KUPANG (Hidayatullah.or.id) – Gaya bicaranya kalem. Sorot matanya tajam. Namun kala berbincang dengannya, pandangan matanya lebih sering ke bawah. Perangainya ramah dan santun. Kini, dai tangguh yang selalu penuh semangat ini telah kembali ke kharibaan Ilahi.
Dai pedalaman yang juga mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Ustadz Mustaqim Dalang meninggal dunia pada Senin (17/12/2018) dinihari.
Mustaqim wafat di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), semasa mengabdikan dirinya sebagai dai di Pesantren Hidayatullah Kupang.
“Innalillahi wa Inna ilahi rajiun. Hidayatullah Kupang NTT berduka. Tepat pada pukul 01.20 WITA di Rumah Sakit Wirasakti Kota Kupang, telah berpulang ke Rahmatullah, Pembina Pondok Pesantren Hidayatullah Kupang, kader terbaik Hidayatullah, Ustadz Mustaqim Dalang,” ujar Usman Aidil Wandan dai di Kupang kepada hidayatullah.com, Senin (17/12/2018).
Mustaqim sebelumnya memang sudah diuji sakit dan dirawat di RS tersebut.
“Kata dokter riwayat penyakit yang diderita menurut tim medis penyakit jantung. Sudah beberapa tahun ini beliau mengidap penyakit tersebut,” ungkapnya.
Usman mengaku dua hari yang lalu sempat membesuk sang ustadz. “Terlihat raut wajahnya sehat namun, beliau menahan rasa sakitnya sejak dua tahun terakhir yaitu riwayat penyakit jantung,” ungkapnya.
Ia menuturkan, kiprah dakwah sang ustadz dimulai dari Pesantren Hidayatullah Pusat di Balikpapan, Kalimantan Timur. Mendidik dan mengajarkan agama kepada generasi sebagai panggilan jiwa.
“Hingga menjalankan tugas mulia pada tahun 1997 mulai dari Balikpapan ke Dumai, Banda Aceh, sampai Pulau Mentawai,” ujarnya.
Mustaqim lama mengabdikan diri di Pesantren Hidayatullah di Desa Sipora Jaya, Kecamatan Sipora, Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat dan beberapa tahun menjadi Ketua MUI setempat.
“Dua tahun terakhir beliau ditugaskan oleh Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah menjalankan tugas pengabdian di Hidayatullah Kupang, NTT. Sebagai pembina pesantren. Petuah dan nasihat beliau selalu menjadi penguat dalam gerak langkah perjalanan Hidayatullah Kupang,” tuturnya.
Mustaqim lahir di Alor pada 6 September 1969. Ia berpulang meninggalkan istrinya, Inayah, dan 8 orang anak.
Mustaqim turut hadir pada Silaturahim Nasional bersama puluhan ribu dai di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur yang digelar pada 20-25 November lalu.
“Serasa tak percaya akan kepergian beliau. Mungkin Allah Subhanahu Wata’la lebih sayang kepada beliau. Semoga Allah Subhanahu Wata’la memaafkan kesalahan beliau, melapangkan alam kuburnya, dan memberikan tempat terindah kepada beliau dengan balasan syurga Jannatul Firdaus. Aamiin,” pungkas Usman.
Mustaqim dikenal di kalangan Hidayatullah sebagai kader dai yang tak pernah menolak tugas dakwah. Termasuk ketiga ia ditugaskan ke Pulau Mentawai yang belum sekalipun pernah diketahui letaknya. Ia melanjutkan langkah perintisan yang dilakukan Ustadz Afifuddin Bakri yang telah lebih dulu bertugas di sana.
Selain itu, ia juga dikenal sangat gemar bersilaturrahim bahkan tradisi ini ia jaga betul dan selalu dipesankan kepada murid-muridnya. Seperti pada momentum Silatnas Hidayatullah November lalu, Mustaqim berpesan agar kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh kader dai untuk mendapatkan keberkahan silaturrahim.
“Pandai pandailah mencari waktu karena untuk bersilaturrahim dengan bapak-bapak assaabiquunal awwalun (kader senior; perintis) itu memerlukan waktu khusus. Biasanya pada waktu makan. Jadi kita semua harus memfokuskan waktu kita untuk bersilaturrahim dengan beliau-beliau. Banyak sekali ustadz-ustadz kita, kalau dihitung satu-satu tidak habis barangkali. Beliau beliau semuanya merupakan pejuang-perjuang pergerakan Hidayatullah. Saya berharap kita bisa meluangkan waktu bisa bersilaturrahim dengan beliau beliau. Insya Allah kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga,” pesannya seperti yang kami sadur dari sebuah rekaman ceramahnya.
=========
Pelita di Tengah Kesunyian
Masjid itu terbilang megah. Suasananya pun semarak. Saban hari terdengar suara merdu puluhan anak yang mengaji, ceramah, dan shalat berjamaah. Tiap sepertiga malam terakhir, masjid itu diramaikan oleh jamaah yang khusyuk mendirikan shalat lail (malam). Seringkali shalat sunnah ini dilaksanakan secara berjamaah, sebagai sarana pembelajaran terutama bagi anak-anak.
Padahal, masjid itu terletak di kawasan terpencil. Tepatnya di Pesantren Hidayatullah di Desa Sipora Jaya, Kecamatan Sipora, Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat. Lokasi ini berada di Samudera Indonesia, sekitar 90 mil di sebelah barat Pulau Sumatera.
Pesantren Hidayatullah menempati areal seluas 11 hektare. Selain masjid, ada beberapa bangunan asrama santri, sekolah, gudang, dan rumah para ustadz. Ini adalah satu-satunya pesantren di Kabupaten Mentawai.
Pesantren Hidayatullah Mentawai baru berdiri pada tahun 1996. Perintisnya bernama Ustadz Afifuddin Bakri. Saat itu, Bakri ditugaskan oleh ormas untuk memimpin Pesantren Hidayatullah Dumai, Riau.
Sungguh bukan pekerjaan mudah merintis pesantren di kawasan terpencil dan mayoritas penduduknya non-Muslim seperti Mentawai. Perlu bekal “nyali” yang tinggi. Ganasnya alam akan langsung membentang di depan mata.
Untuk menuju ke kompleks pesantren, dari Pelabuhan Teluk Bayur (Padang) harus naik kapal kayu dan makan waktu sekitar 10 jam. Perjalanan yang sangat melelahkan. Penumpang kapal akan diombang-ambingkan ombak samudera yang bergulung-gulung bak tsunami.
Bagi yang tak terbiasa, akan terasa sulit untuk berdiri di atas kapal, saking kerasnya goncangan. Perut pun akan terasa mual dan kemudian muntah-muntah. Setelah sampai di Pelabuhan Tuapejat, Sipora, perjalanan masih harus dilanjutkan dengan menempuh jarak 9 kilometer. Sampai dua tahun lalu, jalan sepanjang itu hanyalah jalan tanah. Sejak Mentawai diresmikan menjadi kabupaten dua tahun lalu, jalan itu sudah diperkeras dengan batu.
Lokasi yang terpencil kadangkali menyulitkan para ustadz dalam memenuhi kebutuhan hidup santri. Dalam hal logistik, misalnya, selama ini banyak dipasok dari Padang. “Kami tak mungkin mencari donatur di sekitar pesantren, sebab warga di sini justru harus lebih banyak disantuni,” kata Ustadz Mustaqim Dalang, Pimpinan Pesantren Hidayatullah Mentawai.
Tiap tanggal 1-10, Mustaqim biasanya berkelana di Padang mencari dana untuk kebutuhan santri. Pesantren Hidayatullah punya sekretariat di daerah Nanggalo, Padang. Dua puluh hari berikutnya, barulah ia bisa intensif mendampingi para santri belajar mengaji, ceramah, sampai bercocok tanam.
Tak jarang, Mustaqim dilanda kepanikan. Saat cuaca buruk atau kapal sedang diperbaiki, lalu lintas Padang-Mentawai menjadi tersendat. Kalau sudah begini, ia akan kesulitan menyapa binaannya di pesantren dan sekitarnya, atau malah terkurung di Mentawai dan terancam kelaparan.
Pesantren yang dipimpinnya pernah kehabisan stok beras selama setengah bulan. Para santri terpaksa makan singkong dan pisang yang bertumbuhan di areal pesantren. Problem sosial kemasyarakatan juga menjadi tantangan tersendiri. Mayoritas warganya beragama non-Muslim.
Beruntung Pesantren Hidayatullah dipimpin oleh Mustaqim, pria asal Flores yang penampilannya khas Indonesia timur: kulit hitam dan rambut keriting. Langkah dakwahnya menjadi relatif mudah. “Pada awalnya, para misionaris mengira saya juga seperti mereka,” ujar Mustaqim sambil tertawa.
Pernah suatu ketika ia berjumpa seorang misionaris di kapal. “Bapak pelayan Tuhan juga ya?” tanya dia. Mustaqim mengangguk mantap, “Iya.” Hatinya tertawa kecil.
Mustaqim adalah alumnus Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan. Sejak tahun 1997, ia ditugaskan ke Mentawai. Pasalnya, ayah tiga anak ini dikenal ahli menangani anak-anak “bermasalah”.
Maklum, anak-anak terasing seperti di Mentawai memang terbiasa hidup bebas, tanpa aturan dan pranata sosial yang baku. Perlu keahlian khusus untuk membinanya.
Namun Mustaqim sering terhibur dengan tingkah polah santrinya yang polos. Pernah suatu ketika anak-anak diajak wisata ke Padang. Ketika melihat deretan mobil yang parkir di sebuah mal, spontan anak-anak nyeletuk, “Orang jual mobil kok banyak amat ya!” Lain waktu, ada santri yang diajak mengambil uang di ATM. Si santri langsung cerita ke teman-temannya, “Eh, Ustadz punya kertas ajaib lho! Dimasukkan ke kotak langsung berubah jadi uang!”
Saat ini Pesantren Hidayatullah membina 50 santri asli Mentawai. Sebagian besar merupakan anak yatim dan dhuafa. Mereka rata-rata berusia SD-SMP. Setelah lulus, biasanya akan dibawa ke Padang atau kota lain.
“Hidayatullah bekerjasama dengan beberapa lembaga sosial dan pendidikan, agar mereka bisa terus melanjutkan sekolah. Harus begitu, sebab mereka adalah anak-anak tak mampu,” kata Mustaqim yang kini menjabat Ketua MUI Kabupaten Mentawai.
Pekik Takbir di Sela Gempa
Tanggal 10 April 2005 lalu, Kepulauan Mentawai diguncang gempa hebat. Menurut para ahli, ini merupakan rangkaian dari gempa yang sebelumnya mengguncang Aceh dan Nias. Musibah besar di Aceh rupanya cukup menciutkan nyali warga Sipora. Mereka panik luar biasa, terutama yang tinggal di kawasan pantai. Terbayang sudah, tsunami akan segera menggulung perkampungan mereka.
Warga berlarian ke tempat-tempat yang tinggi, termasuk menuju ke masjid Pesantren Hidayatullah. Jumlahnya ratusan orang. Pesantren ini memang terletak di bagian yang paling tinggi di pulau Sipora sehingga menjadi tujuan utama para pengungsi.
Sebagian besar pengungsi adalah warga non-Muslim. Meski demikian, segenap penghuni pesantren menerima kedatangannya dengan tangan terbuka. Para santri menyambutnya dengan ramah, menyediakan tikar dan karpet yang dibentangkan sampai halaman masjid. Bagi yang tidak kebagian, dapat jatah hamparan karung goni dan pelepah pisang.
Gempa susulan berulang kali terjadi. Mustaqim segera memberi komando agar para santri memekikkan takbir. Pengungsi yang beragama Islam pun menyambutnya dengan pekikan serupa. Tiba-tiba ada seorang pengungsi non-Muslim yang mendatangi Mustaqim. Raut mukanya tampak cemas. “Bapa, kami harus baca apa? Tolong selamatkan kami pula,” katanya.
Kening Mustaqim berkerut, agak merasa kerepotan untuk menjawabnya. Dalam situasi yang hiruk pikuk itu, ia spontan berujar, “Ikuti saja apa yang dikatakan para santri.” Jadilah, tiap ada getaran gempa, di kompleks Pesantren Hidayatullah Mentawai saat itu akan langsung terdengar pekik takbir bersahut-sahutan. Kalimat suci itu meluncur dari bibir para pengungsi, baik Muslim maupun non-Muslim. Allahu akbar!. (Republika, Mei 2005)