PARA ulama memberi nasihat agar kita tidak banyak bergaul kecuali dengan orang-orang mulia. Al Muhasibi berkata, ”Janganlah kalian bermajelis kecuali dengan cendekia yang bertakwa, dan janganlah bermajlis kecuali dengan ulama yang shalih.” (Risalah Al Mustarsyidin, hal. 59).
Imam Al Hasan Al Bashri pun berkata,”Dunia seluruhnya gelap, kecuali mejalis-mejalis para ulama.” (Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadhlihi, 1/51).
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah ﷺ pernah berkata;
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ” أَيُّ جُلَسَائِنَا خَيْرٌ؟ قَالَ: «مَنْ ذَكَّرَكُمُ اللَّهَ رُؤْيَتُهُ، وَزَادَ فِي عِلْمِكُمْ مَنْطِقُهُ، وَذَكَّرَكُمْ بِالْآخِرَةِ عَمَلُهُ» ((رواه أبو يعلى)).
Dari Ibnu Abbas ia berkata,”Dikatakan kepada Rasulullah, ‘Karib seperti apa yang baik untuk kami?’ Rasulullah menjawab,’Yakni siapa yang mengingatkan kalian kepada Allah jika kalian memandangnya, dan menambah ilmu kalian perkataannya, dan mengingatkan kalian tentang akhirat amalannya.” (Riwayat Abu Ya’la dalam Al Musnad [2437], 4/326, Al Hafidz Al Bushiri berkata,”Di dalam periwayatannya ada dalam Majma` Az Zawaid, 10/226).
Berkumpul dengan Orang-orang Shalih
Sebab itulah, orang-orang shalih dan para ulama berusaha untuk berdekatan dengan orang-orang shalih, guna memperoleh manfaat, baik dari perkataannya, perbuatannya, atau hanya dari memandangnya saja.
Abu Bakar Al Muthawi’i selama dua belas tahun selalu aktif mengikuti majelis Imam Ahmad. Di majelis tersebut hadits tersebut Imam Ahmad membacakan Al Musnad kepada putra-putra beliau. Namun, selama mengikuti majelis tersebut, Al Muthawi’i tidak memiliki catatan, walau hanya satu hadits. Lalu, apa yang dilakukan Al Muthawi’i di majelis itu?
Beliau ternyata hanya ingin memandang Imam Ahmad. Ternyata, tidak hanya Al Muthawi’i saja yang datang ke majelis hadits hanya untuk memandang Imam Ahmad. Mayoritas mereka yang hadir dalam majelis tersebut memiliki tujuan yang sama dengan Al Mathawi’i.
Padahal, jumlah mereka yang hadir dalam majelis Imam Ahmad saat itu lebih dari 5000 orang, namun yang mencatat hadits kurang dari 500 orang. Demikian Ibnu Al Jauzi mengisahkan (dalam Manaqib Imam Ahmad, hal. 210).
Apa yang dilakukan Al Muthawi’i, bukanlah hal yang sia-sia. Karena, memandang orang shalih bisa memberikan hal yang positif bagi pelakunya. Memandang orang shalih, bisa membangkitkan semangat, untuk meningkatkan amalan kebaikan, tatkala keimanan seseorang sedang turun.
Sebagaimana dilakukan oleh Abu Ja’far bin Sulaiman, salah satu murid Hasan Al Bashri. Beliau pernah mengatakan,”Jika aku merasakan hatiku sedang dalam keadaan qaswah (keras), maka aku segera pergi untuk memandang wajah Muhammad bin Wasi’ Al Bishri. Maka hal itu mengingatkanku kepada kematian.” (Tarikh Al Islam, 5/109).
Imam Malik sendiri juga melakukan hal yang sama tatkala merasakan qaswah dalam hati. Beliau berkisah, ”Setiap aku merasakan adanya qaswah dalam hati, maka aku mendatangi Muhammad bin Al Munkadir dan memandangnya. Hal itu bisa memberikan peringatan kapadaku selama beberapa hari.” (Tartib Al Madarik, 2/51-52).
Imam Al Hasan Al Bashri sendiri dikenal sebagai ulama yang memandangnya, membuat pelakunya ingat kepada Allah, sebagaimana disebut oleh ulama semasa beliau, yakni Ibnu Sirin. Ulama lainnya, yang hidup semasa dengan beliau, Ats’ats bin Abdullah juga mengatakan,”Jika kami bergabung dengan majelis Al Hasan, maka setelah keluar, kami tidak ingat lagi terhadap dunia.” (Al Hilyah, 2/158).
Tak mengherankan jika Waqi’ bin Jarah menilai bahwa memandang wajah Abdullah bin Dawud adalah Ibadah. Abdullah sendiri adalah seorang ahli ibadah di Kufah saat itu. (Tahdzib At Tahdzi, 7/296).
Ibrahim bin Adham suatu saat hendak mengundang Sufyan Ats Tsauri saat berada di Baitul Maqdis. Ketika ada yang mempertanyakan maksud dari undangan itu, Ibrahim bin Adham pun berkata,”Aku ingin menyaksikan ketawadhu`annya.” (Manaqib Al Imam At Tsauri, hal. 38).
Maka tak heran, kalau Yahya bin Mu’adz Ar Razi merumuskan adanya lima obat hati, salah satunya adalah berkumpul dengan orang-orang shalih. (Shifat Ash Shafwah, 4/92).
Mengingatkan kepada Allah
Ada golongan dari para ulama terdahulu, jika seseorang memandang mereka, maka mereka akan ingat kepada Allah ta’ala. Di antara mereka adalah Amru bin Maimun, seorang tabi’in. Abu Isahaq As Sabi’i selaku muridnya berkata,”Jika ia dilihat, mengingatkan kepada Allah.” (Tahdzib At Tahdizb, 8/109).
Imam Ibnu Sirin pun demikian, Imam Ad Dzahabi mencatat, ”Tatkala ia berjalan di pasar, tidak ada seorang pun yang melihatnya kecuali ia ingat kepada Allah Ta’ala.” (Tarikh Al Islam, 4/193).
Sebagaimana juga beberapa ulama yang telah disebutkan sebelumnya, seperti Al Hasan Al Bashri dan lainnya.
Pengaruh Teman dalam Pergaulan
Kondisi teman, bisa berpengaruh banyak hal kapada kita, sehingga perlu bagi kita berhati-hati memilih teman. Setidaknya, itulah inti dari nasehat yang disebutkan oleh Imam Abu Laits.
Beliau mengingatkan;
“Seorang tidak akan melakukan 8 hal, kecuali Allah akan memberinya 8 hal pula. Kalau ia banyak bergaul dengan orang kaya, maka timbul dalam hatinya kesenangan terhadap harta. Kalau ia akrab dengan orang miskin, maka timbul dalam hatinya rasa syukur dan qana’ah. Kalau ia berteman dengan penguasa, maka timbul rasa sombong. Kalau ia berdekatan dengan anak-anak maka ia banyak bermain. Kalau ia dekat dengan para wanita, maka syahwatnya akan timbul. Kalau ia berkarib dengan orang-orang fasiq, maka datang keinginan untuk menunda-nunda taubat. Kalau ia dekat dengan ahli ilmu, maka ilmunya akan bertambah. Kalau ia dekat dengan ahli ibadah, maka akan termotivasi melakukant ibadah yang lebih banyak.” (Bughyah Al Mustarsyidin, 9).
Walhasil, mendekat kepada para ulama adalah kebutuhan. Karena dengannya kita memperoleh banyak kebaikan.
Sebaliknya, bergaul akrab dengan orang yang berperangai buruk juga memberikan pengaruh buruk pula. Wallahu a’lam bish shawab.*/Sholah Salim/ Hidcom