Hidayatullah.or.id — Sistem pendidikan kapitalis yang menjalankan proses pendidikan layaknya industri dipandang gagal melahirkan output ber-Tauhid dan nihil loyalitas terhadap Islam.
Akibat pengaruh sistem tersebut, lembaga pendidikan berlomba mengusung slogan “modern” dengan membuat ketentuan baku bahwa seorang siswa atau murid bisa lulus atau tidak lulus hanya berdasarkan angka-angka hasil ujian di atas kertas. Aspek emosional, kultur, dan lainnya pun dicampakkan.
Itulah beberapa yang menjadi keprihatinan Yayasan Al Aqsha Hidayatullah Kudus yang selama ini terus concern menyelenggarakan pendidikan berbasis Tauhid yang tak memandang apakah seorang perserta didik mampu secara akademik atau tidak. Semua mendapat porsi yang sama untuk mengecap pendidikan Islam. Sebab, pada prinsipnya, fitrah manusia adalah men-Tauhid-kan Allah Ta’ala.
Ketua Yayasan Al Aqso Hidayatullah Kudus, Abdullah, mengatakan, sekulerisasi dan kapitalisasi pendidikan telah dimulai sejak lama karena belum maksimalnya pola pendidikan Tauhid dalam sosialisasi dan transformasi. Kendati demikian, tak ada kata terlambat untuk berbenah.
“Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama,” kata dia.
Kalaupun ada, sambungya, hanyalah etik (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Menurut dia, dari seluruh permasalahan yang ada dalam pendidikan, yang pertama harus ditata kembali adalah adalah permasalahan yang muncul akibat konsepsi pendidikan secara paradigmatik. Tataran paradigamatik ini yang akan memberi visi, misi, dan orientasi proses pendidkan yang dilaksanakan. Karena itu, kekeliruan paradigmatik pendidikan akibatnya akan sangat fatal.
“Pengaruh yang ditimbulkan bukan hanya terhadap individu peserta didik, tetapi juga teradap sistem kehidupan yang dibangun oleh peserta didik tersebut,” terangnya.
Secara paradigmatik, imbuhnya, pendidikan harus ditata pada asas Tauhid. Suatu pandangan kehidupan, pemahaman, penghayatan, serta implentasi dalam pola sikap, ucap dan tindakan (iman), atas realitas kehidupan. Serta, entitas dari realitas tersebut akan adanya penciptaan, ketergantungan, pengaruh, tujuan, dan rujukan serta keberadaan pencipta. Dalam bahasa sehari-hari Tauhid sering diartikan meng-Esa-kan Tuhan.
Asas Tauhid ini merupakan landasan, jiwa, dan ortientasi pendidikan. Karena pendidikan itu objeknya adalah manusia, maka persepsi manusia juga harus berdasarkan Tauhid, bukan atas persepsi manusia itu sendiri. Inilah, tegas Abdullah, otoritas Tuhan sebagi bagian nilai dari Tauhid.
Atas dasar itu pula, kata Abdullah, kita memahami bahwa manusia dikategorisasi dari status dan fungsinya, baik sebagai individu, atau sebagai bagian dari masyarakatnya, lingkunganya, dan alamnya serta ditunjau berdasarkan instrumentasi yang dimilikinya.
“Manusia memiliki status dan fungsi hidup sebagi Abdullah dan Khaliffatulah. Dalam rangka mengemban amanat tersebut, maka diperlukan kemampuan berupa tumbuh dan berkembangnya aspek-aspek instrumentasi kemampuan manusia secara integral dan seimbang, yaitu aspek aqliyah, ruhiyah dan jismiyah,” terangya.
Dengan demikian, imbuh dia, kemampuan yang dimiliki manusia dengan tumbuh dan berkembangnya kemampuan intrumentasinya, adalah dalam rangka memerankan secara fungsional dan integratif antara sebagai hamba (‘abid) yang berdimensi sebagai pribadi dan sebagai khalifah yang berdimensi sosial dan lingkungan alam.
Penyelenggara dan lembaga pendidikan pun, lanjutnya, tak boleh mengabaikan aspek tersebut dengan terus mendaraskan keikhlasan dalam diri dalam mendidik sehingga semua potensi dapat dimaksimalkan tanpa ada pembeda-bedaan. Selama seseorang memiliki komitmen untuk berubah menjadi lebih baik, maka harus diapresiasi.
“Sehingga suatu hal yang naif kalau ada lembaga pendidikan berlabel Islam menolak calon murid atau pelajar hanya karena dia tak memenuhi syarat akademik atau secara lahir terlihat mbalelo, padahal di aspek lain bisa jadi dia memiliki potensi untuk menjadi baik karena itulah fitrahnya,” pungkasnya.
Yayasan Al Aqsho Pesantren Hidayatullah Kudus sendiri merupakan cabang dari Hidayatullah Balikpapan Kalimantan Timur yang dirintis oleh almarhum KH Abdullah Said. Sebelum Kudus, Hidayatullah lebih dulu berdiri di Situbondo dengan nama Yayasan Al-Amin.
Perintisan Yayasan Situbondo diawali oleh diskusi-diskusi yang dilakukan oleh beberapa anak muda mahasiswa muslim yang sedang menyelesaikan kuliah di berbagai Perguruan Tinggi di Surabaya. Mereka antara lain Abdurrahman (UNAIR), Hamim Thohari (IKIP), Elvenus Yahya (ITS), Sulaiman (ITS), Rahmad Rahman (UNAIR), dan Chusnul Chuluk (IKIP).
Atas izin Allah SWT, kepercayaan masyarakat kepada Yayasan Al Aqsho Hidayatullah Kusud terus meningkat. Hingga pada akhirnya Yayasan Al Aqsho Kudus mampu mewujudkan sebuah kompleks asrama di atas tanah seluas 10.000 m2 dan terus eksis hingga kini.
Kegiatan yang awalnya hanya berupa penyantunan yatim piatu, pembinaan anak putus sekolah terus ditingkatkan menjadi lembaga pendidikan yang dikelola secara profesional terdiri dari Play Group dan TK “Yaa Bunayya”, SD Luqman Al-Hakim yang berdiri pada tahun 1999 serta SD Integral pada tahun 2012. (ybh/hio)