi diri kita. Sedangkan diri ini diciptakan oleh Allah. Diri yang diciptakan oleh Allah, jika kita bisa menjadikan diri ini bersyukur dan beriman, Allah Ta’aala membeli diri kita dengan surga. Alangkah Rahman dan Rahimnya Allah.
Sungguh Allah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin dengan pahala surga (QS. At Taubah (9) : 111).
Kita ibarat tukang parkir. Kita memelihara titipan para pemilik mobil dengan sebaik-baiknya. Setelah selesai memarkirkan kendaraan, mobilnya diberikan kepada kita secara cuma-cuma (majjanan). Betapa dermawannya pemilik mobil itu. Allah Ta’aala lebih dermawan dari pada orang yang paling dermawan.
Atas rahman dan rahim Allah, kita bisa bertahan dan mempertahankan kehidupan sampai hari ini. Banyak saudara kita pada tahun yang lalu bersama kita, sekarang sudah kembali kepada-Nya. Berkat kasih dan sayang-Nya kita bisa beribadah, bekerja, dan melaksanakan tugas dan tanggungjawab, melakukan aktifitas kita sehari-hari.
Banyak saudara kita pada saat ini tidak dapat berpisah dengan pembaringannya karena diuji dengan sakit. Banyak anak-anak cerdas yang tidak melanjutkan kuliah. Banyak bayi mungil yang kehilangan dekapan kasih sayang ibunya, karena tidak bisa meninggalkan rumah majikannya.
Dan hanya dengan pertolongan Allah Ta’aala jua kita bisa berpuasa, beribadah, bertakbir, dan bersyukur kepada-Nya.
Sekiranya bukan karena karunia dan belas kasih Allah kepada kalian selamanya tidak seorang pun diantara kalian selamat dari gangguan setan (QS. An Nur (24) : 21).
Komponen Kedua : Yaitu, Hal. Mencerminkan sikap kita terhadap nikmat Allah. Kita bersikap senang karena Allah yang selalu menolong kita pada saat yang kita perlukan.
Sepatutnya semua kebaikan yang diberikan kepada kita, kita balas. Jika kita tidak mampu, minimal kita selalu menyebut pemberiannya. Kita bersyukur kepada Allah Ta’aala karena Dia yang mengantarkan diri kita hingga sekarang ini. Dengan keadaan seperti ini. Di tempat yang penuh barakah ini.
Hendaklah kamu (berbahagia) bila memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri (suami) mukmin yang membantumu dalam urusan akhirat (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Komponen Ketiga : Amal shalih. Amal diwujudkan dalam seluruh anggota tubuh kita. Anggota badan kita diberdayakan untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Anggota badan kita digunakan untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan Sang Pemberi. Jika diri kita enggan beribadah, berarti kita tidak menyayangi pemberian-Nya.
Menurut Imam Al Ghozali bersyukur adalah: Menggunakan nikat-nikmat Allah untuk mentaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat-Nya untuk berbuat maksiat kepada-Nya (Ihya : 4, 72).
Kita disebut bersyukur jika posisi, harta, ilmu, pengaruh, tenaga, yang kita miliki dikelola sebaik mungkin untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain. Allah akan meminta pertannggungjawaban, masa muda kita habiskan untuk apa, harta yang kita miliki bersumber dari mana dan dibelanjakan untuk apa, umur yang kita habiskan dimanfaatkan untuk apa?.
Kemudian pada hari kiamat, kalian akan ditanyai tentang semua nikmat yang telah kalian terima di dunia ini secara rinci (QS. At Takatsur (102) : 8).
Allah mengajarkan sikap tasyakur yang benar kepada kita. Dan nikmat Tuhanmu, kabarkanlah (QS. Adz Dhuha (98) : 11).
Nikmat yang kita peroleh kita kabarkan. Agar orang lain ikut merasakannya. Jika kita berkuasa, kita melindungi (ngayomi), melayani (ngayahi), mengangkat derajat (ngajeni), merawat (ngopeni), masyarakat yang kita pimpin.
Jangan sampai kelebihan yang kita miliki ini digunakan untuk membodohi yang bodoh, menindas yang lemah, merampas hak-hak mereka dengan cara yang batil.
Jika kita berharta, kita usahakan agar orang-orang yang lemah (dhu’afa) dan tertindas (mustadh’afin) ikut tersenyum (wong cilik melu gemuyu). Kita belikan pakaian orang yang telanjang. Kita beri minum orang yang kehausan. Kita beri makan orang yang kelaparan. Kita beri pekerjaan orang yang terkena PHK. Dengan cara ini kita dinilai oleh Allah Ta’aala menjadi orang kaya yang bersyukur.
Jika kita memiliki ilmu, kita semakin tawadhu. Dan kita manfaatkan ilmu kita untuk menerangi yang kegelapan, memandu orang yang tersesat, memberi petunjuk kepada orang yang kebingungan. Mencerdaskan orang yang bodoh. Kita tidak sekedar ada, tetapi hadir di tengah-tengah kehidupan.
Ketika Musa bertanya kepada Allah, Ya Rabb, dimanakah aku mencari-MU. Allah Ta’aala menjawab, carilah Aku di tengah-tengah orang yang hatinya terluka.
Jika kita memiliki titipan tenaga yang kuat, kita optimalkan untuk memapah orang yang lemah, menguatkan orang berjiwa kerdil, memagari agama Allah dari gangguan dan ancaman musu-musuh-Nya.
Kata ahli hikmah : Kualitas kita tidak ditentukan dari posisi dan pendapat kita, tetapi diukur dari peran penting dan kontribusi kita (al ‘ibratu la bil manashibi wa la bil wazhaaifi, walakin biddauri wal ‘atha’i).
Rasulullah Saw bersabda:
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Amal yang paling utama adalah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang yang beriman, mengenyangkan yang lapar, melepaskan kesulitan atau membayarkan hutang” (HR. Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Nashaihul ‘Ibad : 4).
Al Quran dimulai dengan –Bismillah– dan ditutup dengan nama manusia (an–Naas). Puasa Ramadhan dimulai dengan menahan makan dan minum ditutup dengan zakat fitrah. Shalat dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Bukankah itu semua menunjukkan bahwa amal seorang muslim selain diawali dengan takbir, dan diakhiri dengan tasyakur. Dimulai dengan membesarkan, mengagungkan, menomorsatukan Allah Ta’aala dan diakhiri dengan mendatangkan manfaat kepada semua manusia. Kaffatan linnas wa rahmatan lil ‘Alamin.
___________
USTADZ SHOLEH HASYIM, Penulis adalah anggota Dewan Syura PP Hidayatullah. Saat ini pembina Pesantren Hidayatullah Kudus, Jawa Tengah.