BAHASAN tentang Al Qur’an memang sangat deras saat umat Islam memasuki bulan Ramadhan. Walau sejatinya Al Qur’an idealnya senantiasa menjadi headline dalam setiap hembusan nafas dan detak jantung kita.
Hal ini karena Al Qur’an memang tidak cukup kita senandungkan dengan suara merdu dan bacaan yang benar dari sisi tajwid dan makhorijul huruf. Semua itu penting, tidak akan ada umat Islam yang menyangkal.
Namun lebih substansial adalah apakah kita mendapat energi dari Al Qur’an?
Pertanyaan ini penting agar kita bisa merasakan benar-benar bahwa Al Qur’an itu rahmat, obat dan tadzkirah bagi hati ini.
Misalnya, jika detik ini terasa hati merasa ada kesusahan dalam menjalani kehidupan, apakah benar itu karena kesulitan yang terjadi atau kita tidak mengambil peringatan dan pelajaran dari Al Qur’an?
“Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut.” (QS. Thaha: 2–3).
Terus Rindu Membaca Al Qur’an
Ustadz Abdullah Said dalam Pengajian Malam Jumat di Karang Bugis pada 13 Januari 1983 memberikan stressing perihal interaksi kita dengan Al Qur’an:
“Perhatian kepada Al Qur’an hendaknya selalu ditingkatkan. Hingga setiap membaca Al Qur’an, terasa ada yang Allah berikan kepada kita. Membaca lagi, ada lagi yang diberikan. Terasa ada hijab yang tersingkap, ada jawaban yang terbentang dan ada pemecahan masalah yang ditemukan.”
Mari teliti kalimat pendiri dan penggerak Hidayatullah itu. Ada kata setiap membaca Al Qur’an ada yang Allah berikan kepada kita. Kemudian terasa ada hijab yang tersingkap, ada jawaban yang terbentang dan ada pemecahan masalah.
Berarti orang yang akan selalu rindu membaca Al Qur’an yang sampai pada tahap mampu menangkap pesan inti Al Qur’an, sehingga hidup terasa mendapat penerangan dari sisi-Nya. Tidak ada masalah yang tak tersolusikan dengan membaca Al Qur’an.
Akan tetapi memang membaca yang seperti itu perlu yang namanya intensitas, maka kita sebut pentingnya interaksi dengan Al Qur’an.
Seperti musafir yang kehabisan bekal air, kita akan mencari sumber air. Dan, sebaik-baik sumber untuk kebaikan hidup ini adalah Al Qur’an.
Menyimak dan Tenang
Langkah paling awal agar bacaan Al Qur’an itu menembus hati dan perasaan kita serta mendapatkan rahmat-Nya adalah dengan mendengar secara seksama kemudian memperhatikan dengan tenang (QS. Al-A’raf: 204).
Ilustrasi sederhananya seperti ini. Seorang dokter ahli kandungan yang ia punya iman yang baik akan berbeda responnya kala membaca ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung tentang embriologi daripada orang yang tidak cukup pengetahuan akan hal tersebut.
Mendengar dan tenang bisa kita artikan salah satunya dengan aktif membaca dan berpikir apa yang menarik perhatian kita.
Soal bintang, air, bumi, bahkan kebiasaan manusia itu sendiri, seperti tidur, minum, makan dan lain sebagainya. Semua akan membuat kita kian tunduk kepada Allah jika kita bisa menemukan sambungan “emas” dengan Al Qur’an.
Akan tetapi ketika interaksi dengan Al Qur’an tidak kita bangun dengan sungguh-sungguh, maka mungkin pahala kita dapat. Tetapi rahmat, obat, petunjuk, dan pelajaran tidak bisa kita tangkap.
Bukan Al Qur’an yang sulit, tapi kita memang harus segera memenuhi syarat-syaratnya. Syarat utama itu adalah gemar membaca dan senang berpikir untuk beramal.*
*) Penulis adalah Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) | Ketua Umum PP Pemuda Hidayatullah 2020-2023. Publikasi pokok pokok pikiran Ustadz Abdullah Said ini atas kerjasama Media Center Silatnas Hidayatullah dan Hidayatullah.or.id dalam rangka menyambut Silatnas Hidayatullah 2023