AdvertisementAdvertisement

Penjajahan Ilmu dan Kemerdekaan

Content Partner

TIDAK ADA orang yang ingin dijajah. Itulah mengapa rakyat Indonesia begitu berbahagia dengan Hari Kemerdekaan. Hari bersejarah itu senantiasa dirayakan dengan luapan kegembiraan pada setiap tahunnya. Bahwa merdeka adalah kebutuhan mendasar setiap manusia.

Merdeka berarti akal, jiwa, serta raga manusia kembali kepada fitrahnya. Sedang penjajahan tidak lain adalah kezhaliman yang nyata. Ia merupakan penindasan atas hak-hak asasi manusia.

Selaras dengan tujuan pendidikan, ilmu yang dipelajari manusia harusnya juga mengantar kepada kemerdekaan. Manusia yang merdeka ialah yang sampai pada kesadaran hakiki, tentang siapa dirinya sebagai makhluk dan siapa Allah sebagai Sang Khaliq.

Itulah hikmah mengapa perintah Iqra menjadi wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) di Gua Hira, lalu. Sebab ilmu yang benar akan menolak semua penjajahan dan perbudakan yang tak sesuai dengan fitrah tersebut.

Diyakini, dengan wahana “iqra” sejak awal manusia mampu memerdekakan dirinya. Ia mengerti tentang kehidupan dunia dan asal-usul penciptaan manusia. Tanpa harus terjebak lagi pada tipuan gemerlap dunia yang terkadang melalaikan sebagian manusia. Sebab apapun bacaannya, setinggi apapun kajiannya, ia tetap saja mengembalikan semua ilmu dan urusannya kepada Maha Mulia Yang Menciptakannya (Iqra’ bismi Rabbikalladzi khalaqa).

Sebaliknya, orang yang terjajah dengan ilmunya, cenderung terpenjara pada “hebatnya” ilmu yang dimilikinya. Merasa seolah-olah dirinya sangat tinggi sedang orang lain tampak rendah dan tak punya apa-apa di hadapan matanya. Demikian ini biasanya mudah melahirkan al-kibr (sifat sombong) pada jiwa manusia.

Batharul haq wa ghamthun nas. Demikian Rasulullah menyifati orang takabbur (merasa besar) tersebut. Cirinya kata Nabi, orang sombong itu suka menolak kebenaran dan senang merendahkan orang lain. Tak suka dinasihati dan selalu merasa benar dengan tindakan dan perkataannya.

Lebih jauh, orang yang tersandera dengan ilmu sesungguhnya belum berhasil mengenali tentang siapa dirinya sebagai makhluk dan siapa Allah sebagai Khaliq yang mesti disembahnya. Alih-alih mampu menundukkan dan mengantarnya khusyuk beribadah kepada Allah atau berbagi manfaat kepada sesama, justru ilmu itu berbalik arah menjadi bumerang yang menyerang.

Dia terkurung di balik prosedur formalitas bikinan manusia. Ia terkungkung dengan segala jenis ukuran materi duniawi dan standar kebendaan. Bahkan rasa kemanusiaan pun nyaris hilang dengan aturan-aturan yang dibuatnya sendiri.

Sederhananya, tak sedikit orang lalai menunaikan shalat berjamaah di masjid hanya karena “terlanjur” menghadiri undangan pesta pernikahan atau acara arisan keluarga, misalnya. Atas nama aturan kantor atau perusahaan, sebagiannya lalu berani menabrak syariat hijab dan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan sampai tega melarang wanita muslimah berjilbab, sebagai kewajibannya menutup aurat.

Contoh lain, didapati sampai usia SMA, ada saja siswa bahkan mahasiswa yang belum pandai baca tulis al-Qur’an dan shalat wajib yang masih bolong-bolong.

Miris? Wajib, tentu saja. Namun inilah potret buram output proses pendidikan secara umum di negeri ini. Bahwa Bangsa Indonesia telah merdeka puluhan tahuan silam, tapi disana-sini sebagian masyarakat yang notabene Muslim, masih terkungkung dengan pola pendidikan seperti di atas.

Orang-orang berpendidikan malah terjajah dengan ilmunya. Tubuhnya merdeka tapi jiwanya senantiasa berontak dan bergejolak. Setidaknya itu terlihat dari rusaknya lingkungan, bobroknya pergaulan serta gaya hidup hedonis yang kian mengkhawatirkan.

Dampak terparahnya, sekira penjajahan atas ilmu merembet kepada rusaknya agama pula. Diketahui agama adalah norma tertinggi dalam satu tatanan sosial masyarakat. Rusaknya agama bisa meruntuhkan keyakinannya terhadap Allah dan menjadikan manusia lalai dalam sujud kepada-Nya.

Ibarat jauh panggang dari api, boleh jadi orang itu pandai dalam urusan agama, tapi nilai-nilai agama itu tak muncul dalam perilaku kesehariannya. Menguasai ilmu agama, namun dia juga terjerat dengan perbuatan yang melanggar aturan agama. Allahu musta’an. Hanya kepada Allah, kita memohon pertolongan-Nya.

MASYKUR SUYUTHI

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

KH Hamim Thohari Tekankan Pentingnya Penyucian Jiwa dalam Pendidikan Kader

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Hidayatullah, KH. Hamim Thohari, M.Si, meluangkan waktunya menghadiri acara Majelis Reboan Hidayatullah...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img