KATA INI bukan saja menantang kesadaran, tetapi juga nyata dalam kehidupan. Saat tengah malam kita bangun, lalu beranjak mengambil air wudhu dan sholat dengan tenang menghadap Rabb, sungguh itu adalah buah perjuangan.
Ya, perjuangan para pahlawan yang telah merelakan diri dan hartanya untuk kemerdekaan negeri ini. Berbekal aqidah dan visi yang kuat mereka tak pernah risau dengan kemampuan diri yang dimiliki. Bedil dan meriam penjajah sama sekali tak membuatnya bertekuk lutut lalu rela hidup menjadi jongos.
Sekarang, dalam kehidupan kita yang serba mudah ini, hakikatnya adalah rangkaian dari perjuangan tak kenal lelah dari para pejuang umat. Saat diri sadar akan hal ini, maka syukur akan menjadi generator dalam hidup sehari-hari.
Hanya orang yang tak mau berpikir yang akan mengisi hidup dengan kesia-siaan. Seakan maju sescara ekonomi, padahal hakikatnya hanya berputar pada urusan syahwat. Itulah peradaban Barat.
Kaum muda Muslim Indonesia tak sepatutnya lupa untuk bersyukur. Bersyukur yang membuat kita sadar dan mampu menangkap spirit perjuangan para pejuang masa lalu.
Di Hidayatullah saja, sudah jelas, semua capaian kita hari ini tak mungkin lepas dari jerih payah dan perjuangan para pendiri lembaga, assabiqunal awwalun, dan mereka yang total membantu dakwah melalui Hidayatullah.
Pertanyaannya kemudian, bersyukur seperti apa yang harus kita lakukan agar api perjuangan itu terjaga dan semakin membakar semangat kita semua?
Pertama, jadilah pribadi yang disiplin. Disiplin dalam hal apapun yang bermanfaat, terlebih kala diberi kepercayaan, entah sebagai pengasuh, guru, amil, penggerak ekonomi lembaga, atau bahkan dai. Jagalah amanah itu dengan sebaik-baiknya kedisiplinan.
Kedua, memiliki mental mujahadah. Harus hadir dalam diri kita mental kesungguhan (mujahadah) dalam mengemban amanah ini. Bagi seluruh penggerak inti Pemuda Hidayatullah misalnya, upayakan bagaimana apa yang bisa dilakukan benar-benar diwujudkan dengan sungguh-sungguh. Jangan ada pesimis yang mengganggu. Jangan sampai terhambat oleh realita yang “meremehkan” perubahan yang akan kita lakukan.
Yakin, dan jangan goyah, itulah pemilik mental mujahadah.
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS 35:5).
Ketiga, istiqomah dalam jama’ah. Di dunia ini tak kekurangan umat akan orang kaya, orang pintar, bahkan orang hebat. Tetapi semua tidak bisa menjadi kekuatan dengan daya ledak besar, karena berdiri masing-masing. Maka bersyukurlah, sedari muda kita sudah dikenalkan bahkan menikmati indahnya hidiup berjama’ah.
Tetaplah dalam jama’ah karena ini adalah kekuatan sejati yang pasti suatu saat akan mengantarkan kita pada visi tertinggi organisasi. Jangan ragu, jangan goyah. Setiap pertanyaan kritis harus mengantarkan pada kesiapan mental lebih gigih, lebih optimis, dan lebih loyal dalam jama’ah. Bukan malah menjadi daya retorik yang tak menghasilkan apa-apa.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk dapat menjadi pejuang sejati. Pejuang yang dirindukan oleh umat, pejuang yang senantiasa dijaga oleh Allah.
Pejuang yang tak berharap dalam hidup dunia ini selain bagaimana menjadi sebaik-baik pribadi dengan manfaat yang besar dan luas bagi seluruh umat manusia. Seperti kata Allahuyarham Ustadz Abdullah Said, kita harus bisa menjadi pribadi yang membawa rahmat bagi semesta alam dan segenap umat manusia.
IMAM NAWAWI, Ketua Umum Pemuda HIdayatullah