Hari-hari ini, ada tambahan kosa kata baru berkenaan melihat situasi saat ini, yaitu statemen dari Prof. Dr. Boediono, mantan Wakil Presiden dan seorang akademisi itu. Meski sudah lama bertengger di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tetapi terkesan baru, karena jarang mendengar. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi. Terasa asing di telinga kita. Diksi yang dimaksud adalah paralisis.
Menurut KBBI, paralisis adalah hilangnya kemampuan untuk bergerak karena cedera atau penyakit pada bagian saraf; kelumpuhan. Sehingga hal ini menggambarkan bahwa, situasi Indonesia (dan juga negara lain), yang hampir semuanya terdampak COVID-19 itu, bukan sekedar krisis, resesi, atau depresi sekalipun tetapi lebih dari itu.
Dan oleh karenanya, hal ini memicu krisis saat ini akan bersifat multidimensional. Menurut mantan Menko Perekonomian ini, pandemi Covid-19 ini tidak hanya menimbulkan resesi maupun depresi melainkan sebuah kelumpuhan atau paralisis. “Ini bukan sekedar resesi, bukan sekedar depresi, ini paralisis. Suatu sistem yang tiba-tiba saja beku dan ini yang perlu kita pahami” (Sumber Tempo).
Dari sini dapat dijelaslan bahwa paralisis adalah sebuah kondisi yang sangat mengkhawatirkan, karena hampir semua aspek kehidupan menjadi tidak berfungsi secara optimal, dan ini akan menjadi berdampak sistemik, dimana satu sama lain akan saling berpengaruh, sehingga menciptakan “kelumpuhan” aktifitas kehidupan.
Pendapat tersebut di atas, sesungguhnya memepertegas dan memperjelas sekaligus tafsir yang mutakhir dari data yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik, beberapa waktu lalu, bahwa pertumbuhan ekonomi kwartal II tahun 2020 adalah minus -5,32%. Sedangkan pada kwartal I, ekonomi tumbuh 2,97%. Dan data ini, sejatinya menunjukkan grafik menurun jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada kwartal IV tahun 2019 yang 4,97%. Dengan pertumbuhan yang negatif pada kuartal II 2020, secara teori, Indonesia sudah otomatis masuk ke dalam resesi teknikal.
Dimana resesi teknikal merupakan kondisi pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi. Dan ini sudah terbukti. Selanjutnya, dengan melihat fondasi ekonomi yang ada, dan juga dipicu ole situasi global yang sama-sama mengalami konstraksi, maka sangat memungkinkan bahwa pada kwartal III tahun 2020, juga akan mengalami penurunan atau pertumbuhan negatif lagi. Jika kondisi demikian yang terjadi, maka Indonesia akan memasuki jurang resesi yang sesungguhnya, bahkan tidak menutup kemungkinan mengarah kepada depresi ekonomi, jika berlanjut hingga akhir 2020.
Hal ini diperparah dengan kondisi pandemic COVID-19, yang masih belum diketahui kapan berakhirnya. Dari sekian prediksi yang ada, yang paling bisa diterima adalah COVID-19 akan berakhir jika vaksin COVID-19 telah diproduksi secara komersial. Dimana secara teoiritis, vaksin akan diketemukan sekitar 1,5 hingga 2 sejak virus ini mulai menyebar di Wuhan China akhir tahun 2019 lalu.
Artinya, tahun ini dan tahun depan kontraksi akan terus terjadi. Hal inilah sesungguhnya yang bisa menjelaskan mengapa tidak hanya resesi ekonomi yang terjadi. Akan tetapi bisa mengarah dan memicu terjadinya krisis multidimensi, sebagaimana yang di prediksi oleh para ahli, yang selanjutnya terjadi paralisis itu.
Secara teori, krisis multidimensional adalah suatu situasi dimana bangsa dan negeri dilanda oleh beraneka-ragam permasalahan dan pertentangan besar maupun kecil dan berbagai keruwetan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan juga kebobrokan moral. Krisis ini, saat ini telah dan sedang terus memporak-porandakan berbagai sendi-sendi penting kehidupan bangsa.
Begitu hebatnya krisis yang bersegi banyak ini, sehingga banyak orang kuatir dan jika penanganannya tidak tepat, tidak menutup kemungkinan akan memicu terjadinya disintegrasi negara dan bangsa. Atau dengan kata lain membayangkan masa yang serba gelap di kemudian hari. Karena begitu besarnya kekacauan yang akan timbul di berbagai bidang itu.
Melihat realitas di atas, kita harus memposisikan diri sebagai aktor, merepresentasikan diri sebagai subyek, bukan obyek. Karena, sebagai salah satu komponen umat maka sudah selayaknya kita mampu meresponse kondisi ini dengan kapasitas diri kita masing-masing. Kita harus bergerak, tidak bisa tinggal diam dan abai dengan permasalahan kebangsaan, karena ini adalah realitas permasalahan umat.
Sebab, krisis multimensional ini, pasti juga akan berpengaruh terhadap diri kita. Sehingga dalam merespon situasi kekinian itu, semestinya dibingkai dalam kerangka membangun kekuatan umat dan menjaga keutuihan bangsa dan negara. Dengan demikian maka, kita tidak shock (gagap) lagi ketika terjadi turbulensi diberbagai bidang, dikemudian hari. Karena, sejak jauh hari kita sudah mengantisipasi dan mempersiapkan diri.
Kesadaran ini harus dibangun disetiap individu, sehingga menjadi kesadaran kolektif dan seterusnya. Karena, ke depan, problematika diberbagai sektor itu, akan menwarnai dan membersamai kehidupan kita. Sehingga tidak cukup hanya berdamai dengan kehidupan baru (new normal) itu, namun bagaimana kita menjadi lolos sekaligus jadi pemenangnya.
Kembali ke masalah paralisis, jika terjadi kondisi stroke atau kelumpuhan sebagaimana yang digambarkan di atas, maka kita berusaha semaksimal mungkin, untuk tidak ikut-ikutan lumpuh. Sebenarnya ini kewajiban Negara, tetapi secara umat dan warga negara tidak bisa kita berlepas tangan. Karena secara langsung atau tidak, dampaknya akan sampai juga ke Kita. Oleh karenanya, Kita harus tetap berdiri kokoh. Siap bertarung dan memenangkannya. Meski ketika mengalami kondisi ini, mungkin kita akan terhuyung-huyung juga.
Namun kita harus senantiasa “waras” dan waspada. Karena sebagaimana dijelaskan di atas, situasi yang uncertainly ini berpotensi akan berkepanjangan. Dan sekali lagi, karena masalahnya multidimensi, maka kita juga harus mempersiapkan diri melampaui apa yang dihadapi. Secara sunatullah, masing-masing kita mesti ber-ikhtiar mempersiapkan diri dengan pendekatan kekinian dan komprehensip, sesuai dengan tantangan dan problematika yang dihadapi.
Agar tetap survive, sudah barang tentu menjaga imunitas tubuh dan melaksanakan protokol kesehatan tetap menjadi prioritas. Demikian halnya model kemandirian dalam ekonomi dengan memproduksi dan menkonsumsi produk local, terutama milik orang-orang terdekat, dan sebagainya.
Selanjutnya setelah ikhtiar kita lakukan semaksimal mungkin, maka bertawakal dan berserah diri kepada Allah SWT adalah sebuah keharusan. Sehingga takdir apapun yang kita terima, itulah yang terbaik buat kita. Wallahu a’lam.
Asih Subagyo, Ketua Bidang Perekoniam DPP Hidayatullah